Dalam detik-detik akhir kekuasaan, sebuah rezim yang tampaknya tak terkalahkan sering kali runtuh dengan cepat.
Oleh. Maman El Hakiem
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Sebenarnya hanya tinggal menghitung hari rezim di tanah air ini akan berakhir. Hanya saja penguasa yang satu ini masih saja mencari celah untuk bisa menjaga muruahnya sebagai pemimpin otoriter dan populis dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk meloloskan anak atau keturunannya agar bisa berkuasa.
Segala aturan yang harusnya ditegakkan di dalam sistem demokrasi, bisa dengan mudah ia sesuaikan dengan keinginannya. Sementara itu, para pejabat dan wakil rakyat malah ramai-ramai berkoalisi meninggalkan rakyatnya yang selalu menjadi korban kepentingan oligarki.
Kekuasaan yang dijalankan dengan zalim, pada akhirnya akan menghadapi kehancuran. Sejarah telah berulang kali menunjukkan bahwa rezim yang memerintah dengan tangan besi, memanfaatkan kekuasaan untuk menipu rakyatnya, mengabaikan aturan hukum yang harusnya ditegakkan, lambat laun akan ditumbangkan oleh kekuatan rakyat. Meskipun saat di puncak kekuasaan mereka mungkin terlihat kuat dan tidak tergoyahkan, detik-detik akhir tirani selalu menanti.
Detik-Detik Kejatuhan Rezim Zalim
Kekuasaan yang zalim umumnya ditandai oleh berbagai bentuk penindasan, seperti pengekangan kebebasan berbicara, kekerasan terhadap rakyat, korupsi, serta pengabaian kesejahteraan umum. Rezim semacam ini sering kali terjebak dalam ilusi kekuatan, menganggap bahwa mereka dapat terus berkuasa selama mampu menekan suara-suara perlawanan. Namun, sejarah membuktikan bahwa setiap kekuasaan yang dibangun di atas dasar ketidakadilan akan runtuh.
Salah satu contoh nyata adalah kejatuhan rezim Ferdinand Marcos di Filipina atau rezim Soeharto di Indonesia. Selama lebih dari dua dekade, Marcos memerintah dengan tangan besi, memberlakukan darurat militer, menekan kebebasan pers, dan memberangus pihak oposisi politik. Namun, ketika kesadaran rakyat mulai bangkit, gelombang perlawanan tidak terbendung. Revolusi People Power pada 1986 menjadi puncak dari ketidakpuasan rakyat Filipina yang akhirnya memaksa Marcos dan keluarganya melarikan diri dari negara tersebut (Tirto.id, 21-9-2020). Detik-detik akhir kekuasaannya tidak hanya menandai runtuhnya sebuah rezim, tetapi juga menjadi simbol kemenangan rakyat atas tirani.
Runtuhnya sebuah rezim yang zalim biasanya tidak terjadi secara tiba-tiba. Ada beberapa tahapan penting yang sering kali mendahului detik-detik akhir kekuasaan tersebut, salah satunya adalah meningkatnya ketidakpuasan rakyat. Kebijakan yang tidak adil dan korupsi yang merajalela biasanya menjadi pemicu awal ketidakpuasan rakyat. Ketika kebutuhan dasar rakyat diabaikan dan keadilan sosial dirampas, ketidakpuasan tersebut akan tumbuh menjadi gelombang perlawanan.
Ketika rakyat mulai sadar akan kekuatan mereka, organisasi-organisasi perlawanan mulai terbentuk. Serikat pekerja, kelompok mahasiswa, hingga organisasi nonpemerintah sering kali menjadi motor penggerak dalam mengorganisasi aksi-aksi protes. Hal ini pernah terjadi saat lengsernya Soeharto pada 21 Mei 1998 oleh gerakan reformasi yang digagas mahasiswa.
Selain itu, adanya krisis legitimasi turut menjadi pemicu turunnya kekuasaan rezim. Ketika perlawanan makin meluas, rezim mulai kehilangan legitimasi di mata rakyatnya sendiri. Dukungan internasional juga sering kali mulai merosot, meninggalkan rezim dalam isolasi politik. Perlu menjadi catatan, pengaruh internasional sering mengintervensi arah perubahan politik dalam negeri sehingga penting bagi kita untuk mencermati peran asing di balik setiap isu politik.
Dalam banyak kasus, keretakan internal mulai muncul di kalangan elite kekuasaan. Anggota militer, pejabat tinggi, atau sekutu politik yang sebelumnya setia mulai membelot sehingga mempercepat runtuhnya rezim. Puncaknya berakibat pada krisis dan runtuhnya kekuasaan. Pada tahap ini, kekuasaan rezim sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Protes besar-besaran, kudeta militer, atau campur tangan internasional sering kali menjadi penentu dalam detik-detik akhir kekuasaan tirani.
Contoh lain dari kejatuhan rezim zalim adalah runtuhnya kekuasaan Muammar Gaddafi di Libya. Gaddafi memerintah selama lebih dari 40 tahun dengan tangan besi, mengendalikan sumber daya negara dan menekan oposisi dengan kekerasan brutal. Namun, pada 2011, gelombang revolusi yang dikenal sebagai Arab Spring mengguncang Timur Tengah dan Afrika Utara, termasuk Libya.
Ketika rakyat Libya bangkit dan mengangkat senjata melawan rezimnya, Gaddafi berusaha keras untuk mempertahankan kekuasaannya dengan segala cara, termasuk penggunaan kekerasan militer yang ekstrem. Namun, pada akhirnya, Gaddafi tidak mampu menahan tekanan revolusi rakyat yang didukung oleh intervensi internasional. Detik-detik akhir kekuasaannya datang pada Oktober 2011 ketika ia tertangkap dan tewas di tangan para pejuang revolusi.
Dengan demikian, sejarah telah mengajarkan bahwa tidak ada kekuasaan zalim yang abadi. Setiap tirani, sekuat apa pun, pada akhirnya akan menemui akhir yang tragis ketika kekuatan rakyat bangkit melawan ketidakadilan. Dalam detik-detik akhir kekuasaan, sebuah rezim yang tampaknya tak terkalahkan sering kali runtuh dengan cepat. Hal ini meninggalkan pelajaran berharga bagi generasi berikutnya. Inilah yang tecermin pada pesan viral "Peringatan darurat berlatar simbol garuda biru."
Ganti dengan Sistem Islam
Dalam pandangan Islam, kekuasaan dan kedaulatan memiliki konsep unik yang berbeda dengan sistem demokrasi. Islam memandang bahwa kekuasaan atau otoritas pemerintahan sejatinya berada di tangan rakyat, tetapi kedaulatan mutlak terletak pada syariat atau hukum Islam.
Hal ini mengandung makna bahwa penguasa, meskipun dipilih atau diakui oleh rakyat, tidak memiliki otoritas mutlak, mereka harus memerintah sesuai dengan syariat Islam. Kekuatan rakyat tidak serta-merta bisa menjatuhkan penguasa, tetapi hal ini hanya sah dilakukan ketika penguasa tersebut melanggar hukum-hukum syariat yang diputuskan oleh sebuah institusi bernama Mahkamah Mazalim.
Dalam sistem Islam, konsep kekuasaan tidak terlepas dari tanggung jawab dan amanah. Setiap penguasa adalah ra'in (pengurus) rakyat yang dituntut untuk memerintah berdasarkan prinsip-prinsip keadilan dan sesuai dengan hukum Allah Swt. Oleh karena itu, rakyat memiliki hak untuk memegang kekuasaan dalam arti mereka dapat memilih atau memberikan baiat kepada pemimpin, tetapi pemimpin tersebut harus selalu bertindak sesuai dengan syariat.
Selanjutnya, kedaulatan di tangan syariat atau hukum syarak berarti bahwa sumber hukum tertinggi dalam pemerintahan Islam adalah Al-Qur'an dan hadis. Hukum syariat menjadi landasan utama dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan pemerintahan. Setiap kebijakan atau keputusan yang dibuat oleh penguasa harus sejalan dengan ketentuan syariat Islam kaffah.
Rakyat memiliki hak untuk memilih pemimpin mereka, tetapi hak ini tidak bersifat mutlak tanpa batas. Pemimpin dipilih bukan semata-mata berdasarkan keinginan mayoritas, tetapi harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang ditetapkan oleh syariat, yaitu muslim, laki-laki, balig, merdeka bukan hamba sahaya (tawanan), adil, dan memiliki kemampuan untuk memimpin (kafa'ah).
Selain itu, rakyat memiliki hak untuk menasihati penguasa, mengingatkan mereka ketika melenceng dari syariat, dan bahkan menuntut perubahan jika penguasa gagal menjalankan amanahnya sesuai dengan hukum Islam. Dalam hadis Nabi Muhammad saw. disebutkan, "Agama adalah nasihat." Ketika ditanya, "Untuk siapa?" Nabi menjawab, "Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin umat Islam, dan kaum muslim pada umumnya." (HR. Muslim).
Muhasabah terhadap Penguasa
Namun, dalam Islam, kekuasaan tidak bisa dijatuhkan sembarangan. Penguasa hanya dapat digulingkan atau kehilangan legitimasi ketika mereka melanggar syariat secara jelas dan terbukti. Penguasa yang adil, yakni memerintah sesuai syariat, harus didukung dan dipatuhi oleh rakyat. Menentang atau menjatuhkan penguasa yang memerintah dengan adil dan berdasarkan hukum Allah dianggap sebagai tindakan yang tidak sah dan bertentangan dengan prinsip Islam.
Jika penguasa dengan sengaja melanggar syariat dan menolak untuk kembali ke jalan yang benar, Islam memberikan ruang bagi rakyat untuk mengambil tindakan. Namun, tindakan ini tidak boleh dilakukan dengan sembarangan atau berdasarkan hawa nafsu.
Islam mengajarkan bahwa setiap bentuk pemberontakan atau penurunan kekuasaan harus dipertimbangkan dengan matang, didasarkan pada keadilan, dan harus memenuhi beberapa syarat, di antaranya penguasa harus terbukti melanggar syariat secara terang-terangan, seperti meninggalkan salat, memperbolehkan riba, atau merampas harta rakyat dengan sewenang-wenang.
Oleh karena itu, kritik/muhasabah terhadap penguasa harus melalui proses yang diakui oleh syariat, seperti melalui pengaduan pada hakim yang berwenang di dalam Mahkamah Mazalim yang memang fungsinya untuk menyelesaikan berbagai permasalahan khalifah dengan rakyat yang dipimpinnya, termasuk aduan atas kezaliman yang dilakukan penguasa. Inilah kebaikan dari sistem Islam yang akan menjaga detik akhir kekuasaan agar tidak berujung pada kerusuhan yang akan merugikan kepentingan rakyat secara keseluruhan.
Wallahua'lam bishawab.[]