Termasuk pelanggaran terhadap status netralitas ASN adalah bentuk praktik klientelisme politik yang merusak profesionalisme ASN sebagai abdi rakyat.
Oleh. Novianti
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Setiap lima tahun, rakyat Indonesia menyambut pesta demokrasi memilih pemimpin baru saat pilpres dan pilkada. Namun, rakyat sering alpa untuk mengevaluasi kualitas praktiknya. Benarkah pemilu dilakukan secara jujur dan adil? Bagaimana hasilnya?
ASN Tidak Netral
Diwartakan tempo.co (22-09-2024), hasil penelitian oleh Themis dan Yayasan Dewi Keadilan, menunjukkan ada sepuluh provinsi yang berpotensi terjadi kecurangan pilkada. Penyebabnya adalah pelanggaran netralitas Aparatur Sipil Negara atau ASN dalam bentuk intervensi pilihan massa kepada salah satu paslon. Sepuluh provinsi tersebut adalah Jabar, Jatim, Jateng, Sumut, Banten, DKI Jakarta, Sulsel, Lampung, Sumsel, dan Riau.
Kondisi ini membuat pasangan kandidat kepala daerah yang tidak memiliki akses kepada ASN, sulit bertarung dengan pasangan petahana atau yang sebelumnya adalah birokrat. Persaingan antara kandidat menjadi tidak adil, jika didiamkan berarti melegalkan kecurangan.
Klientelisme Politik
Hasil temuan Themis bukanlah hal baru dan mengagetkan. Penyalahgunaan jabatan demi dukungan kepada salah satu paslon sudah jamak di setiap pemilu. Mulai dari level penguasa pada puncak tertinggi, para menteri, hingga pejabat level terendah, sudah tidak malu-malu melakukan pelanggaran demi memuluskan nafsu kekuasaannya.
Pun ASN diseret-seret terutama oleh calon kepada daerah petahana yang kerap menggunakan pengaruh diskresi jabatannya. Bentuknya bermacam-macam, mulai dari iming-iming kenaikan jabatan, ancaman penundaan kenaikan jabatan, hingga mutasi. Inilah yang disebut oleh Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Agustyaty, sebagai sebuah tekanan struktural.
Aspinall dan Berenschot menyebutkan bahwa demokrasi di Indonesia bercorak politik klientelisme. Istilah tersebut untuk menjelaskan kondisi di mana para pemilih, pegiat kampanye, atau aktor-aktor lain menyatakan dukungannya bagi politisi dengan imbalan atau manfaat yang bisa berbentuk materi, jabatan, atau proyek.
Dengan corak ini, nuansa transaksional kerap mewarnai politik di Indonesia. Pertarungan calon pemimpin yang seharusnya menjadi arena pertarungan ide, gagasan, atau program, ditelikung oleh kenyataan, suara publik ditentukan oleh banyaknya tawar menawar dengan kandidat.
Tentu saja praktik klientelisme berpengaruh signifikan terhadap buruknya tata kelola pemerintahan dan menyuburkan praktik korupsi. Termasuk pelanggaran terhadap status netralitas ASN adalah bentuk praktik klientelisme politik yang merusak profesionalisme ASN sebagai abdi rakyat.
Kecurangan yang Berulang
Badan Pengawas Pemilu telah membuat surat edaran Nomor 897/PM.00/K1/06/2024 agar ASN, TNI, dan POLRI bersikap netral dalam Pilkada 2024 yang akan dilakukan secara serentak 27 November mendatang. Di dalam UU Nomor 20 Tahun 2023 disebutkan bahwa ASN sebagai pelayan publik harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan atau partai politik.
Dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 disebutkan jika kepala daerah sebagai petahana melanggar ketentuan seperti memanfaatkan jabatan untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya, dapat dikenai sanksi pembatalan calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.
ASN yang melakukan pelanggaran akan mendapat hukuman disiplin sedang berupa pemotongan tunjangan kinerja dan hukuman disiplin berupa penurunan jabatan atau pemberhentian. Akan tetapi, di lapangan pelanggaran tetap terjadi dan tidak ada sanksi tegas bagi para pelakunya. Misal pada masa menjelang Pilpres 2024, beberapa ASN terang-terangan memberi dukungan pada salah satu paslon.
Kepala Bidang SMP Dinas Pendidikan Kota Medan memberikan dukungan kepada capres nomor 2 Gibran dan mengajak para pendidik untuk memilihnya. Ditengarai tindakan ini atas perintah Wali Kota Medan Bobby Nasution, ipar dari Gibran. Di Takalar, Sulsel, Sekda Takalar, Habis, mengampanyekan Gibran dan memberikan iming-iming akan ada pengangkatan ribuan pegawai pemerintah. Di Sumut, beredar rekaman perbincangan antara Dandim, Bupati, Kapolres, dan Kajari di Batubara, yang mengarahkan kepala desa untuk mendukung capres cawapres nomor urut 2 dengan memanfaatkan dana desa.
Semua Boleh
Praktik kecurangan selama pemilu tidak hanya dalam bentuk pelanggaran netralitas ASN. Pemanfaatan fasilitas dan anggaran negara dilakukan oleh calon inkumben untuk memikat pemilih dan mendulang suara. Strategi yang disebut dengan istilah politik “gentong babi” ini dijalankan melalui program populis seperti program bantuan sosial. Bagi masyarakat yang menerimanya, menganggap bahwa bansos merupakan kebaikan inkumben yang harus dibalas dengan cara memilihnya kembali.
Pendek kata, politik dalam sistem demokrasi bak sinetron penuh drama dan intrik. Sementara nasib rakyat terlupakan dan kian terpuruk.
Maraknya praktik kecurangan dalam sistem politik demokrasi karena berdiri di atas akidah sekuler. Sistem demokrasi lahir dari cara pandang benefit (asas manfaat), untung rugi merupakan satu-satunya standar dalam berpolitik. Apa pun dilakukan termasuk yang haram, asal tujuan meraih kekuasaan tercapai.
Dalam landscape politik seperti itu, para politisi tidak pernah berpikir urusan umat. Mereka tidak pernah benar-benar hadir dan tulus memperjuangkan nasib umat, hanya mendekat kepada umat tatkala ada kepentingan. Karenanya, akseptabilitas mereka di tengah-tengah umat rendah, demikian juga dengan elektabilitas. Inilah yang mendorong berbagai praktik politik kotor seperti memanfaatkan ASN sebagai jalan pintas meraup suara.
Baca: Tenaga Honorer Bernasib Horor
ASN dalam Sistem Islam
Di dalam sistem pemerintahan Islam, warga negara baik muslim maupun nonmuslim boleh menjadi pegawai negara. Kedudukannya bersifat administratif yang tidak membuat keputusan dan menjalankan hukum, tetapi benar-benar menjalankan keputusan pemerintah yang lebih bersifat teknis. Oleh karenanya, baik muslim maupun nonmuslim yang termasuk warga negara, boleh menjadi kepala departemen, bidang, biro, atau sekretaris.
Akan tetapi, jabatan-jabatan pemerintahan termasuk pemimpin kepala daerah seperti gubernur dan wali, harus muslim dan laki-laki. Rakyat tidak dilibatkan dalam pemilihannya karena hak memilih bersifat tunggal yaitu di tangan pemimpin negara, bernama khalifah. Hal yang sama berlaku bagi para hukkam di bawahnya, seperti kepala desa. Dengan mekanisme ini, praktik politik kotor seperti dalam sistem demokrasi tidak akan terjadi, termasuk menyeret ASN untuk kepentingan politik.
ASN adalah pegawai negara yang akan mendapat upah (ujrah) sebagai imbalan atas waktu dan jasa yang telah diambil negara. Negara melakukan pengawasan terhadap ASN untuk menjaga muruah mereka di mata rakyat. Masing-masing struktur yang lebih tinggi harus memastikan bahwa tidak ada ASN yang melanggar. Jika terbukti mereka memanfaatkan jabatan dan posisinya, pelakunya ditindak tegas.
Sistem dan mekanisme yang dibangun berdasarkan ketakwaan individu, kontrol sistem dan struktur, serta pengawasan masyarakat secara simultan. Ini bentuk upaya menjaga keberlangsungan akidah Islam sebagai dasar negara yang menjadi kewajiban seluruh kaum muslimin. Sesuai sabda Rasulullah saw., ”Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka menyatakan Laa Ilaaha Illa Allah.” (HR. Bukhari)
Oleh karenanya, menjaga netralitas ASN dalam demokrasi adalah ilusi. Hanya dengan menerapkan sistem pemerintahan yang berideologi Islam, bisa terwujud ASN profesional, bersih, dan melayani rakyat. []
Kalau dalam demokrasi, kekuasaan memang menggiurkan karena bisa bertindak apa saja dengannya. Tak heran bila ramai berebut kekuasaan dengan segala cara. Dengan kekuasaan di tangan, orang bisa melakukan apa pun untuk keuntungannya sendiri.
Beda dalam Islam yg memandang kekuasaan sebagai amanah yg berat. Salah menjalankan kekuasaan, konsekuensinya di dunia hingga akhirat.
Kekuasaan tanpa panduam agama pasti merusak..
Barakallah, semoga mencerahkan umat
Wa fiik barokallohu
Congratulations mbaak...kereen tulisannya
Alhamdulillah.
Alhamdulillah keren karyanya mba Noviyanti.
Semoga banyak yang tercerahkan
Terimakasih sudah mau membacanya. Aamiiin ya Allah