"Berdasarkan pengamatan, ajang-ajang yang mengusung ide bernuansa liberal ini diimpor dan didukung oleh Barat, sebagai punggawa liberalisme secara global. Dampak lebih jauh yang diinginkan adalah terbentuknya persepsi akan justifikasi bahwa muslim dan Islam membenarkan ide-ide seperti GBLT."
Oleh. Iranti Mantasari, BA.IR, M.Si
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Akhir September lalu, publik cukup digemparkan oleh pemberitaan media akan sosok yang dinyatakan memenangkan sebuah kontes bertajuk “Miss Queen” yang diadakan di Bali. Usut punya usut, ajang ini ternyata merupakan kontes bagi mereka yang telah mengubah kelamin mereka atau yang kini dikenal dengan sebutan transgender. Melalui akun Instagram resminya, penyelenggara ajang ini mengumumkan para pemenang serta peserta yang ikut berkompetisi merebutkan gelar “Miss Queen 2021”, bahkan ternyata pemenang ajang ini pun sudah memiliki followers sebanyak 1,2 juta di Instagram.
Jika ditarik ke belakang, ajang seperti Miss Queen ini bukan pertama kalinya diselenggarakan. Bahkan bila melihat kondisi masyarakat hari ini, boleh jadi ajang serupa bukanlah ajang yang terakhir dan akan dilaksanakan lagi di waktu yang lain. Pada tahun 2014 pernah diadakan Miss Waria di Bengkulu, lalu pada tahun 2016 juga diadakan kontes yang sama di Jakarta, yang bahkan pesertanya berasal dari luar negeri.
Dari sekian banyak komentar akan acara ini, satu yang pasti adalah bahwa ajang ini ataupun acara apapun yang sejenis menandakan paham GBLT (Gay, Biseksual, Lesbian, Transgender) sudah banyak dibenarkan di tengah masyarakat kita. Dari ajang ini saja, berarti para peserta, panitia penyelenggara, pemberi izin acara, hingga sponsor-sponsor yang mendanai adalah pihak yang jelas menyetujui paham yang diharamkan di dalam Islam ini. Selain itu, kompetisi ini juga menjadi bukti akan dalamnya tancapan pemahaman akan HAM yang sarat ditunggangi oleh sekularisme dan liberalisme.
Masyarakat yang menunjukkan toleransinya akan hal ini lantas dianggap sebagai sebuah kemajuan dan pengakuan akan hak individu, lalu yang intoleran atau yang tidak menyetujui malah dianggap sebagai pihak yang mundur, tidak berpikiran terbuka, hingga eksklusif –dengan konotasi negatif. Pengkotak-kotakan seperti ini sudah seperti sebuah pola dalam era yang penuh intrik ini, untuk memudahkan identifikasi pihak mana yang harus “dirangkul” dan yang sebaiknya “dipukul”.
Jika ditelaah secara lebih dalam, sebenarnya sudah banyak yang mengungkap, baik dalam dokumen resmi maupun tidak resmi, bahwa ajang-ajang yang mengusung ide bernuansa liberal ini diimpor dan didukung oleh barat, sebagai punggawa liberalisme secara global. Negeri dengan penduduk muslim terbesar di dunia ini tentu menjadi sasaran, sehingga dampak lebih jauh yang diinginkan adalah terbentuknya persepsi akan justifikasi bahwa muslim dan Islam membenarkan ide-ide seperti GBLT.
Dalam hal ini, jelas juga bahwa negara sudah dan sedang melakukan pembiaran serta tidak menutup berbagai keran yang dapat mengalirkan ide rusak ini kepada publik. Perilaku yang dilaknat oleh Allah ‘azza wa jalla ini juga menjadi ‘lumrah’ karena diadopsinya kebebasan dan HAM liberal, padahal di dalam Islam, pemimpin memiliki tanggung jawab yang besar untuk menjaga rakyatnya dari kerusakan, termasuk dari kerusakan pemikiran, yang tentu tak kalah berbahaya dari kerusakan yang sifatnya fisik.
Tanpa bermaksud mewajarkan, sikap negara yang demikian tentu sudah “terbaca”, mengingat miskinnya negeri ini dari aturan syariah yang secara jelas dan tegas melarang pengembanan serta penyebarluasan ide haram ini di tengah masyarakat. Logika mudahnya, bila syariat Islam menolak perilaku ini, maka ketika perilaku ini justru menjadi hal yang diterima oleh negara dan masyarakat, tentu syariat saat itu sedang tidak diterapkan. Hal ini juga mematahkan pendapat sebagian kalangan yang mengatakan bahwa negara hari ini adalah negara yang syar’i.
Sekularisme yang menghujam secara terstruktur, sistemik dan masif seperti yang dirasakan langsung hari ini adalah biang kerok dari berbagai kerusakan yang terjadi. Sekularisme juga menumbuhsuburkan banyak sekali kemaksiatan, perbuatan dosa, hingga pemikiran yang meracuni benak umat. Oleh karena adanya sekularisme inilah, syariat dicampakkan dan hanya berlaku dalam ranah yang dianggap pribadi, serta membuat umat Islam berpandangan kabur atau bahkan buta akan agamanya sendiri.
Dalam level yang lebih tinggi, sekularisme juga mencetak pemimpin yang menjalankan kekuasaannya yang berorientasi pada aspek materi semata, sehingga hal-hal yang sebenarnya dikecam Islam, akan dibiarkan selama mengalirkan pundi-pundi rupiah. Padahal, andai saja para penguasa memahami betapa berat hisab yang dijalaninya kelak di akhirat, tentu mereka akan senantiasa berusaha agar syariat Allah sebagai pengatur kehidupan terbaik manusia dapat diterapkan.
Dengan demikian, merupakan sebuah urgensi agar individu-individu negeri, khususnya kaum muslimin, baik mereka yang dipimpin maupun yang memimpin untuk mewaspadai berbagai wacana sesat yang tersebar di tengah masyarakat. Pengkajian yang serius dan intensif tentang Islam serta berbagai pemikiran yang rusak dan merusak juga penting untuk diamalkan, sehingga pemikiran umat terbentengi dari hal-hal yang mampu mengundang murka Allah ‘azza wa jalla. Wallahu a’lam bisshawwab.[]