Perubahan definisi "kematian" yang dilakukan tidak lepas dari tujuan ekonomi yang ingin dicapai oleh pemerintah. Namun entah lupa atau sengaja, bahwa faktor utama dari penggerak ekonomi adalah manusia yang sehat. Jika manusianya sakit, bagaimana mungkin bisa melakukan kegiatan ekonomi. Re-definisi kematian yang dilakukan oleh pemerintah sangat jauh dari solusi permasalahan utama. Yaitu menyelamatkan jiwa masyarakat. Ini merupakan kelalaian dan kesalahan kebijakan. Bahkan hal ini semakin menunjukkan wajah asli pemerintahan demokrasi yang berasal dari sistem Kapitalisme. Hanya menjadikan manfaat ekonomi sebagai dasar seluruh kebijakan.
*****
Oleh: Aprilina, SE.I
NarasiPost.com - Menurut Staf Ahli Menkes Bid. Ekonomi, M. Subuh: "Penurunan angka kematian harus kita intervensi dengan membuat definisi operasional dengan benar, meninggal karena Covid-19 atau karena ada penyakit penyerta sesuai dengan panduan dari WHO dan dukungan BPJS kesehatan dalam pengajuan klaim biaya kematian pasien disertai Covid-19" (Kemenkes.go.id, 21/9).
Merespon kabar tersebut, Satgas Penanganan Covid-19 membantah bahwa pemerintah akan mengubah definisi kasus kematian Covid-19. Menurut Juru bicara Satgas covid-19, Wiko Adisasmito, pemerintah tidak berwacana mengubah definisi kasus kematian Covid-19. Ia juga mengatakan bahwa Indonesia telah mengikuti perhitungan data kasus kematian sesuai standar WHO, (Youtube Sekretariat Presiden, 22/9). Lantas apa maksud pernyataan dari Staf Ahli Menkes Bid. Ekonomi tersebut?
Tingginya angka penyebaran orang yang terinfeksi Covid-19 di Indonesia membuahkan hasil 68 negara di dunia melarang WNI masuk ke wilayahnya. Adapun negara-negara tersebut adalah Argentina, Antigua & Barbuda, Mikronesia, Soliman Island, Tuvalu, Fiji, Korea Selatan, Korea Utara, Taiwan, Macau, Mongolia, Italia, Yunani, Siprus, Arab Saudi, Rumania, Maldova, Serbia, Montenegro, Albania, Bulgaria, Makedonia Utara, Bosnia Herzegovina, Ukraina, Georgia, Armenia, Turki, Jerman, Swiss, Norwegia, Austria, Denmark, Swedia, Estonia, Latvia, Finlandia, Lithuania, Ceko, Hungaria, Polandia, Slovakia, Amerika Serikat, Kanada, Bahamas, Belize, El-Salvador, Guatemala, Handuras, Jamaika, Vietnam, Kamboja, Kosta Rika, Panama, Malaysia, Singapura, Afrika Selatan, Komoros, Rwanda, Sierra Lione, Djibouti, Angola, Nambia, Bangladesh, Nepal, Maladewa, India, Kyrgistan, Srilanka, (Kompas.com, 20/03).
Meskipun angka kesembuhan pasien yang terinfeksi Covid-19 menurut Presiden mencapai 73,25% per 25 September (okenews.com), dengan jumlah pasien meninggal 10.218 dari total 266.845, sembuh 196.196. Pada saat tulisan ini dibuat, perkembangan kasus pada Senin sore ( 12 Oktober), 333.449 kasus, 255.027 sembuh dan 11.844 meninggal (Tribunnewsmaker.com). Kenaikan jumlah ini tidak menjadikan pemerintah surut dalam menetapkan kebijakan ekonomi yang justru membahayakan keselamatan jiwa masyarakat. Pemerintah membuka pintu pariwisata yang katanya "safety" dari pandemi. Selain itu, pemerintah juga menerima kedatangan tenaga kerja asing dan aseng.
