Legalisasi Aborsi bak Buah Simalakama

Legalisasi Aborsi bak buah simalakama

Legalisasi aborsi bukanlah solusi hakiki menyelesaikan persoalan korban pemerkosaan, justru regulasi ini membuka celah problem lainnya.

Oleh. Ikhtiyatoh, S.Sos.
(Kontributor NarasiPost.com)

NarasiPost.Com-Pengakuan Nikita Mirzani bahwa anaknya, Lolly, hamil di luar nikah hingga aborsi membuat warganet gaduh. Lagi, heboh berita sejoli berinisial DKZ dan RR di Kalideres melakukan aborsi bayi berusia delapan bulan. Maraknya kasus aborsi di tanah air menunjukkan bahwa moralitas negeri ini makin hari makin mengkhawatirkan. Legalisasi aborsi melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 tahun 2024 dikhawatirkan makin memperparah kondisi.

Legalisasi Aborsi, Regulasi yang Tak Pasti

Kebolehan atau legalisasi aborsi dalam PP No. 28/2024 memang memiliki sejumlah syarat dan ketentuan. Pasal 116 menyebutkan, “Setiap orang dilarang melakukan aborsi, kecuali atas indikasi kedaruratan medis atau terhadap korban tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan sesuai dengan ketentuan dalam kitab undang-undang hukum pidana”. Artinya, tidak semua kehamilan boleh diaborsi.

Aborsi atas indikasi kedaruratan medis bisa dilakukan jika demi menyelamatkan nyawa si ibu. Akan tetapi, aborsi terhadap korban ‘tindak pidana perkosaan’ atau ‘tindak pidana kekerasan seksual lain’ perlu dikaji lebih lanjut. Jika tidak, kedua ketentuan tersebut bisa ditafsirkan secara liar. Hal lain yang perlu dikaji adalah terkait batas usia kehamilan yang boleh diaborsi.

PP No. 28/2024 tersebut tidak menyebutkan batas usia kehamilan yang boleh diaborsi secara pasti. Pada Pasal 1154, disebutkan, pengaturan mengenai pelaksanaan tindakan aborsi yang diperbolehkan termasuk usia kehamilan untuk melakukan tindakan aborsi dilaksanakan berdasarkan Pasal 31 PP Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi sampai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Menilik PP No. 61/2014, Pasal 31 ayat (2) menyebutkan tindakan aborsi akibat perkosaan hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir. Sementara ketentuan aborsi menurut UU No. 1/2023 Pasal 463 ayat (2), dibolehkan untuk korban tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang mana usia kehamilannya tidak melebihi 14 minggu (98 hari).

Legalisasi Aborsi, Ibarat Makan Buah Simalakama

Bisa dilihat bahwa PP Kesehatan Reproduksi maupun KUHP berbeda persepsi terkait batas usia kehamilan yang boleh diaborsi. Aturan yang tidak pasti seperti ini berpotensi untuk diabaikan. Akhirnya, masyarakat hanya terfokus pada ‘legalisasi aborsi akibat tindak perkosaan atau tindak kekerasan seksual lain’ tanpa memperhatikan usia kehamilan. Apatah lagi, ada ketentuan pasal lain yang justru akan menambah usia kehamilan saat dilakukan aborsi.

Penjelasan di dalam pasal 118 bahwa kehamilan akibat tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain, harus dibuktikan dengan a. surat keterangan dokter atas usia kehamilan sesuai dengan kejadian tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan; dan b. keterangan penyidik mengenai adanya dugaan perkosaan dan/atau kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan.

Surat keterangan dokter masih bisa didapati segera. Akan tetapi, butuh waktu cukup lama untuk mendapatkan surat keterangan penyidik. Ibarat makan buah simalakama. PP tersebut membuat keadaan jadi serba salah. Praktik aborsi bisa makin menggila jika dilakukan tanpa bukti keterangan penyidik. Di sisi lain, pihak kepolisian harus bekerja ekstra dalam melakukan penyidikan kasus perkosaan ataupun kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan. Hal ini dilakukan agar bisa menerbitkan keterangan penyidik sesegera mungkin.

Perlu dipahami juga bahwa siklus menstruasi/haid setiap wanita berbeda. Wanita yang haidnya tidak teratur kerap abai untuk memeriksa kehamilan. Tak sedikit wanita yang sadar akan kehamilannya saat usia kandungan lebih dari dua sampai tiga bulan. Dalam kondisi waspada pun, pemeriksaan kehamilan kerap dilakukan seminggu setelah terlambat haid. Artinya, kehamilan baru diketahui setelah usia lebih dari 40 hari atau bahkan 14 minggu.

Tampaknya aturan terkait legalisasi aborsi lebih mementingkan psikologi korban -- wanita yang hamil -- tanpa memedulikan sisi kehidupan janin. Memang, kehamilan akibat perkosaan ataupun kekerasan seksual lain bisa menimbulkan tekanan psikologi bagi korban. Akan tetapi, aborsi bukanlah satu-satunya solusi. Apalagi, dampak aborsi tak main-main, mulai dari pendarahan, infeksi, kerusakan saluran rahim/vagina, plasenta previa hingga kanker serviks.

Berangkat dari sini, pembuatan ketentuan aborsi harus dilakukan oleh tenaga medis. Pasal 119 ayat (1) menyebutkan, pelayanan aborsi hanya dapat dilakukan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat lanjut yang memenuhi Sumber Daya Kesehatan sesuai standar yang ditetapkan oleh menteri. Ayat (2) menyebutkan, pelayanan aborsi hanya dapat dilakukan oleh Tenaga Medis dan dibantu oleh Tenaga Kesehatan sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya.

Lagi-lagi, ibarat makan buah simalakama. Jika tenaga medis lepas tangan, korban kekerasan seksual akan melakukan proses aborsi secara mandiri atau ilegal. Jika tenaga medis turun tangan, akan bertentangan dengan hati nurani. Apalagi, jika janin dalam kandungan merupakan janin yang sehat dan sudah berbentuk. Jangankan usia kandungan 14 minggu, usia kandungan 12 minggu saja janin sudah dalam kondisi hampir sempurna.

Janin usia 12 minggu biasanya memiliki berat sekitar 18gram dan panjang sekitar 6—6,5 cm. Ukurannya mungil, tetapi tangan, kaki, jari, kuku hingga pita suara sudah terbentuk. Tulang kerangka, tengkorak, tulang panjang mulai mengeras. Organ hati, sistem pencernaan, sumsum tulang sudah bekerja. Janin sudah bisa membuka, menutup, dan mengepalkan tangan. Sejak usia 40 hari, janin terus tumbuh, berkembang, dan menunjukkan tanda-tanda kehidupan.

Dari sini jelas bahwa aborsi terhadap kehamilan yang bukan indikasi kedaruratan medis akan meninggalkan beban psikologis bagi tenaga medis. Mungkin tujuan legalisasi aborsi adalah demi menjaga kesehatan mental korban dan untuk menghilangkan trauma akibat kekerasan seksual. Akan tetapi, aborsi juga bukan solusi jangka panjang bagi korban. Wanita yang melakukan aborsi kerap depresi karena dihantui perasaan bersalah telah menghilangkan janin.

Problem lain dari PP No. 28/2024, wanita yang berstatus sebagai istri boleh melakukan aborsi tanpa persetujuan suami. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 122 ayat (1), pelayanan aborsi hanya dapat dilakukan atas persetujuan perempuan hamil yang bersangkutan dan dengan persetujuan suami, kecuali korban tindak pidana perkosaan. Sementara ayat (2) menjelaskan, pengecualian persetujuan suami juga berlaku terhadap korban tindak pidana kekerasan seksual lain.

Untuk memahami maksud dari frasa ‘kekerasan seksual lain’ perlu kiranya mengulik UU No. 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Pasal 8 huruf (a) menyebutkan, kekerasan seksual di antaranya meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut. Sementara Pasal 2 ayat (1) huruf a menyebutkan, lingkup rumah tangga meliputi suami, istri, dan anak.

Jadi, pemaksaan hubungan seksual suami kepada istrinya tidak diperbolehkan. Jika hubungan seksual atas pemaksaan tersebut menyebabkan kehamilan, sang istri boleh melakukan aborsi tanpa izin suaminya. Ngeri bukan? Padahal, ada hak dan kewajiban suami atas janin yang dikandung istrinya. Pengambilan keputusan seorang istri dalam perkara krusial seperti kondisi demikian bisa dianggap sebagai bentuk pembangkangan yang tidak dibolehkan dalam agama.

Islam Mampu Menyolusi

Maraknya kasus aborsi seharusnya menjadi bahan evaluasi pemerintah bahwa moralitas negeri ini makin parah. Maraknya kasus aborsi berbanding lurus dengan meluasnya seks bebas. Tak menutup kemungkinan, seorang wanita mengaku-ngaku hamil karena diperkosa hingga ingin melakukan aborsi. Padahal, kehamilan tersebut merupakan hasil hubungan suka sama suka. Akhirnya orang makin berani melakukan seks bebas karena kalaupun hamil bisa diaborsi.

