"Demokrasi bisa mati karena kudeta atau mati pelan-pelan. Kematian bisa tidak disadari ketika terjadi selangkah demi selangkah, dengan terpilihnya pemimpin otoriter, disalahgunakannya kekuasaan pemerintah, dan penindasan total atas oposisi (Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam buku 'Bagaimana Demokrasi mati')."
Oleh. Neneng Sri Wahyuningsih
NarasiPost.Com-Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut demokrasi, sehingga di dalamnya menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan. Bagi demokrasi, kebebasan merupakan ruh sekaligus pilar pengokohnya. Tanpanya, demokrasi bisa mati. Sehingga negara akan senantiasa menjaga nilai-nilai tersebut demi langgengnya sistem ini. Hanya saja, saat ini negeri zamrud khatulistiwa tengah mendapatkan rapor merah atas pelaksanaan demokrasinya. Mengapa demikian?
Diwartakan dalam laman cnnindonesia.com (27/9/2021), pada bulan September, Indikator Politik Indonesia (IPI) telah melakukan survei secara random kepada 1.200 responden mengenai tingkat kepuasan masyarakat Indonesia dalam pelaksanaan demokrasi di negeri ini. Dari survei tersebut diperoleh bahwa tingkat ketidakpuasan meningkat dari 32,1 persen menjadi 44,1 persen. Adapun penyebab dari peningkatan ketidakpuasan ini, menurut Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati, dikarenakan adanya tindakan pemerintah yang telah menyalahgunakan wewenang, yakni banyak penangkapan kepada para pendemo dan aktivis. Beginilah nasibnya ketika para pejuang demokrasi (penguasa) justru telah menodainya.
Demokrasi di Ambang Kehancuran
Di negeri ini, kebebasan untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat telah dijaminan dalam sebuah aturan perundang-undangan. Namun, faktanya saat ini tidaklah demikian. Betapa tidak, sedikit demi sedikit mulai tampak nilai kebebasan yang selalu diagung-agungkan hanyalah omong kosong belaka. Slogan 'dari, oleh, dan untuk rakyat' hanya manis untuk didengar, tapi tidak enak untuk dirasakan. Entah rakyat mana yang mereka maksud. Nyatanya, rakyat jelata sering menelan pil pahit karena ketidakadilan dari berbagai kebijakan yang ada di negeri ini.
Bahkan, jika mengacu pada International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA), penurunan indeks demokrasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 2020 ini menjadi yang paling parah sejak 2005. Pasalnya, sekarang telah terjadi kemunduran kualitas terhadap kesetaraan dan hak asasi manusia, sistem administrasi yang tidak memihak, dan keterlibatan publik. (Cnnindonesia.com, 6/8/2021)
Ya, sering kita saksikan adanya pembungkaman terhadap para aktivis mahasiswa yang menyampaikan aspirasi, berbagai kebijakan pemerintah yang digulirkan tidak memihak rakyat seperti pengesahan UU KPK hasil revisi, pelaksanaan tes wawasan kebangsaan (TWK) kepada pegawai KPK, hingga pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja, dan lainnya. Selain itu, belum lama ini juga pembuatan mural dipersoalkan. Tak heran, jika akhirnya diperoleh tingkat ketidakpuasan terhadap demokrasi di negeri ini semakin meroket.
Kini, demokrasi pun diambang kehancuran. Masyarakat sudah mulai sadar, bagaimana buruknya sistem ini. Kerusakan yang terjadi bukan karena persoalan belum sempurna dalam penerapannya saja, melainkan memang sudah cacat dari sejak lahirnya.
Demokrasi dalam Kacamata Islam
Menurut Abdul Qadim Zallum (1990), demokrasi sangat berbenturan dengan hukum-hukum Islam, baik secara garis besar maupun rinciannya. Demokrasi lahir dari pemahaman bahwa aturan Sang Pencipta tidak boleh mencampuri urusan manusia (sekularisme). Maka, kedaulatan berada di tangan rakyat. Hal ini berarti, manusia memiliki wewenang penuh untuk membuat aturan. Padahal seyogyanya, mereka hanyalah makhluk yang memiliki keterbatasan dan kelemahan, sehingga dapat dipastikan aturan yang dibuatnya pun tak akan pernah sempurna.
Selain itu, demokrasi juga menobatkan rakyat sebagai sumber kekuasaan. Oleh karenanya, rakyat akan memilih penguasa yang sarat manfaat. Mereka ada untuk memuluskan kepentingannya sendiri atau golongannya. Selanjutnya, demokrasi juga senantiasa menonjolkan kebebasan individu. Tak peduli, apakah itu merugikan atau menyakiti orang lain. Bahkan seandainya melecehkan agama pun tetap akan dilindungi oleh negara.
Semua yang disebutkan di atas, tentu tidaklah sejalan dengan Islam. Lantas seperti apakah sistem Islam?
Islam, Sistem Kehidupan Terbaik bagi Manusia
Islam merupakan agama yang syamil (menyeluruh) dan kamil (paripurna), tidak hanya sebagai agama ritual semata. Hal ini dikarenakan, Islam memiliki pemikiran-pemikiran yang mencakup akidah dan hukum-hukum di berbagai lini kehidupan, sekaligus cara untuk menegakkan pemikiran tersebut dalam realitas kehidupan. Islam bertumpu di atas keyakinan bahwa keimanan mengharuskan kehidupan terikat dengan aturan Islam. Sehingga manusia tak ada kesempatan untuk membuat aturan semaunya. Pihak yang berhak atasnya hanyalah Allah semata. Sebagaimana dalam Surat Al-An'am:57, "… Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah…".
Dalil lain pun menyatakan hal serupa, yakni pada Surat An Nisaa’ [4]: 65), “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim (pemutus) terhadap perkara yang mereka perselisihkan.”
Adapun terkait pemimpin, umat akan memilih penguasa yang akan menerapkan pelaksanaan perintah dan larangan Allah atas umatnya. Begitu pun mengenai kebebasan. Islam memandang bahwa manusia harus senantiasa terikat dengan hukum syara'. Terkait agama, Islam tidak akan memaksa warganya yang masih nonmuslim untuk masuk Islam. Akan tetapi, melarang keras (haram) seorang muslim mencampakkan akidah Islam (murtad). Bagi yang murtad, negara akan memberikan waktu sekitar tiga hari untuk bertaubat. Jika tidak, maka ia akan dibunuh, diambil hartanya, dan dipaksa dipisahkan dari istrinya (jika istrinya muslim). Rasulullah pernah bersabda dalam riwayat HR Bukhari dan Muslim bahwa, “Siapa saja yang mengganti agamanya, maka bunuhlah".
Di samping itu, mengenai nilai kebebasan lainnya seperti kebebasan berpendapat, kepemilikan, dan bertingkah laku pun haruslah disesuaikan dengan ketentuan syariat-Nya. Misalnya, seorang pemimpin harus legowo dikritik oleh rakyatnya, jika telah terbukti melanggar hukum syara' atau lalai terhadap rakyatnya. Selanjutnya perihal kepemilikan, dalam Islam sudah ditentukan pengelompokan jenisnya berdasarkan kepemilikan individu, umum, atau negara. Sehingga individu tidak bisa seenaknya merampas dan menikmati harta kepemilikan umum atau negara. Begitu pun terkait bertingkah laku, semuanya distandardkan pada halal dan haram sesuai syara'. Jika Allah rida akan dilakukan, tapi jika tidak maka harus ditinggalkan tanpa ada kompromi sedikit pun.
Sistem Islam yang sempurna ini bukanlah khayalan atau mimpi di siang bolong. Faktanya memang telah diterapkan di dunia selama 13 abad lamanya. Tak ada yang mengelak tentang sejarah kegemilangannya. Islam telah tampil dalam bentuk sebuah sistem kenegaraan yang dimulai sejak zaman Rasulullah saw hingga masa-masa setelahnya, yakni berupa sistem Khilafah Islamiyah hingga akhirnya diruntuhkan pada tahun 1924. Begitu idealnya sistem Islam. Sistem yang tidak ada kecacatan sedikit pun. Sistem kehidupan yang terbaik bagi seluruh manusia karena memberikan solusi tepat bagi seluruh permasalahan yang terjadi. Masihkah ragu untuk menerapkannya?
Wallahu a'lam bishshowab[]