Dilema Pembelajaran Tatap Muka di Kalangan Orang Tua

"Kembali, orang tua dihadapkan pada dua pilihan sulit di masa pandemi. Menyelenggarakan PTM yang berisiko pada kesehatan ataukah PJJ yang berisiko pada terhambatnya pendidikan? Butuh solusi komprehensif untuk menjawab tantangan ini."

Oleh: Adibah NF
(Komunitas Literasi Islam
)

NarasiPost.Com-Kesehatan adalah hak mendasar bagi seluruh rakyat, termasuk di dalamnya hak kesehatan bagi anak. Maka, sebelum membuat kebijakan itu penting diperhatikan baik buruk terhadap kehidupan anak. Sebab, hak anak di masa pandemi yang wajib terpenuhi adalah hak hidup, disusul hak sehat dan hak pendidikan. Kesehatan inilah yang seharusnya diprioritaskan karena berkaitan dengan nyawa dan vitalitas tubuh.

Mengevaluasi Belajar Dari Rumah (BDR) atau Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), ada beberapa hal yang membuat sistem pembelajaran tersebut sulit mencapai tujuan dan target dalam pendidikan. Diantaranya, sistem pembelajaran hanya bergantung pada internet/gawai, tak ada pemetaan variasi PJJ antara sekolah dan daerah terkait akses digital, serta tidak adanya kebijakan praktik PJJ sebagai acuan atau panduan dan standar minimal di sekolah maupun daerah.

Jika dilihat dari sisi peran pemegang kebijakan di sekolah (kepala sekolah) perannya belum maksimal dalam proses PJJ tersebut. Ditambah lagi minimnya keterlibatan orang tua dalam menyukseskan proses pendidikan termasuk pendampingan orang tua selama BDR, karena banyak faktor misalnya rendahnya penguasaan teknologi digital orang tua, minimnya komunikasi guru dengan orang tua selama BDR, ketiadaan alat daring bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu sehingga pembelajaran tidak terlaksana optimal.

Sistem pembelajaran di masa pandemi dengan PJJ belum menuai solusi yang tepat. Mulai dari tenaga pengajar, orang tua siswa, dan siswanya itu sendiri. Tenaga pengajar merasa kesulitan akibat kejar target kurikulum, orang tua juga harus ekstra mendampingi putra- putrinya karena tidak sedikit anak sulit mengikuti pembelajaran dengan serius. Terkadang sulit untuk dikendalikan, sibuk main gadget daripada menyelesaikan tugas sekolah. Sementara, bagi siswa pun mengalami hal yang sama. Stres karena tugas sekolah menumpuk, jaringan internet tidak stabil, atau tak sedikit pula yang kesulitan akibat tak bisa membeli kuota karena tidak memiliki kuota belajar, HP yang tidak support dan lainnya.

Berawal dari alasan tersebut, para orang tua pun akhirnya meminta pemerintah untuk membuka sekolah tatap muka. Kemudian, pemerintah mengabulkan permintaan itu dengan membuat kebijakan program Pembelajaran Tatap Muka (PTM), tanpa memperhatikan dulu persiapan infrastruktur yang sempurna dan ketersediaan protokol kesehatan pihak sekolah.

Seiring menurunnya tingkat penyebaran Covid-19 di wilayah Jawa sesuai Peraturan Pemerintah, pemberlakuan PPKM menurun dari level 4 ke level 3. Artinya, program PTM bisa mulai dilaksanakan. Meskipun, masih ada sebagian orang tua yang khawatir dan cemas melepas anak-anaknya untuk mengikuti kebijakan pemerintah pada program PTM di tengah pandemi Covid-19. Mengingat keselamatan anak ketika tatap muka. Namun, dilema bagi orang tua. Jika tidak mengikuti aturan tersebut, orang tua kesulitan untuk menerima atau menolak, karena belajar secara online pun ternyata masih banyak keterbatasan.

Terutama orang tua yang anaknya di PAUD dan sekolah dasar yang belum bisa vaksinasi Covid-19. Kemungkinan besar, mereka belum mau mengizinkan buah hatinya untuk mengikuti PTM karena melihat situasi. Kecuali, jika kasus sudah melandai. Hal tersebut disampaikan oleh Taga Raja selaku Kasubbag Humas Dinas Pendidikan DKI Jakarta (www.cnnindonesia.com, 29/8).

Menyiapkan Sekolah di Masa Pandemi Merupakan Tanggung Jawab Pemerintah

Kecemasan sebagian orang tua dalam PTM di antaranya, orang tua masih melihat upaya yang dilakukan pemerintah dalam menyiapkan program PTM belum sempurna atau masih karut marut dalam melakukan penanganan sistem pembelajaran yang sering menuai kendala. Apalagi, pihak sekolah yang akan melakukan PTM belum memberikan kejelasan terkait data siswa. Apakah siswa di sekolah itu pernah terinfeksi Covid-19 atau sedang isolasi mandiri atau OTG? Kemudian, data siswa sehat dan siswa sakit, maupun menetapkan siswa yang boleh ikut PTM dan tetap PJJ. Seharusnya data itu disampaikan kepada pihak orang tua siswa.

