"Rasulullah saw. tidak marah disebabkan urusan duniawi, tetapi apabila kebenaran itu didustakan dan ditentang, beliau akan marah tanpa ada seorang pun yang bisa tegak dihadapan kemarahan beliau, sehingga beliau memenangkan kebenaran itu."
(HR. Muslim, Abu Dawud,dan At-Tirmizi)
Oleh. Misnawati
(Aktivis Dakwah)
NarasiPost.Com-Negeri ini kembali dihebohkan dengan penemuan potongan kertas yang bertuliskan ayat-ayat suci Al-Qur’an pada pelapis petasan. Peristiwa tersebut diketahui saat petasan dibakar pada sebuah hajatan pernikahan salah satu warga di Kelurahan Parung Serab, Kota Tangerang, Banten. Tentu saja, peristiwa tersebut mengundang kemarahan masyarakat. Beragam reaksi bermunculan, tak terkecuali tokoh ulama.
Dikutip dari sindonews.com, Ketua Umum Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Trisno Raharjo, mengatakan, "Lembar Al-Qur’an tidak dibenarkan untuk digunakan sebagai media pembungkus apa pun. Pelaku yang menggunakan baik sengaja atau tidak, perlu diproses secara hukum." kata Trisno saat dihubungi MNC Portal, Minggu (12/09/2021).
Masih hangat dalam ingatan umat, pelecehan agama oleh murtadin kece terhadap Nabi saw. Kini datang lagi petasan yang dibungkus menggunakan kertas Al-Qur’an.
Kebebasan memeluk agama Islam selalu terusik. Betapa tidak, selalu saja ada orang yang berani mengganggu dan menjadikan Al-Qur’an sebagai pembungkus petasan. Seolah kasus tidak ada habisnya dan sulit diringkus. Tetapi kasus akan mendapat perhatian, bila kaum minoritas yang mengalami, tidak butuh lama aparat sudah mengetahui pelaku dan motif kejahatan yang dilakukan.
Berita pun akan menjadi santapan empuk media mainstream, siang-malam penayangan dilakukan. Lalu dengan mudahnya menyematkan kata radikal, teroris, dan intoleransi pada agama Islam.
Al-Qur'an adalah kitab suci agama Islam yang diturunkan kepada Rasulullah saw. Keberadaannya sangat dimuliakan oleh umat Islam. Sebab, ia merupakan kalamullah, petunjuk jalan kebenaran. Tidak ada keraguan sedikit pun di dalamnya, menjadi pedoman bagi umat Islam dalam menjalani kehidupan agar selamat dari kebinasaan di dunia dan akhirat.
Wajarlah, jika umat marah ketika ada yang menistakan Al-Qur'an. Dalam riwayat Imam Muslim, Abu Dawud, At-Tirmizi, menjelaskan: "Rasulullah saw. tidak marah disebabkan urusan duniawi, tetapi apabila kebenaran itu didustakan dan ditentang, beliau akan marah tanpa ada seorang pun yang bisa tegak dihadapan kemarahan beliau, sehingga beliau memenangkan kebenaran itu."
Perbuatan yang menjadikan Al-Qur’an sebagai pembungkus berdampak pada masyarakat luas, karena menimbulkan saling curiga antar sesama pemeluk agama, memecah belah kerukunan umat serta sangat membahayakan persatuan bangsa. Di samping dampak lain, membuat umat Islam tidak lagi mencintai agamanya, bahkan Islamopobia.
Demokrasi Sekuler Akar Masalah
Sistem demokrasi sekuler sangat menjunjung tinggi kebebasan, yakni: kebebasan berpendapat, kebebasan berperilaku, kebebasan kepemilikan, dan kebebasan beragama. Berawal dari sini dengan dalih HAM. Maka, bermunculan orang-orang yang berani menista agama Islam.
Ironis, para penista tidak merasa bersalah atas perbuatan mereka. Bila umat Islam tidak ada yang protes atau merasa terganggu, berarti apa yang dilakukan itu, boleh saja. Apatah lagi perundangan-undangan yang ada sangat mendukung kebebasan berbuat, sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal 281 ayat (4) UUD 1945. Sehingga hal ini pula yang melatarbelakangi lahirnya para penista agama.
Penistaan dan penodaan agama yang kerap terjadi. Membuktikan bahwa aturan buatan manusia yang diterapkan negara dalam pengaturan kehidupan, tidak akan pernah berpihak kepada umat Islam. Selama perbuatan itu mendatangkan kemanfaatan maka akan dikerjakan meskipun menyimpang dari kebenaran. Agama Islam dan simbol-simbolnya hanya diperlukan saat kampanye, sumpah jabatan, pembuatan undang-undang, atau kebijakan yang sarat kepentingan elite politik. Hal ini dilakukan guna mengelabui umat Islam, seakan peduli dan perhatian, tetapi nyatanya keberadaan nilai-nilai agama dihilangkan.
Jadi, negara yang dibangun berdasarkan sekularisme sangat memungkinkan terjadinya ketidakadilan dan lemah dalam melindungi agama Islam. Lihatlah, hukum yang berlaku tidak mampu membuat jera para penista. Bahkan, dengan alasan gila atau ucapan maaf bisa terbebas dari tuntutan penjara, kasus pun hilang tak tentu rimba.
Oleh karena itu, sistem demokrasi sekuler wajib dienyahkan dari pemikiran umat. Selain lemah dan terbatas, sistem ini sangat buruk dalam mengatur kehidupan manusia. Mirisnya lagi, tidak mengakui keberadaan Allah Swt. sebagai Pencipta dan Pengatur kehidupan manusia, baik dalam urusan pribadi, masyarakat, maupun bernegara. Tidak ada kebaikan sedikit pun di dalamnya, yang ada malah menciptakan kegaduhan.
Islam Menjaga Kehormatan Agama
Kesempurnaan Islam telah ada semenjak dibawa Rasulullah saw., tidak ada yang berani melakukan penyimpangan atau menghina Al-Qur’an. Rasulullah saw., telah mengingatkan dalam sabdanya:
"Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab: "Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja." Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan dari kamu (lantaran mereka tobat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa." (TQS. At-Taubah: 66)
Dalam catatan sejarah, pada peristiwa perang Tabuk, kala itu kaum munafikin telah menghina para Sahabat ra. Tetapi, Rasulullah saw. tidak memaafkan serta tidak menerima berbagai alasan mereka, sekalipun hanya bercanda. Hingga beliau saw. membacakan Al-Qur’an surah At-Taubah ayat 66 tersebut.
Perbuatan menistakan dan menghina agama sangat dilarang Allah Swt. sebab termasuk dosa besar. Bila pelakunya seorang muslim, maka ia terkategori munafik. Perilakunya itu bisa menyebabkan keluar dari agama Islam (murtad) bila tidak segera bertobat. Orang semacam ini secara syariat akan dibunuh karena kekufurannya, terlebih menampakkan kebencian terhadap agama dan umat-Nya.
Demikian juga, bila pelakunya adalah orang kafir zimi (orang dengan keyakinan lain tetapi telah menjadi warga negara Islam) mu'ahid atau musta'min (orang yang dalam perlindungan jaminan keamanan) akan mendapatkan hukuman sesuai pelanggarannya sama seperti orang muslim.
Ketika mereka hidup di bawah kekuasaan negara Islam, maka mereka terikat perjanjian akan tunduk dalam hukum-hukum Islam. Di samping itu, mendapat jaminan negara terkait keamanan, perlindungan jiwa, harta, kehormatan, dan keyakinannya.
Ketika yang melakukan penistaan agama adalah seorang kafir harbi (orang yang tidak terikat hukum Islam), maka wajib diperangi. Sebagaimana Allah Swt. telah berfirman: "Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi sehingga agama itu hanya untuk Allah belaka. Jika mereka berhenti dari memusuhi kamu, maka tidak ada permusuhan lagi, kecuali terhadap orang-orang yang zalim." (TQS. Al-Baqarah: 193)
Dalam Islam, khalifah adalah orang yang paling bertanggung jawab melindungi agama dan umat. Sebagaimana yang dilakukan Khalifah Abdul Hamid II pada masa Kekhilafahan Usmaniyah. Beliau marah besar ketika mendengar kabar Prancis akan menggelar teater yang menampilkan tokoh utama Rasulullah saw. Dengan tegas khalifah meminta untuk menghentikan pertunjukan dan mengancam pihak Prancis akan diperangi. Alhasil, Prancis ketakutan dan membatalkannya.
Ketiadaan Khilafah membuat agama Islam selalu menjadi bahan ejekan dan hinaan para penista. Tentu kita berharap, para penista bisa diberantas hingga tuntas. Karenanya, harapan yang bisa melindungi agama adalah keberadaan Khilafah Islamiyah dengan penerapan syariah-Nya. Oleh sebab itu, memperjuangkannya menjadi kewajiban kaum muslim di Indonesia juga seluruh dunia.
Dalam rangka mewujudkannya, dibutuhkan sosok pemimpin yang mampu mengayomi dan melindungi rakyat. Pentingnya kehadiran seorang pemimpin, Rasulullah saw. telah mengingatkan dalam sabdanya: "Imam (Khalifah) adalah perisai, rakyat akan berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR. Muslim)
Kini, saatnya umat menyadari sepenuhnya untuk menerapkan aturan Islam secara kaffah dalam semua aspek kehidupan, sebagai bentuk kecintaan orang beriman terhadap Nabi saw. dan Islam. Oleh karena itu, menjadikan akidah dan syariah-Nya sebagai pegangan untuk membela kebenaran merupakan wujud ketakwaan upaya meraih keridaan-Nya.
Wallahu a'lam.[]