Hari Pangan Sedunia, Kapan Sejahtera?

"Sebagai negara agraris yang memiliki kekayaan sumber daya alam, tak pantas rasanya negeri ini harus bergulat pada kondisi yang cukup memprihatinkan terkait dengan ketahanan pangan. Tanah subur, lautan luas dengan kekayaan melimpah namun kasus stunting mengintai generasi. Berbagai macam tanaman bisa tumbuh di negeri ini, tapi kekurangan gizi makro menimpa sebagian besar penduduknya. Sungguh tak masuk akal."

Oleh. Ummu Zhafira
(Ibu Pegiat Literasi)

NarasiPost.Com-Puluhan tahun dunia memperingati Hari Pangan Sedunia, selama itu pula persoalan krisis pangan masih membelit masyarakat dari berbagai negara. Ingar bingar peradaban modern nyatanya tak pernah mampu menjadi sebab masyarakat hidup sejahtera, khususnya Indonesia. Bagaimana bisa?

Hari ini, tepat tanggal 16 Oktober 2021 Hari Pangan Sedunia atau World Food Day diperingati. Tanggal kelahiran Organisasi Pangan dan Pertanian PBB atau Food and Agriculture Organization (FAO) of the United Nation dipilih sebagai hari peringatan tersebut.

“Our Action Our Future-Better Production, Better Nutrition, a Better Environment and a Better Life” (Tindakan Kita Masa Depan Kita-Produksi yang lebih baik, Nutrisi yang lebih baik, Lingkungan yang Lebih Baik, dan Hidup yang Lebih Baik) adalah tema yang diangkat pada peringatan tahun ini. Hal ini sebagaimana dilansir oleh Kompas.com, 16 Oktober 2021 dari laman resmi FAO.

Dengan tema tersebut FAO mencoba mengajak masyarakat dunia untuk bisa menjadi pahlawan pangan. Mereka diharapkan mampu berkontribusi pada transformasi sistem pertanian pangan yang lebih baik. Sehingga, terwujudlah ketersediaan pangan yang cukup bagi seluruh masyarakat dunia.

Menyambut Hari Pangan Sedunia tersebut, Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo mengajak masyarakat turut berpartisipasi mengupayakan ketahanan pangan. Ia menyatakan bahwa setiap individu bisa berperan menjadi pahlawan pangan. Hal-hal yang bisa dilakukan oleh masyarakat antara lain adalah dengan memilih jenis makanan yang sehat dan bergizi, kemudian mempelajari cara menanam tanaman pangan di dalam rumah, dan yang terakhir yaitu tidak membuang makanan sebagai bagian menghargai makanan dan lingkungan (Beritasatu.com, 16/10/2021).

Memang, masih banyak yang harus dibenahi dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan di negeri zamrud khatulistiwa ini. Bersumber pada Food Sustainability Index 2020 sebagaimana diberitakan liputan6.com, 16 Oktober 2021, Indonesia masih menduduki peringkat ke-60 dan 67, negara dalam hal keberlanjutan pangan menurut tiga indikator, yakni pemenuhan gizi, penerapan pertanian berkelanjutan, dan limbah makanan.

Menurut Hernie Raharja, Direktur Foods & Refreshements PT Unilever Indonesia, Tbk, setidaknya ada tiga beban yang jadi sorotan dari sisi pemenuhan gizi. Ketiganya yaitu masih tingginya kasus stunting yang diderita anak akibat gizi buruk, tingkat obesitas yang tinggi pada orang dewasa, dan masih banyak masyarakat yang mengalami kekurangan gizi mikro. Hal ini berarti kurangnya asupan vitamin dan mineral pada makanan mereka.

Sedangkan dari sisi pertanian, luasan lahan berkualitas mengalami penurunan. Pun tak ada regenerasi petani sebab kehidupan petani sering kali berada di bawah garis kemiskinan. Namun mirisnya, limbah makanan yang diproduksi di Indonesia justru sangat tinggi yaitu mencapai 23-48 juta ton per tahun. Untuk itulah Indonesia menempati peringkat ke-2 sebagai negara pembuang makanan di dunia. Astagfirullah.

Sebagai negara agraris yang memiliki kekayaan sumber daya alam tak pantas rasanya negeri ini harus bergulat pada kondisi yang cukup memprihatinkan terkait dengan ketahanan pangan. Tanah subur, lautan luas dengan kekayaan melimpah namun kasus stunting mengintai generasi. Berbagai macam tanaman bisa tumbuh di negeri ini, tapi kekurangan gizi makro menimpa sebagian besar penduduknya. Sungguh tak masuk akal.

Bahkan, telinga kita senantiasa hafal dengan lagu Kolam Susu milik Koes Ploes yang menggambarkan betapa kayanya negeri kita. “Bukan lautan, tapi kolam susu. Udang dan ikan saja tak perlu kita cari sebab mereka akan menghampiri. Itu semua karena tanah kita tanah surga. Tanah kita ini adalah tanah dengan keberkahan yang melimpah.” Namun sayang, lagu itu bak dongeng sebelum tidur. Semua yang kita punya tak sama sekali bisa jadi sumber penghidupan yang layak.