Apabila pemerintah akan menerapkan PTM setidaknya harus memperhatikan empat hal. Pertama, pihak sekolah atau madrasah memastikan telah memenuhi syarat dan kebutuhan penyelenggaraan PTM terbatas. Termasuk, memastikan protokol kesehatan untuk mencegah penularan Covid-19 dapat terpenuhi. Pemerintah daerahlah yang harus membantu pemenuhannya.

Kedua, pihak sekolah harus memastikan bahwa vaksinasinya telah mencapai minimal 70% dari warga sekolah. Mengingat program vaksinasi anak usia 12-17 tahun itu sudah ada. Tentu saja bukan hanya mencukupkan pada guru yang divaksin, melainkan memperhatikan pula terhadap kekebalan komunitas yang harus sudah terbentuk. Jika jumlah guru hanya sekitar 10% dari jumlah siswa masih jauh dari pembentukan komunitas terhadap kekebalan yang baru akan terbentuk sempurna jika mencapai minimal 70% populasi sudah divaksin, sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan badan kesehatan dunia, WHO. Tanpa memperhatikan hal itu, bisa berpotensi ada klaster baru yakni klaster sekolah.

Dengan demikian, pemerintah pusatlah yang harus memastikan percepatan dan penyediaan vaksinasi anak merata di seluruh Indonesia. Kalau melihat dan memperhatikan hasil survei singkat KPAI, anak-anak yang belum divaksin menyatakan belum mendapatkan kesempatan vaksinasi di daerahnya. Tentu saja, ketersediaan vaksin dan kesempatan ini harus dibarengi dengan penjelasan melalui penyuluhan kepada masyarakat agar siap divaksin.

Ketiga, Adanya pernyataan yang jujur dari pemerintah daerah berkaitan dengan positivity rate daerahnya dengan ketentuan menurut WHO, bahwa nilainya di bawah 5% baru aman membuka sekolah tatap muka. Diperlukan pula peningkatan 3T (testing, tracing, dan treatment) agar positivity rate- nya menjadi rendah.

Keempat, pemenuhan hak anak di masa pandemi yang pertama adalah hak hidup, kedua adalah hak sehat, dan ketiga baru hak pendidikan. Sudah menjadi tugas pemerintah, untuk memenuhi semua kebutuhan dasar anak dengan cara yang tepat dan aman.

Pendidikan dalam Kaca Mata Islam

Allah Swt. berfirman dalam surat Al-Mujadilah ayat 11, yang artinya : "Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman dan berilmu di antaramu beberapa derajat. Dan Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan." Bahkan, wahyu pertama yang diterima oleh Nabi saw. adalah perintah untuk membaca atau belajar (QS. Al ‘Alaq 1-5).

Masalah pendidikan dalam sistem Islam merupakan hak dasar bagi seluruh warga negara, mulai dari usia PAUD hingga Perguruan Tinggi. Semua kebijakan fokus pada arah pendidikan yang akan mencetak generasi unggul, sehat dan cerdas. Bukan ajang percobaan kebijakan, apalagi di masa pandemi. Setiap kebijakan berlandaskan pada perintah Allah dan Rasul-Nya. Bukan berdasarkan kepada permintaan masyarakat semata.

Dalam upaya pemenuhan tersebut, pemerintah harus bersinergi dengan masyarakat agar tercipta suasana pendidikan yang sesuai dengan harapan dan tujuan dari pendidikan itu sendiri. Ketersediaan infrastruktur pendidikan merupakan hal yang menjadi perhatian. Demikian pula seluruh pelengkap yang dibutuhkan, seperti gedung atau kelas yang memadai, laboratorium, perpustakaan, tenaga pengajar, dan biaya pendidikan juga harus memadai.

Semua itu tidak bisa diberlakukan dalam sistem selain sistem Islam yakni Khilafah Islamiyah yang akan menerapkan sistem pendidikan Islam secara sempurna, termasuk mampu mewujudkan kebutuhan pendidikan di masa normal maupun pandemi.

Sebab dalam Islam, negara wajib mengatur dan memenuhi segala aspek yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Tidak cukup mengeluarkan kebijakan PTM, namun minim fasilitas. Sebagaimana tercantum dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, yang artinya, “Seorang Imam (Khalifah) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat, ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.”

Hadis tersebut menjelaskan bahwa negaralah yang bertanggungjawab dalam memfasilitasi rakyat untuk bisa mendapatkan pendidikan murah dan berkualitas. Namun, tak lepas dari tanggungjawabnya dalam memperhatikan kesehatan rakyat ketika memberlakukan dan menjalankan tanggungjawabnya tersebut.

Perhatian Khilafah bukan hanya bertumpu pada masalah pendidikan saja. Namun, memastikan setiap kebijakannya penuh pertimbangan matang. Khilafah memberikan layanan pendidikan yang berkualitas dan fasilitas yang memadai. Semua pembiayaannya ditanggung pemerintah. Sehingga, seluruh kebutuhan pendidikan masyarakat akan terpenuhi. Islam memang pantas menjadi peradaban yang gemilang dan terdepan dalam segala bidang.

Wallahu a’lam bi ash-shawwab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Adibah NF Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Utopia Pemberantasan Korupsi dalam Sistem Kapitalisme
Next
Pejabat Makin Kaya, Rakyat Makin Sengsara
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram