Anggaran memang bukan satu-satunya penentu keberhasilan proses pendidikan. Akan tetapi, penyelenggaraan pendidikan berkualitas perlu dukungan finansial.
Oleh. Novianti
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Menkeu Sri Mulyani mengusulkan mandatory spending pendidikan diatur ulang agar bersumber dari pendapatan negara, bukan belanja negara. Pernyataan yang disampaikan di depan anggota DPR ini menuai banyak kritikan. (bisnis.com, 06-09-2024).
Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies, menilai kebijakan mandatory spending pendidikan tidak boleh diubah karena berkaitan dengan kepentingan jangka panjang dan sudah merupakan amanat undang-undang.
Pernyataan senada diungkapkan Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda, dalam pandangannya, pendidikan di Indonesia masih perlu banyak dibenahi. Indeks human capital Indonesia menempati rangking 96 dari 141 negara. Jika anggaran pendidikan dikurangi, pasti berimbas pada penyelenggaraan pendidikan dan kualitas sumber daya manusia Indonesia akan makin jauh tertinggal.
Potret Buram Pendidikan
Angka indeks pembangunan manusia Indonesia menunjukkan peningkatan dengan rata-rata kenaikan sebesar 0,89 persen. Pada 2018 mencapai 71,39 dan diproyeksikan terus meningkat pada 2027 yang diprediksi mencapai 77,33. Namun, dibanding sejumlah negara ASEAN seperti Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand, dan Vietnam, kedudukan Indonesia masih lebih rendah.
Data publikasi PISA 2022 juga menunjukkan tingkat kemampuan membaca, matematika, dan sains siswa Indonesia yang mengalami penurunan dibandingkan dengan 2018. Skor kemampuan literasi Indonesia pun di bawah dari negara-negara lainnya di ASEAN, hanya lebih tinggi dari Filipina dan Kamboja. Skor literasi pelajar Indonesia sebesar 359, masih jauh di bawah rata-rata negara-negara yang diteliti OECD yaitu 472.
Akal-Akalan Pemerintah
Pengalokasian anggaran sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD bagi penyelenggaraan pendidikan nasional adalah amanat UUD 1945. Apabila dilihat dari jumlah anggaran selama ini, seolah pemerintah sudah melaksanakan kewajibannya, bahkan jumlahnya terus meningkat. Termasuk pada RAPBN 2025, Kemendikbudristek mendapat alokasi Rp722 triliun, lebih besar dibandingkan alokasi pada APBN 2024 sebesar Rp665 triliun.
Namun, apabila ditelisik lebih lanjut, realisasi anggaran pendidikan justru mengalami penurunan sejak dari 2019 yang mencapai 93,48%. Pada 2021 hanya terealisasi 87,20% dan terus menurun pada 2022 sebesar 77,30%. Sedang 2023, mencapai 82,24% dan pada 2024 diperkirakan sekitar 80%.
Dengan kata lain, meski angka mandatory spending pendidikan terpenuhi, faktanya menunjukkan sebaliknya. Menurut Ekonom Bright Institute Awalil Rizky, ada ratusan triliun anggaran wajib untuk pendidikan tidak digunakan sejak 2020. Berarti selama ini pemerintah telah melanggar amanat undang-undang.
Fakta lebih menyakitkan, anggaran pendidikan yang sudah dialokasikan ternyata banyak dipangkas untuk dana transfer daerah dan kementerian atau lembaga lainnya, yang penggunaannya tidak ada dalam kewenangan Kemendikbudristek. Jumlah yang minimalis ini bisa makin berkurang pada 2025 karena ada wacana program Makan Bergizi Gratis akan diambil dari anggaran wajib pendidikan dengan biaya sebesar Rp71 triliun.
Dampak Kapitalisme
Wacana yang disampaikan Menkeu jelas menunjukkan bahwa pemerintah ingin berlepas tangan dari tanggung jawab penyelenggara pendidikan. Di saat banyaknya calon mahasiswa yang terpaksa harus mengubur mimpinya melanjutkan ke perguruan tinggi, sekolah yang hampir ambruk bertebaran di berbagai daerah, tingkat kesejahteraan guru yang sangat rendah, bisa-bisanya pemerintah malah berniat mengurangi anggaran pendidikan yang jumlahnya sudah sangat minim.
Anggaran memang bukan satu-satunya penentu keberhasilan proses pendidikan. Akan tetapi, penyelenggaraan pendidikan berkualitas perlu dukungan finansial. Bagaimana mungkin membangun fasilitas, sarana dan prasarana, menggaji guru yang layak, menyelenggarakan pelatihan guru, kecuali ada biaya untuk melakukan itu semua?
Akal-akalan pemerintah mengutak-atik anggaran pendidikan karena ruang fiskal negara makin sempit, beban pembayaran utang dan bunga yang terus menumpuk, ditambah lagi pembangunan proyek yang akan menyedot dana besar seperti IKN.
Wacana terkait mandatory spending pendidikan menunjukkan wajah penguasa dalam sistem kapitalis. Penguasa tidak memandang pendidikan sebagai tanggung jawabnya karena tidak memiliki visi tentang generasi masa depan. Mereka memosisikan sebatas regulator dan fasilitator, bukan menjadi pelayan sehingga enggan bersusah payah mengurus rakyat. Rakyat malah dipandang sebagai beban dan komoditas ekonomi.
Tampaknya, reduksi signifikan dalam anggaran pendidikan akan bernasib sama dengan mandatory spending kesehatan. Apalagi pemerintah bisa berdalih bahwa meski anggaran naik, tidak berdampak pada perbaikan kualitas output-nya. Pendidikan akan diserahkan pada mekanisme pasar ala swasta atau dengan mendorong pelibatan masyarakat yang makin besar.
Saat negara tidak lagi punya kontrol terhadap arah dan penyelenggaraan pendidikan, inilah awal kehancuran masa depan negara. Negara kehilangan kemandirian dan sumber daya manusia potensial sehingga negara akan makin terpuruk.
Pembiayaan Pendidikan dalam Sistem Islam
Dalam Islam, pendidikan ibarat napas bagi keberlangsungan sebuah negara. Negara akan mengerahkan segenap kemampuan bagi penyelenggaraan pendidikan karena memiliki peran sangat strategis yang tidak bisa dilihat dari kepentingan materi dan jangka pendek semata.
Penguasa dalam sistem Islam akan mengupayakan biaya agar rakyat dapat mengakses pendidikan berkualitas. Penguasa akan memastikan setiap warganya memperoleh pendidikan karena merupakan hak rakyat yang harus dipenuhi negara secara langsung.
Baca: sistem-pendidikan-islam-lahirkan-generasi-cemerlang
Ini implementasi dari peranan penguasa yang sudah ditegaskan dalam Islam sebagai pelayan rakyat. Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah saw. “Imam adalah pemimpin yang akan diminta pertanggungjawaban atas rakyatnya." (HR. Bukhari)
Penyelenggaraan pendidikan dapat optimal dengan dukungan baitulmal yang memiliki pemasukan dari berbagai sumber. Bisa dari kharaj, ganimah, jizyah, serta pengelolaan berbagai sumber daya alam. Jika baitulmal tidak mencukupi, negara menyeru para orang kaya untuk berinfak agar pendidikan tetap terselenggara atau memungut biaya yang murah dari rakyat. Dalam keadaan baitulmal yang minim, bisa melalui dharibah (pajak) yang bersifat sementara untuk membiayai kebutuhan yang urgen seperti gaji guru atau pembangunan sekolah di wilayah terpencil.
Meski demikian, negara tetap memberi kesempatan bagi warganya untuk berpartisipasi menyelenggarakan pendidikan dalam bentuk wakaf. Ini dilakukan secara sukarela, bukan paksaan. Konsep pahala jariah akan mendorong orang-orang kaya berlomba-lomba untuk berwakaf. Sebagai contoh, pada abad sembilan, berdiri madrasah yang disponsori Fatimah Al-Fihri dengan menggunakan kekayaannya. Lembaga tersebut terus berkembang dan di abad 12, menjadi universitas pertama paling bergengsi di dunia kala itu, menyebarkan cahaya pengetahuan hingga ke Eropa.
Semangat wakaf para orang kaya bersinergi dengan negara membuat proyek bervisi akhirat, melahirkan generasi unggul bagi kemuliaan Islam. Pendidikan Islam menawarkan masa depan bagi para intelektual dan peneliti untuk berkarya dalam rangka meningkatkan kualitas penerapan syariat Islam.
Khatimah
Berharap pendidikan berkualitas dan berkeadilan dalam sistem sekuler kapitalis adalah mimpi di siang bolong. Tidak ada kebaikan kecuali sedikit saja dari sistem yang rusak dan merusak ini. Sistem Islam satu-satunya solusi untuk mewujudkan pendidikan yang memuliakan manusia dan memajukan peradaban dunia. Untuk itu, dakwah ke tengah-tengah umat harus terus digencarkan agar keinginan penegakan sistem Islam terus mengkristal dan menjadi tuntutan mayoritas. []