"Negara yang tegak di tengah kaum muslim hari ini bukan negara pembela syariat, melainkan negara boneka pembela korporat. Negara jenis ini tak punya kepentingan membela agama atau ajaran Islam meski yang menjadi mayoritas penduduknya adalah muslim."
Oleh. Uqie Nai
(Member AMK4)
NarasiPost.Com-Belum usai rasa sakit akibat ulah M. Kece, umat Islam harus kembali mengelus dada dengan ditemukannya potongan kertas Al-Qur’an yang dijadikan bungkus petasan. Fakta ini terjadi saat warga Parung, Serab, Kota Tangerang menggelar acara hajatan, di mana dalam budaya masyarakat setempat menyalakan petasan adalah hal biasa, sebagai pertanda akad nikah telah usai dilaksanakan. Namun tak disangka, di antara puing petasan tersebut, berserakan kertas berlafazkan ayat Al-Qur’an.
Ketua Umum Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Trisno Raharjo, mengecam pelaku yang menjadikan kertas Al-Qur’an sebagai pembungkus petasan. Ia meminta aparat kepolisian mengusut pelakunya, baik sengaja atau tidak. Harus diproses sesuai hukum, karena dalam kondisi apa pun lembar Al-Qur’an dilarang dijadikan media pembungkus (Sindonews.com, 12/9/2021).
Demokrasi Menyuburkan Pelaku Penistaan
Kasus berulangnya penistaan terhadap Islam, ajaran, serta simbol-simbolnya bukan hal yang baru terjadi di negeri ini. Bahkan, di luar sana pun kasus serupa sering terjadi. Para pelaku terus menampakkan batang hidungnya, tak sungkan menampakkan kebencian serta penghinaannya terhadap Islam. Sebab, mereka sadar tindakannya tidak berdampak serius pada dirinya. Terlebih ada payung hukum bernama HAM yang siap melindunginya. Kalaupun kaum muslim meradang, seluruh dunia mengecam, cukup keluarkan senjata andalan “maaf.”
Kondisi ini tentu saja membuat kaum muslim gerah dan marah, tanpa bisa berbuat banyak. Karena yang paling berhak menangani dan menindak tegas pelaku penistaan ada di tangan negara. Sementara, negara yang tegak di tengah kaum muslim hari ini bukan negara pembela syariat, melainkan negara boneka pembela korporat. Negara jenis ini tak punya kepentingan membela agama atau ajaran Islam meski yang menjadi mayoritas penduduknya adalah muslim.
Tengok saja ketika berita ini mencuat ke permukaan, adakah penguasa negeri ini bersuara? Sekadar basa-basi pun tak ada, apalagi berharap mengerahkan tentara menangkap pelaku dengan segera. Mengapa? Islam dan pemeluknya tak lagi menarik untuk diberikan pembelaan. Ada hal yang lebih penting dan menarik dari semua itu untuk pemangku kebijakan, yakni berdialog mesra bersama juragan pemilik modal. Inilah fakta miris yang harus diterima masyarakat ketika negara mengadopsi ideologi demokrasi kapitalisme. Sebuah ideologi yang menjadikan materi sebagai tujuan bernegara dan berbangsa.
Kembalinya Junnah Pelaku Penista akan Binasa
Ketiadaan junnah (perisai) pasca diruntuhkannya oleh laknatullah Kemal Pasha Atta-Turk dan sekutunya membuat kehidupan kaum muslim dilanda krisis multidimensi yang berkepanjangan. Tak ada penjagaan akidah, akal, jiwa, keturunan, harta, dan juga negara sebagaimana Maqashid As-Syari’ah yang dibebankan syarak kepada pemimpin negara. Ketiadaan junnah ini pula yang membuat pemimpin negara sekaliber Macron, berani menghina Islam dan sosok mulia penerang alam, Muhammad Rasulullah saw.
Secara personal bisa saja kaum muslim memberikan sanksi tegas kepada pelaku pelecehan dan penistaan terhadap Islam dan simbolnya, jika negara yang menaungi kaum muslim adalah negara penerap syariat. Pemimpinnya dalam sistem ini benar-benar menjadi penjaga keamanan dan kenyamanan publik, termasuk melindungi orang yang menjadikan Allah dan rasul-Nya lebih ia cintai dari apapun.
Dikisahkan di masa Rasulullah saw. Ada seorang sahabat buta yang memiliki budak wanita berakhlak buruk pencela Rasul, setiap hari tak pernah sedikit pun dilewatkan untuk menghina dan mencaci Nabi saw. Hingga beberapa kali lelaki buta ini memperingatkan, sang budak tak jua diam. Ia baru terdiam saat lelaki buta itu menghunjamkan pisau ke tubuhnya. Berita ini sampai kepada Rasulullah saw. Pada pagi harinya, lalu beliau bersabda: “Saksikanlah bahwa darah wanita itu tidak bisa dituntut.” (HR. Abu Dawud 4363, Ad-Daruqutniy 3242, disahihkan Al-Albani)
Kisah serupa terjadi pula di masa kekhalifahan Utsmaniyah. Sultan Abdul Hamid II yang merupakan khalifah ke-34 dibuat marah ketika mendapat kabar Prancis akan menggelar pementasan teater dengan menampilkan tokoh utamanya Nabi Muhammad saw. Sultan Abdul Hamid lalu memanggil utusan Prancis dan mengatakan: “Aku adalah khalifah umat Islam Abdul Hamid Han! Aku akan menghancurkan dunia di sekitarmu jika tidak menghentikan pertunjukan teater.”
Pertunjukan itu pun akhirnya dibatalkan, mengingat ancaman dari Khalifah Abdul Hamid II bukan main-main. Bukan sekadar gertakan, tapi betul-betul akan mengerahkan pasukannya dengan semangat jihad yang begitu membara, manakala mereka mengetahui Nabi saw. tercinta dinista.
Dengan dua gambaran kisah di atas mempertegas bahwa hanya negara Islam yang berperan sebagai penjaga, di belakangnya umat akan berlindung dari berbagai serangan yang mengancam. Rasulullah saw. telah bersabda: “Sesungguhnya imam itu perisai, di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya dan berlindung (dan musuh) dengan kekuasaannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadirnya junnah di tengah umat butuh perjuangan seluruh kaum muslim agar kehidupan aman dan nyaman segera terealisasi. Begitu pun kasus penistaan terhadap Islam dan simbolnya akan dibasmi tuntas dengan keberadaannya.
Wallahu a’lam bi ash Shawwab.[]