Menggaungkan bangga dengan produk Indonesia, cintai produk-produk Indonesia tetapi malah pemerintahnya yang doyan impor, alih-alih untuk mengatasi kebutuhan dalam negeri, yang ada hanya menguntungkan para pemilik modal dan meninggalkan utang yang besar bagi Indonesia. Bahkan, tidak sedikit kasus hasil impor terpaksa dimusnahkan dengan berbagai alasan.
Oleh. Nur Hajrah MS
(Aktivis Dakwah Nisa Morowali)
NarasiPost.Com-Cintailah produk-produk Indonesia merupakan slogan yang tidak asing di benak masyarakat Indonesia. Kampanye slogan tersebut pernah digaungkan oleh perusahaan Maspion group bersama publik figure, Titik Puspa. Kampanye Cintai Produk-Produk Indonesia ini kembali digaungkan Presiden Joko Widodo dengan program "Bangga Buatan Indonesia". Dengan program ini diharapkan akan mampu mengembangkan pasar produk nasional.
Presiden Joko Widodo bukan hanya mengampanyekan untuk mencintai dan bangga akan produk-produk dalam negeri, tetapi juga mengampanyekan untuk benci produk-produk luar negeri. Jokowi berpendapat, bahwa dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 270 juta jiwa, seharusnya bisa menjadi konsumen yang loyal terhadap produk-produk buatan dalam negeri. (cnnindonesia.com, 04/03/2021)
Lantas apakah program ini sesuai dengan yang diharapkan? Seriuskah pemerintah menjalankan programnya? Namun, pada kenyataannya sungguh sangat disayangkan. Di jagad maya, mereka yang berada di jajaran pemerintahan tidak sedikit yang sering memposting foto-foto mereka bersama barang-barang branded buatan luar negeri yang mereka miliki. Bukankah sebagai petinggi negeri harus mengikuti kebijakan yang mereka buat sendiri? Lantas, mengapa mereka sendiri yang tidak konsisten terhadap kebijakan yang mereka buat?
Cintai produk Indonesia atau bangga dengan produk Indonesia tetaplah hanya sebatas slogan yang tidak untuk diterapkan. Program tersebut hanya sebatas wacana, tetapi tidak terlaksana. Buktinya mobil Esemka, mobil yang pernah dibanggakan sebagai salah satu produk otomotif buatan anak negeri, mobil yang pernah digadang-gadangkan akan diproduksi massal di dalam negeri dan akan dipasarkan, tetapi pada kenyataannya, seiring berjalannya waktu buatan anak negeri ini pun terlupakan.
Belum lagi dengan masalah impor, mulai dari kebutuhan primer, sekunder, dan tersier, migas maupun nonmigas begitu sering dilakukan oleh pemerintah. Katanya untuk menjaga ketersediaan dan kestabilan kebutuhan dalam negeri, tetapi pada faktanya setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah hanya menyenangkan para pemilik modal dan yang ada hanya menambah utang negara.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah impor migas dan nonmigas per Agustus 2021 mencapai USD 16,68 miliar. Naik 10 persen dibandingkan dengan jumlah impor pada Juli 2021, dimana sektor migas jumlah impornya mencapai 14,74 persen dan disektor nonmigas mencapai 9,76 persen. (liputan6.com, 15/09/2021)
Begitu pun dalam sektor pangan, dilansir dari cnbcindonesia.com, BPS mencatat dalam kurun waktu Januari sampai Agustus 2021 tercatat jumlah impor pangan yang dilakukan Indonesia mencapai 15 juta ton atau setara Rp118,9 triliun yang terdiri dari beras, kopi, teh, cengkeh, bawang, jagung, ubi kayu, dan lain sebagainya. Padahal kebutuhan pangan ini masih bisa dihasilkan di negeri sendiri, apalagi mengingat Indonesia adalah negara yang terletak di garis khatulistiwa sehingga memiliki iklim tropis yang cocok untuk pertanian. Namun, sungguh sangat disayangkan pemerintah malah melakukan impor pada sektor pangan ini. Padahal petani-petani yang ada di Indonesia juga pasti sanggup untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri, asal pemerintah pun ikut andil dan mendukung para petani. Bukan malah mengambil solusi instan dengan melakukan impor yang justru hanya merugikan masyarakat dan menambah utang negara.
Menggaungkan bangga dengan produk Indonesia, cintai produk-produk Indonesia tetapi malah pemerintahnya yang doyan impor, alih-alih untuk mengatasi kebutuhan dalam negeri, yang ada hanya menguntungkan para pemilik modal dan meninggalkan utang yang besar bagi Indonesia. Bahkan, tidak sedikit kasus hasil impor terpaksa dimusnahkan dengan berbagai alasan. Contohnya, pada tahun 2018 akibat kebijakan impor beras yang berlebihan terjadilah penumpukan beras di gudang Perum Bulog. Akibatnya beras yang menumpuk terlalu lama di gudang mengalami penurunan kualitas, sehingga pada tahun 2019 Perum Bulog terpaksa mengambil keputusan untuk memusnahkan beras cadangan pemerintah tersebut.
Beras cadangan pemerintah yang dimusnahkan Perum Bulog ketika itu mencapai 20 ribu ton dengan nilai beras mencapai Rp160 milliar. Miris, beras 20 ribu ton dengan nilai Rp160 milliar musnah percuma akibat kebijakan yang salah kaprah. Dan yang menjadi pertanyaannya, mengapa beras itu hanya digudangkan dan tidak segera didistribusikan kepada masyarakat? Katanya distribusi harus sesuai prosedur yang telah ditentukan. Lantas, apakah harus mengikuti prosedur untuk membantu masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan? Akibat kebijakan impor yang berlebihan dan salah kaprah, beras dimusnahkan, padahal ada rakyat yang hidup dalam kesusahan dan kelaparan.
Selain itu, pada Maret 2021, Badan Karantina Pertanian Kementerian Pertanian RepubIik Indonesia, memusnahkan 108 ton jahe yang diimpor pemerintah Indonesia dari negara Vietnam dan Myanmar. Alasan dimusnahkannya 108 ton jahe tersebut karena dinilai jahe mulai membusuk dan terdapat banyak tanah pada jahe yang ditakutkan mengandung bakteri berbahaya. (detiknews.com, 22/03/2021)
Ironisnya, negara Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alamnya, tetapi semua kekayaan itu seolah-olah tidak mampu memenuhi kebutuhan rakyatnya, sehingga harus sering melakukan impor. Impor menjadi senjata para negara kapitalis untuk menguasai kekayaan negara berkembang, menjanjikan dan memberikan segala kemudahan bagi negara berkembang agar bisa menjalin kerjasama. Pada akhirnya kembali rakyat yang diberikan beban untuk membayar utang negara akibat kebijakan impor yang dilakukan pemerintah. Wajib membayar pajak adalah salah satu kebijakan yang menjadi sumber pendapatan negara dimana hasilnya juga digunakan untuk membayar utang negara.
Pemerintahan di negeri ini yang telah condong ke arah kapitalis liberal, tidak akan bisa berhenti untuk melakukan impor jika tidak melakukan perubahan. Untuk menghentikan kebiasaan impor ini dibutuhkan sistem pemerintahan yang lebih jelas tujuan sistem pemerintahannya terutama dalam pengurusan rakyat. Sistem pemerintahan yang betul-betul pro sebagai pelayan rakyat, bukan sistem pemerintahan yang lebih memperhitungkan untung rugi dalam mengurus rakyatnya. Sistem pemerintahan yang betul-betul meri'ayah rakyat bukan malah meri'ayah golongan atau individu pemilik modal.
Sistem Pemerintahan Islam Solusinya
Dalam sistem pemerintahan Islam, aktivitas ekspor maupun impor begitu diperhatikan, harus berjalan sesuai syari'at Islam dan tentu saja tidak akan sampai membebani rakyatnya dengan utang. Sistem pemerintahan Islam menjadikan negaranya mandiri, tidak bergantung pada negara kapitalis untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya apalagi sampai berutang. Sistem pemerintahan Islam juga menerapkan sistem ekonomi syariah yang terbukti mampu me'riayah masyarakatnya.
Perdagangan atau aktivitas jual beli sendiri adalah aktivitas yang yang disyariatkan oleh Allah Swt, sebagaimana firman-Nya yang artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perdagangan yang berlaku-suka sama suka di antara kalian. " (QS an-Nisa : 29).
Islam mengatur sistem perdagangan, baik itu dalam lingkup domestik (dalam negeri) maupun ekspor-impor (luar negeri). Dalam lingkup domestik, transaksinya dilakukan oleh warga negara yang ada di dalam wilayah tersebut, dimana setiap transaksi jual beli harus memperhatikan hukum-hukum jual beli sesuai yang disyariatkan. Sedangkan dalam lingkup ekspor-impor (perdagangan luar negeri), dalam pandangan Islam hukumnya boleh, tetapi dengan memperhatikan atau melihat apa kewarganegaraan atau siapa pelaku jual belinya. Bukan memperhatikan pada aspek barang atau komuditi apa yang diperdagangkan.
Dilansir dari muslimahnews.com, dalam memperhatikan dengan siapa melakukan transaksi dalam hal ini ekspor-impor mereka dibagi dalam tiga bagian.
Pertama, kafir harbi. Mereka yang tinggal di wilayah negara kafir dan bermusuhan dengan Islam. Mereka diperbolehkan melakukan jual-beli dengan negara Islam dengan syarat memiliki izin masuk wilayah negara Islam atau menggunakan visa khusus, kecuali warga negara kafir harbi fi'lan sama sekali tidak boleh melakukan aktivitas perdagangan dengan mereka, seperti Amerika, Israel, Perancis dan warga negara kafir harbi fi'lan lainnya.
Kedua, kafir mu'ahad. Mereka yang menjadi warga negara kafir yang memiliki perjanjian dengan negara Islam. Boleh atau tidaknya melakukan perdagangan dengan negara Islam tergantung dari isi perjanjian tersebut.
Ketiga, warga negara Islam atau Khilafah. Baik mereka yang muslim maupun nonmuslim (kafir dzimmi), selama aktivitas perdagangan sesuai hukum-hukum syariat Islam, maka mereka bebas melakukan aktivitas perdagangan baik domestik maupun luar negeri. Hanya saja, mereka tidak boleh melakukan ekspor terhadap komoditas yang sangat dibutuhkan di dalam negeri.
Maka sangat jelas, hanya daulah Khilafah Islamiyyah yang mampu menjaga stabilitas ekonomi negara. Sehingga aktivitas impor yang berlebihan bukan menjadi solusi instan untuk menjaga kestabilan kebutuhan dalam negeri. Mencintai produk-produk dalam negeri pun jelas adanya karena Khilafah menjamin setiap komoditas dan produk-produk yang dihasilkannya. Tanpa melakukan kampanye, warga negaranya sudah pasti akan mencintai dan bangga akan setiap komoditas dan produk-produk yang dihasilkan negaranya. Jelaslah bahwa Daulah Khilafah Islamiyyah adalah solusi permasalahan dalam aspek ekonomi dan aspek kehidupan lainnya.
Wallahu a'lam bish-shawab.[]