Bisa disimpulkan bahwa legalisasi aborsi bukan solusi agar korban kekerasan seksual pulih dari trauma. Sebaliknya, legalisasi aborsi bisa dimanfaatkan oleh pezina atas kehamilan tak diinginkan. Jika legalisasi aborsi dilakukan demi memenuhi hak kesehatan reproduksi wanita, janin juga berhak melangsungkan kehidupan bukan? Miris. Di masa jahiliah, bayi perempuan yang lahir akan dibunuh. Di masa modern, bayi belum sempat menghirup udara sudah dibunuh.

Baca: legalisasi-aborsi-mampukah-menjadi-solusi/

Para fukaha bersepakat bahwa aborsi setelah ditiupkan roh, yaitu usia kandungan 120 hari haram dilakukan. Sementara aborsi untuk usia kandungan kurang dari 40 hari, yaitu masih berbentuk nutfah terdapat perbedaan pendapat. Pendapat yang kuat adalah kebolehan aborsi sebelum usia kandungan 40 hari. Sementara aborsi untuk usia kandungan lebih dari 40 hari haram dilakukan, kecuali ada alasan darurat medis. Darurat di sini adalah kondisi yang secara pasti mengancam nyawa si ibu, bukan karena sangkaan atau dugaan.

Allah Swt. pun telah berfirman dalam surah Al-Isra ayat 33, yang artinya: "Janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan suatu alasan yang benar. Siapa yang dibunuh secara teraniaya, sungguh Kami telah memberi kekuasaan kepada walinya …."

Hidup dalam sistem sekuler makin banyak orang yang fasih membicarakan hak asasi manusia. Tak terkecuali mereka yang mengaku muslim. Sampai-sampai mereka lupa, tubuh mereka bukan milik mereka sepenuhnya. Mereka lupa, tubuh mereka hakikatnya milik Allah Swt. Jadi, Allah-lah yang memiliki hak dan kuasa atas diri manusia. Sudah seharusnya manusia menjalani hidup sesuai aturan Allah, termasuk terkait kesehatan reproduksinya.

Hal yang dibutuhkan korban pemerkosaan sebenarnya adalah pendampingan, pembinaan mental, dan spiritual untuk melepaskan diri dari trauma. Pemberian sanksi hukum yang tegas bagi pelaku merupakan hal penting agar menimbulkan efek jera. Lebih dari itu, konten porno atau apa pun yang bisa merangsang libido dan bertebaran di dunia maya harus dihilangkan. Sistem sosial, yaitu terkait pergaulan antara wanita dan pria harus diatur sedemikian rupa.

Khatimah

Legalisasi aborsi bukanlah solusi hakiki menyelesaikan persoalan korban pemerkosaan, justru regulasi ini membuka celah problem lainnya. Tampaknya hanya Islam yang memiliki aturan lengkap dan paripurna mengatasi masalah degradasi moral. Kewajiban menutup aurat, ghadul bashor, larangan tabaruj, ikhtilat, khalwat, pacaran adalah dalam rangka menghindari kejahatan seksual. Islam juga menawarkan sistem pendidikan dengan kurikulum yang lebih pasti dalam upaya pembentukan akidah dan syakhsiyah Islam sehingga lahir masyarakat yang beradab, kuat mental, dan spiritual.
Wallahu’alam bissawab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Ikhtiyatoh S.Sos Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Demonstrasi para Pelajar, Sinyal Kebangkitan Pemuda?
Next
Kelas Ekonomi Menengah Turun, Kabar Baik?
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

6 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Yuli Sambas
Yuli Sambas
2 months ago

Banyak tulisan yg mengangkat tema yg sama, tapi naskah ini demikian runtut dengan analisis yang tajam. Luar biasa

Ikhty
Ikhty
Reply to  Yuli Sambas
2 months ago

Terima kasih, Mbaku ..

Sartinah
Sartinah
2 months ago

Barakallah Mbak Ikhty. Memang regulasi di bawah naungan siatem demokrasi itu gak ada yang benar-benar memberi solusi. Bikin satu kebijakan yang katanya menyolusi, eh malah membuka celah kerusakan yang lain.

Ikhty
Ikhty
Reply to  Sartinah
2 months ago

Amiiin ... Bener, Mba. Maksud mengatasi masalah, malah bikin tambah maslaah ...

Isty Da'iyah
Isty Da'iyah
2 months ago

Barakallah mbak Ihkty....naskahnya kerennn.

Fakta yang sangat mencengangkan, aku juga sempat baca, anaknya NikMi si Loly pernah di Pesantren dan menjadi santri. Nyatanya ia setelahnya melakukan hal-hal yang dilarang agama. Astagfirullah.

Ikhty
Ikhty
Reply to  Isty Da'iyah
2 months ago

Iya, Mba. Orang tua itu memang jadi role model ya, Mba. Kalau kita ingin anak soleh, kita harus menjadi soleh dulu. Kalau ortu suka umbar aurat dan pergaulan bebas, anaknya juga akan seperti itu.

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram