Tidak aneh, jika Pulau Rempang dan rakyat ditumbalkan dengan alasan investasi dan mendongkrak ekonomi. Karenaperan negara hari ini sangat jauh dari amanah utamanya untuk melayani dan melindungi rakyat.
Oleh. Afiyah Rasyad
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Kulihat Ibu Pertiwi
Sedang bersusah hati
Air matanya berlinang
Mas intannya terkenang
Hutan gunung sawah lautan
Simpanan kekayaan
Kini ibu sedang lara
Merintih dan berdoa
Lirik berjudul "Ibu Pertiwi" ciptaan Ismail Marzuki masih sesuai dengan kondisi saat ini. Betapa alam di negeri Ibu Pertiwi ini tak dinikmati oleh rakyatnya, justru kekayaan yang melimpah dikuasai oleh para kapital. Semua kekayaan alam yang ada di darat, di laut, dan di perut bumi, sejumlah hutan, gunung, dan pulau berayun mesra dengan genggaman korporasi asing. Belum usai masalah Pulau Komodo di salah satu wilayah timur, kini menyusul kemelut Pulau Rempang di salah satu wilayah bagian barat negeri tercinta.
Rempangku Sayang, Rempangku Malang
Alam hijau, sejuk, dan tenang kini menjadi lautan tangisan. Di sana, ketegangan berserakan. Rasa khawatir dan harapan saling berkejaran. Penduduk Pulau Rempang khawatir akan nyawa yang dalam intaian keberingasan aparat negara dan tanah kelahiran yang diperebutkan. Mereka melangitkan harapan turun-temurun untuk menutup mata di tanah kelahiran.
Kemelut di Pulau Rempang tak dapat dihindari. Betapa intimidasi dari negara lewat aparat terus menghantui. Sementara penduduk Pulau Rempang menolak dengan tegas adanya relokasi. Namun, tampaknya negara menutup mata dengan berbagai dalih usang yang bernama investasi.
Perkara investasi ini serius dibahas oleh Menteri Investasi Bahlil Lahadalia. Dia mengatakan bahwa investasi di Pulau Rempang akan memberi manfaat bagi masyarakat. Pemerintah juga berupaya menyelesaikan konflik dengan baik (Tempo.co, 17/9/2023).
"Yakinlah ini (investasi) untuk kesejahteraan rakyat, menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan pendapatan,"kata Bahlil usai memimpin rapat koordinasi di Batam, Kepulauan Riau pada Minggu, 17 September 2023, dikutip Tempo dari keterangan tertulis. "Dan masyarakat yang akan kami relokasi dari pulau itu akan diberikan hak-haknya, dalam hal tanah."
Suasana di Pulau Rempang masih memanas pascakonflik antara warga dengan aparat negara. Namun demikian, alih-alih memediasi persoalan tersebut, negara justru mendorong berlanjutnya pembangunan yang dicanangkan pihak pengusaha. Justru, statement miskomunikasi menegaskan keberpihakan negara untuk siapa. Dalih investasi menjadi tameng yang kian nyata.
Gembar-gembor kesejahteraan rakyat dengan dalih investasi sejatinya lafaz usang yang tak ada bukti. Sejak awal rencana pengukuran justru diwarnai arogansi dari aparat negeri ini. Negara seakan berambisi menunaikan amanat korporasi. Meski rakyat sendiri tersakiti seakan tak peduli.
Indonesia adalah surganya kekayaan alam, termasuk di Pulau Rempang. Kekayaan alam di Pulau Rempang memang sangat menakjubkan. Keanekaragaman hayati sungguh sangat menawan. Rakyat tinggal di pulau yang tenang itu menggantungkan kondisi ekonominya pada areal pertanian dan juga perikanan.
Kini, nasib rakyat Pulau Rempang seakan terkatung-katung oleh ketidaktegasan pemangku kebijakan. Konflik tersebut akan berlarut apabila rakyat digusur dari tanah kelahirannya tanpa ganti yang sepadan. Apalagi pertanian dan perikanan menjadi mata pencaharian utama yang mereka andalkan. Jika mereka diusir tanpa belas kasihan, wajar jika mereka melakukan penolakan. Sehingga konflik pun tak terelakkan.
Konflik Pulau Rempang menuai banyak kritikan dan tanggapan. Salah satunya dari Eks Ketua Majelis Ulama K.H. Din Syamsuddin. Beliau meminta pemerintah untuk tidak banyak berdalih dalam menangani konflik di Pulau Rempang, Kepulauan Riau. Menurutnya, sikap pemerintah yang mengatakan konflik tersebut hanya soal miskomunikasi merupakan dalih atau alasan semata (Tempo.co, 16/9/2023).
Jampi-Jampi Kapitalisme Terus Mencengkeram Pulau Rempang
Jampi-jampi kapitalisme seakan tepat mengenai jantung para petinggi negeri. Ambisi mereka ugal-ugalan dalam melakukan upaya relokasi. Polemik pengajuan legalitas tanah oleh rakyat juga tak jua menjumpai solusi. Justru rakyat, penduduk asli Pulau Rempang, harus berhadapan dengan aparat yang menjadi perpanjangan tangan korporasi.
Jangankan ganti rugi yang sepadan dan menyejahterakan yang didapatkan rakyat, mereka justru menerima serangan aparat. Miskomunikasi kemudian mencuat sebagai alasan pemicu konflik. Padahal sejatinya, rakyat tidak setuju atas relokasi yang dicanangkan oleh amanat korporasi. Namun, pemerintah terkesan tak peduli.
Konflik antara rakyat dan aparat atau penguasa di Pulau Rempang bukan kasus pertama yang terjadi di Indonesia. Sengketa antara rakyat dan negara kerap terjadi. Wajar saja konflik-konflik itu menimpa negeri yang kaya ini, sebab paradigma kapitalisme begitu kuat mencengkeram Indonesia. Sistem kapitalisme memiliki asas manfaat, segala sesuatunya diukur dengan untung rugi.
Bukan hal yang aneh jika Pulau Rempang dan rakyat ditumbalkan dengan alasan investasi dan proyek strategis demi mendongkrak ekonomi. Apalagi akidah sistem kapitalisme adalah pemisahan agama dengan kehidupan, sekularisme, sehingga semakin membutakan mata hati penguasa pada amanah utamanya untuk melayani dan melindungi rakyat.https://narasipost.com/opini/09/2023/konflik-pulau-rempang-demi-investasi-rakyat-dipaksa-angkat-kaki/
Sistem kapitalisme meniscayakan lenyapnya tanggung jawab negara dalam memelihara urusan rakyat. Hubungan negara dengan rakyat laksana majikan dan bawahan, atau malah seperti tuan dengan budaknya. Rakyat dipaksa patuh pada semua kebijakan yang merugikan rakyat. Keberpihakan negara kepada para pemilik modal menjadi ciri utama keberhasilan jampi-jampi sistem kapitalisme di suatu negeri, termasuk di Indonesia yang mayoritas muslim.
Pemanfaatan Lahan dalam Pandangan Islam
Perkara pembangunan dan pemanfaatan lahan di dalam sistem kapitalisme sangat bertentangan dengan pembangunan dan pemanfaatan lahan dalam sistem Islam. Sudah jamak diketahui bahwa Islam bukan hanya agama ritual, tetapi juga seperangkat aturan dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk pembangunan dan pemanfaatan lahan di suatu negeri. Islam meniscayakan negara bertanggung jawab penuh atas rakyatnya, termasuk urusan pembangunan dan pemanfaatan lahan ini.
Pembangunan dalam Islam tidak boleh membawa dampak buruk sedikit pun terhadap rakyat dan lingkungannya. Pembangunan dalam Islam akan membawa manfaat dan mensyiarkan betapa Islam itu tinggi dan mulia di kancah perpolitikan internasional. Negara tidak boleh serampangan merelokasi sebuah kawasan tanpa memperhatikan lingkungan dan ekosistem yang ada, terlebih rakyat.
Islam adalah rahmat bagi semesta alam. Tak boleh sedikit pun ada mudarat bagi rakyat ataupun ekosistem alam di sekitarnya jika akan dilaksanakan sebuah proyek pembangunan dan pemanfaatan lahan. Maka dengan demikian, pembangunan yang dibutuhkan akan berjalan sesuai tatanan syariat Islam. Pembangunan bukan semata terkait ilmu sipil atau geostrategis, tetapi juga mencerminkan sebuah maha karya peradaban mulia. Negara akan berhati-hati dalam menggunakan lahan. Apalagi sampai menyerahkan pada pihak asing, sungguh hal itu tak ada izin secara syar'i.
Negara akan mempersempit celah kerusakan alam saat pembangunan dan pemanfaatan lahan. Sebab, Allah telah menegaskan bahwa kerusakan di darat dan di laut karena ulah tangan manusia. Sebagaimana firman Allah dalam surah Ar-Rum ayat 41,
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ
"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)."
Ayat tersebut akan menjadi alarm bagi negara, masyarakat, dan individu yang bertakwa untuk menjaga kelestarian lingkungan sekalipun ada pembangunan dan pemanfaatan lahan baru. Selain itu, status kepemilikan lahan akan ditegakkan secara syar'i oleh negara. Dalam kasus Pulau Rempang, maka kepemilikan lahan itu menjadi milik individu rakyat karena memang mereka sudah lama sekali menempati pulau tersebut. Mereka bahkan turut andil dalam mengusir penjajahan di bumi pertiwi ini.
Jelas, meski legalitas lahan secara administratif belum mereka kantongi, secara syar'i tempat tinggal dan areal persawahan sejatinya milik rakyat Rempang. Negara akan memelihara urusan mereka dengan pemeliharaan yang baik dan benar. Islam mengharamkan negara kafir menguasai pemanfaatan lahan milik individu rakyat ataupun harta milik umum.
Islam mewajibkan negara agar berlaku adil bagi rakyat kecil. Sudah masyhur kisah adil dan tegasnya Khalifah Umar bin Khattab saat menyelesaikan sengketa pemanfaatan lahan Kakek Yahudi menjadi sebuah masjid. Saat sang kakek mengadu kepada Khalifah Umar, khalifah mengirimkan tulang yang digambar huruf alif kepada Gubernur Amru bin Ash yang merelokasi rumah sang kakek menjadi masjid.
Pemanfaatan lahan rumah Kakek Yahudi dibatalkan karena tulang yang dikirim Khalifah Umar. Tulang berisi pesan spiritual dan ketakwaan seorang penguasa mengantar Gubernur Amru bin Ash untuk memanfaatkan lahan dan merelokasi rumah kakek secara syar'i. Keadilan Islam dan perlindungan Khilafah terhadap rakyat menjadikan Islam sebagai peradaban cemerlang dan mulia.
Khatimah
Pemerintah seyogianya menjernihkan hati dan pikiran dalam konflik Pulau Rempang. Pemerintah harus mendudukkan pembangunan dan pemanfaatan lahan sesuai aturan Islam. Namun, hal itu tak akan mudah diwujudkan dalam sistem kapitalisme saat ini. Maka dari itu, penguasa muslim harus beralih pada sistem yang baik, yaitu sistem Islam yang berasal dari Zat Yang Maha Baik.
Wallahu a’lam bishawab.[]
Sedih banget kalau mengikuti kabar masyarakat Rempang. Mereka sampai rela mati di tanah mereka sendiri daripada harus direlokasi.
Saya mau berdoa saja setelah membaca tulisan ini.
.
Ya Allah, siapa saja yang mengemban tugas mengurusi umat Nabi Muhammad, kemudian dia menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia, Ya Allah.
Kisah Rempangmenjadi pelajaran berharga bagi kita. Bahwa sistem kapitalisme tdk pernah ada utk rakyat jelata. Penguasa dan Oligarki selingkuh merampas tanak dan hak rakyat.
MasyaAllah, selalu tercerahkan membaca naskah dari ustazah Afiyah Rasyad. Memang Rempangku sayang Rempangku malang. Sedih....hingga kini tidak jelas nasibnya.
Barakallah mba Afi. Jujur bacanya enak banget. Opini rasa Sastra. Pantesan mba Afi dapat julukan Maesteo Sastra. Keren.
Bicara Nasib Rempang rasa hati terasa ngilu. Rakyat harus menanggung derita dari penguasa zalim. Apalagi anak-anak tidak berdosa yang kena imbas dari kebengisan rezim saat ini. Janji-janji manis hanya berlaku saat kampanye doang. Setelahnya mereka akan membela para oligarki. Dengan adanya kasus Rempang ini harusnya membuat rakyat sadar bahwa sistem kapitalisme menyengsarakan, bukan menyejahterakan.
Baraakallah Mbak Ari Shalihah❤️
Betul, tidak boleh serampangan dalam bertindak. Semua ada aturannya.
Betul mbak Afi, nelangsa banget kalau baca nasib rakyat di negeri ini. Sepertinya gak ada rakyat yang benar-benar tenang walau memiliki tanah sendir di negeri ini. Baca opini mb Afi serasa lagi baca sastra ya. Keren. Barakallah mbak ...
MasyaaAllah.. kenapa yaa kalau baca tulisan Mba Afiyah tu rasanya enak.. terbawa suasana sedih dan geramnya masyarakat Rempang kpd penguasa.