Perubahan definisi "kematian" yang dilakukan tidak lepas dari tujuan ekonomi yang ingin dicapai oleh pemerintah. Namun entah lupa atau sengaja, bahwa faktor utama dari penggerak ekonomi adalah manusia yang sehat. Jika manusianya sakit, bagaimana mungkin bisa melakukan kegiatan ekonomi. Re-definisi kematian yang dilakukan oleh pemerintah sangat jauh dari solusi permasalahan utama. Yaitu menyelamatkan jiwa masyarakat. Ini merupakan kelalaian dan kesalahan kebijakan. Bahkan hal ini semakin menunjukkan wajah asli pemerintahan demokrasi yang berasal dari sistem Kapitalisme. Hanya menjadikan manfaat ekonomi sebagai dasar seluruh kebijakan.
Dengan adanya perubahan definisi "kematian", diharapkan angka kematian karena Covid-19 akan menurun sehingga dalam pandangan negara asing Indonesia bukanlah negara yang menakutkan dikunjungi. Bahkan melangsungkan kerjasama dalam ekonomi, serta tidak melarang WNI masuk ke negara lain. Sama seperti yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap warga negara asing.
Jauh berbeda dengan sistem Islam yang mengutamakan keselamatan jiwa masyarakat. Dari al-Barra 'bin Azib radhiyallahu' anhu , Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
“Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah daripada terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasai 3987, Turmudzi 1455, dan dishahihkan al-Albani).
Allah Subhanahu Wa Ta'aala berfirman:
“Jangan sekali-kali kamu mengira, Allah akan melupakan tindakan yang dilakukan orang dzalim. Sesungguhnya Allah menangguhkan mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak (karena melihat adzab)". (TQS. Ibrahim [14]: 42).
Ketika dalam sistem pemerintahan Islam terjadi penyebaran wabah seperti saat ini, Khalifah pada waktu itu, Umar bin Khattab mengeluarkan kebijakan karantina atau isolasi. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam:
"Dari Siti Aisyah Radhiallahu 'Anha, ia berkata, Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam perihal tha'un, lalu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam memberitahukanku, dahulu, tha'un adalah azab yang Allah kirimkan kepada siapa saja yang Dia kehendaki, tetapi Allah jadikan sebagai rahmat bagi orang beriman. Maka tiada seorangpun yang tertimpa tha'un, kemudian ia menahan diri di rumah dengan sabar serta mengharapkan ridha-Nya seraya menyadari bahwa tha'un tidak akan menimpanya selain telah menjadi ketentuan Allah, niscaya akan mendapat ganjaran seperti pahala orang yang mati syahid,”(HR. Bukhari, Nasa'i dan Ahmad). Dalam riwayat yang lain: "Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu." (HR Bukhari)
Umar sedang dalam perjalanan ke Syam, lalu ia mendapatkan kabar tentang wabah penyakit. Umar kemudian tidak melanjutkan perjalanannya. Beliau memerintahkan masyarakat di wilayah tersebut untuk melaksanakan hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam agar tidak keluar rumah dan mengirimkan obat- obatan serta kebutuhan masyarakat selama wabah masih ada. Sehingga wabah tidak menyebar ke tempat yang lain dan jiwa masyarakat bisa diselamatkan.
Maka tidaklah berlebihan apabila kita meneladani apa yang dilakukan Khalifah Umar dalam menangani wabah agar masyarakat dapat diselamatkan. Bukan malah melakukan re- definisi "kematian" yang tidak menyelamatkan jiwa. Selain itu, wajib bagi setiap muslim untuk terikat dengan hukum Islam dalam setiap perbuatannya.
Dari Ibn umar radhiallahu 'Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda : "Setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya. Seorang kepala negara akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami akan ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya. Seorang isteri yang memelihara rumah tangga suaminya akan ditanya perihal tanggungjawab dan tugasnya. Bahkan seorang pembantu/pekerja rumah tangga yang bertugas memelihara barang milik majikannya juga akan ditanya dari hal yang dipimpinnya. Dan kamu sekalian pemimpin dan akan ditanya (diminta pertanggungan jawab) darihal hal yang dipimpinnya." (HR. Bukhari-Muslim).
Wallaahu a'lam.
Picture Source by Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]