Kenapa? Sebab kita rida mengelolanya dengan cara-cara kafir penjajah. Ya, sekularisme kapitalisme inilah biang yang menjadikan kita sebagai budak di negeri sendiri. Sistem yang meniscayakan kepentingan para pemilik modal, tak akan pernah peduli pada kepentingan masyarakat.

Lihatlah, betapa lahan pertanian habis disulap menjadi lahan hunian, perkantoran, dan pertokoan. Izin pengalihan fungsi lahan mudah saja diperoleh para kapitalis bermodal tebal. Masyarakat pemilik lahan dibuat menyerah dengan berbagai tipu daya. Jika mereka enggan menyerahkan lahan, maka arogansi yang didukung para pemangku kebijakan biasa dilakukan. Masyarakat yang punya nalar lagi-lagi tak berdaya.

Lebih-lebih nasib para petani yang makin hari makin terpinggirkan. Tak ada dukungan yang dilakukan penguasa bagi para petani yang ingin mengembangkan hasil pertanian mereka. Menyedihkannya lagi, mereka terpaksa mendapatkan pupuk, benih, sarana pertanian dengan biaya tinggi.

Sering kali para petani ini harus gigit jari, sebab hasil panennya merugi. Harga jual dari komoditas mereka anjlok karena keran impor dibuka lebar-lebar oleh penguasa. Jerit pilu mereka biasa menjadi penghias media, tapi itu tak pernah membuat penguasa membuka telinga dan mata mereka.

Beginilah penguasa bermental pengusaha. Semua kebijakan ditakar untung rugi. Tak peduli bahwa amanah yang kini mereka punya itu ada tanggungjawabnya. Tak peduli pada ancaman neraka, kekuasaan adalah cara terbaik memperoleh pundi-pundi harta.

Ah, sistem ini juga mencipta jurang kemiskinan yang membinasakan rakyat jelata. Biaya pendidikan mahal, lapangan pekerjaan sulit, harga kebutuhan melangit, lantas bagaimana caranya mereka bisa menjangkau pangan dengan kualitas gizi yang memadai? Bisa sekadar makan saja, syukur mereka tak terkira.

Saat terjepit, untuk memenuhi kebutuhan makan, lintah darat berwajah pinjol (pinjaman online) jadi solusi. Alih-alih persoalan teratasi dan perut kenyang terisi, mereka justru dirundung depresi sebab utang ribawi menjerat leher mereka. Banyak di antaranya justru mengakhiri hidupnya dengan cara keji, bunuh diri. Nauzubillah.

Beginilah buah sistem kapitalisme. Ketahanan pangan yang digadang-gadang hanya ilusi tak bertepi. Jargon-jargon mereka bak bualan, tersebab berbagai kebijakan tak pernah sejalan dengan apa yang dikatakan. Haruskah kita senantiasa menggantungkan harapan dengan sistem yang ada? Kapan kita akan merasakan sejahtera?

Kebutuhan pangan tercukupi hanya ketika kita tunduk pada aturan Ilahi. Sistem Islam ini memandang bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar yang wajib dipenuhi bagi penyelenggara kebijakan. Negara memastikan terjaminnya kebutuhan pangan bagi setiap individu yang ada dalam naungannya.

Negara juga akan menjamin ketersediaan lapangan pekerjaan sehingga masyarakat mampu memenuhi kebutuhan asasinya berupa sandang, papan khususnya pangan. Ketersediaan bahan pangan juga diupayakan negara dengan harga yang murah dengan menjamin kelancaran mekanisme distribusinya.

Sektor pertanian ini juga menjadi perhatian penting bagi negara. Sebab sektor inilah yang akan menjamin ketahanan pangan apalagi sebagai negara yang mengemban jihad ke seluruh penjuru dunia. Untuk itu negara akan mendorong para petani untuk bisa meningkatkan hasil produksi mereka dengan kualitas terbaik. Dan ini butuh kerja sama dari berbagai pihak. Baik para ilmuwan, petani dan perusahaan industri yang mampu menciptakan sarana mutakhir demi kemajuan di bidang pertanian. Negara hadir untuk memfasilitasi segala sesuatunya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.,

“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari)

Lebih dari itu ketahanan pangan ini akan didukung dengan sistem ekonomi Islam yang diterapkan secara menyeluruh di dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat. Ia akan memberangus sistem ekonomi berbasis ribawi yang kini menjadi induk segala jenis kesenjangan yang kita hadapi.

Akhirnya, kita menyadari bahwa tak ada sedikit pun kebaikan menanggalkan hukum-Nya dalam kehidupan ini. Sistem Islam adalah kesempurnaan konsep yang Allah turunkan bagi penduduk bumi. Jaminan ketika ia kita terapkan dalam kehidupan maka berkah akan turun dari langit dan bumi. Tak hanya persoalan pangan tercukupi, tapi seluruh problematika manusia bisa teratasi.[]


Photo : Getty images

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Ummu Zhafira Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Mencapai Target Net Zero Emission, Cukupkah dengan Pajak Karbon?
Next
Al-Aqsa Kami, Bukan untuk Ritual Yahudi!
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram