Konflik sengketa lahan selalu berakhir ricuh karena negara hanya berpihak pada segelintir oligarki dengan merampas ruang hidup rakyatnya. Sejatinya inilah cerminan negara demokrasi yang korporatokrasi, karena kebijakan negara hanya berpihak pada kepentingan bisnis dan mengabdi pada pemilik modal.
Oleh. Muthiah Al Fath
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Tragedi konflik perebutan tanah antara rakyat dan penguasa kembali mewarnai negeri ini. Untuk sekian kalinya, hanya demi membela para investor, publik terus diperlihatkan kebengisan dan sikap represif negara kepada rakyatnya sendiri. Ternyata, merdeka dalam naungan demokrasi hanya menjadikan rakyat terjebak kolonialisme gaya baru atas nama investasi.
Aksi bentrok yang terjadi antara penduduk di Pulau Rempang dengan aparat keamanan menjadi sorotan banyak pihak. Konflik ini dipicu akibat rencana pengembangan kawasan industri baru, proyek Rempang Eco City di Pulau Rempang dan Galang, Batam. Buntut masalahnya akibat adanya konflik sengketa tanah dan rencana penggusuran pemukiman warga yang mendapat penolakan dari penduduk Rempang. (News.detik.com, 16/9/2023)
Aksi bentrok antara warga adat dengan gabungan TNI dan Polri pertama kali terjadi pada Kamis (7/9/2023). Konflik ini dimulai ketika sekelompok warga memblokir jalan ketika tim gabungan hendak melakukan pengukuran lahan untuk memasang patok di sekitar Pulau Rempang tersebut. Keributan pecah ketika warga merobohkan pohon dan membakar sejumlah ban di akses jalan masuk, sementara dari pihak aparat kepolisian mulai menembakkan gas air mata. (Kompas.com, 8/9/2023)
Peperangan antara pihak kepolisian dengan warga seharusnya tidak terjadi jika memang rencana investasi tersebut untuk kepentingan rakyat. Pasalnya, akibat tembakan gas air mata secara membabi buta oleh pihak aparat, banyak warga yang terluka dan diamankan, bahkan beberapa pelajar harus dilarikan ke rumah sakit. Sifat represif penguasa dengan mengirimkan aparat keamanan untuk melawan rakyatnya sendiri perlu untuk kita kritisi. Benarkah rencana pembangunan proyek pabrik kaca terbesar di Indonesia dengan investor Cina tersebut dilakukan untuk kepentingan rakyat?
Polemik Sengketa Lahan
Proyek pengembangan milik Tomy Winata, yakni PT Makmur Elok Graha (MEG), anak perusahaan Grup Artha Graha telah diberikan konsesi 17.000 hektare sampai 2080 karena memiliki nilai investasi sebesar Rp381 triliun. Konsesi tersebut telah diberikan oleh Badan Pengusahaan (BP) Batam untuk dijadikan kawasan bisnis Rempang Eco City di Pulau Rempang dan Galang selama 80 tahun. Mirisnya, pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) rela melepaskan 7.560 hektare kawasan hutan untuk memuluskan pembangunan proyek tersebut.
Masuknya investor ke Rempang berawal pada 2001, ketika pemerintah membuat pengumuman mengenai siapa yang mau berinvestasi di pulau-pulau Indonesia. Mulanya tidak ada yang tertarik untuk berinvestasi di Pulau Rempang, sampai ketika PT Makmur Elok Graha berminat dan berencana membangun kawasan Rempang Eco City. Pada 2004, MoU antara Walikota Batam (Nyat Nadir) dengan investor dari PT MEG tersebut ditandatangani. Akan tetapi, lahan yang diberikan tidak langsung digarap dan justru diterlantarkan selama 19 tahun.
Kembalinya investor dari Cina tersebut merupakan hasil kunjungan Presiden Jokowi ke Cina akhir-akhir ini. Karena BP Batam telah mengalokasikan tanah seluas 117.000 hektare, maka 10.000 warga Pulau Rempang-Galang yang berdiam di 16 Kampung Melayu Tua akan direlokasi ke tempat lain. Masalahnya, tempat relokasi yang dijanjikan tersebut belum tersedia namun pemukiman mereka sudah mulai digusur. Lantas, ke mana ribuan jiwa penduduk ini akan melanjutkan hidup?https://narasipost.com/opini/12/2022/polemik-tiada-akhir-pulau-pasir/
Itulah yang membuat warga Rempang dan pulau-pulau di sekitarnya mengumpulkan massa sebanyak 6.000 orang untuk menggelar aksi penolakan (23/8/2023). Namun, aksi penolakan tersebut tidak mendapat tanggapan dari H.M. Rudi selaku Kepala BP Batam. Ia berdalih bahwa rencana untuk mengosongkan Pulau Rempang merupakan perintah Presiden sebagai proyek pemerintah pusat.
Negara Melanggar Konstitusi dan HAM?
Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara wajib melindungi seluruh tumpah darah segenap rakyatnya dan memajukan kesejahteraan umum, ternyata hanyalah ilusi di alam demokrasi. Kenyataannya negara justru merenggut hak rakyatnya untuk mendapat tempat tinggal yang nyaman, mendapat kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan, serta hak mendapat kesejahteraan hidup. Mirisnya, sejak pertengahan Agustus lalu, sekolah-sekolah negeri sudah dipindahkan dan pelayanan kesehatan di Puskesmas diberhentikan.
Jika merujuk pada UUPA (UU Nomor 5 Tahun 1960), maka hak atas lahan oleh PT MEG seharusnya telah dicabut karena telah diterlantarkan selama bertahun-tahun. Apalagi, mayoritas penduduk yang bermukim di Pulau Rempang adalah etnis Melayu yang sudah berdiam dan bermukim di sana jauh sebelum Indonesia merdeka, yakni pada 1838. Tak salah jika publik menilai bahwa mega proyek nasional ini hanya berpihak pada investornya, tanpa ada niat sedikit pun untuk kesejahteraan rakyat. Jika memang untuk rakyat, mengapa negara yang diwakili BP dan segenap aparat malah melanggar konstitusi dengan mengabaikan suara hati rakyatnya sendiri. Parahnya lagi, para stakeholder maupun pemangku kebijakan yang seharusnya hadir membelah hak rakyat, malah membela pemilik modal.
Menanggapi konflik sengketa lahan ini, pemerintah berdalih bahwa tanah tersebut milik negara, dan demi kepentingan rakyat maka harus dikelola atau diinvestasikan. Negara kerap memanfaatkan kurangnya pengetahuan rakyat mengenai ambruknya sistem administrasi pertanahan ala kapitalisme.
Terbukti, Batam ditetapkan sebagai kawasan perdagangan bebas (free trade zona) pada 2007 melalui PP Nomor 48. Saat melakukan kunjungan ke Chengdu, Cina, Presiden Jokowi sendirilah yang telah menawarkan proyek Green and Suistainable City (PSN) ke negara luar. Hasilnya, terciptalah MoU bersama perusahaan kaca dan solar sel terintegrasi terbesar di dunia milik Xinyi Group, dengan nilai investasi sebesar USD11,5 miliar.
Wajar jika publik menilai bahwa pengosongan lahan sejalan dengan sistem yang diterapkan saat ini, yakni sekuler kapitalisme yang mengagungkan para kapitalis dengan menjamin kebebasan oligarki menguasai lahan warga. Konflik sengketa lahan selalu berakhir ricuh karena negara hanya berpihak pada segelintir oligarki dengan merampas ruang hidup rakyatnya. Sejatinya inilah cerminan negara demokrasi yang korporatokrasi, karena kebijakan negara hanya berpihak pada kepentingan bisnis dan mengabdi pada pemilik modal.
Dalam pemerintahan demokrasi, tanah adalah aset utama investasi dan akumulasi modal bagi pemerintah dan para kapitalis. Negara kadang tidak mempertimbangkan bahwa lahan bagi masyarakat adalah tempat tinggal, modal pencarian, dan simbol sosial budaya atau warisan leluhur. Itulah mengapa, jika masyarakat dan pemerintah terlibat kasus persengketaan tanah, maka masing-masing akan mempertahankannya meskipun akan menuai banyak polemik.
Keadilan Islam Mengatasi Sengketa Lahan
Jika ditelusuri, kasus sengketa lahan atau konflik rebutan hak tanah yang terjadi antara masyarakat dengan pihak pemerintah, korporasi, maupun sesama masyarakat terus berulang di negeri ini. Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) pernah membeberkan bahwa lebih dari 8.000 kasus konflik tanah di negeri ini belum terselesaikan (24/2/2022). Sayangnya, dalam demokrasi, posisi rakyat selalu kalah jika dihadapkan dengan kepentingan korporasi. Sekalipun telah banyak bukti yang membenarkan bahwa rakyat tersebut telah tinggal secara turun temurun, namun tetap saja penggusuran dan diskriminasi menjadi legal dilakukan jika pemerintah telah mengeklaim sebagai miliknya.
Sebaliknya, dalam Islam, kekuasaan dan kepimpinan dipandang sebagai amanah yang wajib dipertanggungjawabkan di sisi Allah Swt. Oleh karena itu, setiap penguasa takut jika kebijakannya akan membawa penderitaan kepada rakyatnya, terutama jika menyangkut hak kepemilikan lahan.
Dalam sistem pemerintahan Islam, amanah kepemimpinan sepaket dengan penerapan aturan Islam yang mengatur segala aspek kehidupan. Salah satu yang diatur dalam hukum syarak adalah mengenai status kepemilikan lahan. Lahan hunian, pertanian, ladang, kebun, dan lahan-lahan yang telah ditempati merupakan kategori lahan milik individu/pribadi. Hutan, tambang, dan lautan merupakan lahan milik umum. Lahan kosong yang belum dihuni atau dikelola merupakan lahan milik negara.
Berdasarkan pembagian ini maka negara tidak boleh (haram) membuat kebijakan untuk melegalisasi perampasan hak lahan milik individu atau umum. Sedangkan lahan-lahan milik umum, Islam menetapkan pengelolaannya diserahkan pada negara untuk kemaslahatan rakyat.
Jaminan optimalisasi pemanfaatan lahan, semua diatur dalam UU Daulah yang telah disesuaikan dengan hukum syarak. Misalnya, tentang aturan bagi siapa saja yang telah menelantarkan tanah miliknya selama tiga tahun maka ia akan kehilangan hak kepemilikan. Namun, bagi siapa yang berhasil mengelola atau menghidupkan kembali lahan yang terlantar (tidak tampak pemiliknya) maka tanah itu menjadi miliknya.
Sifat para Khalifah yang takut untuk mengambil hak rakyatnya merupakan bentuk ittiba’ mereka terhadap Rasulullah saw.
“Barang siapa mengambil sejengkal tanah secara zalim, maka akan dikalungkan kepadanya tujuh lapisan bumi pada hari kiamat nanti.” (HR. Muslim)
Hukum ini telah dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khattab yang kerap melakukan inspeksi untuk memastikan kesejahteraan, keadilan, dan keamanan warganya. Kebijaksanaan Khalifah Umar terlihat saat ia dengan tegas menegur Gubernur Mesir, Amr bin Ash ketika berencana menggusur gubuk reyot milik kakek Yahudi untuk proyek perluasan Masjid. Padahal, sebelumnya, Amr bin Ash telah berdiskusi secara baik-baik dengan kakek Yahudi tersebut, bahwa gubuknya akan dibeli dan dibayar dengan harga dua kali lipat.
Nasehat pahit dari Khalifah Umar membuat Amr bin Ash menangis dan menyesali perbuatannya. Kemudian, ia langsung membatalkan rencana penggusuran gubuk milik Yahudi tersebut. Begitulah, keadilan hukum Islam yang pernah diterapkan selama berabad-abad. Banyaknya kasus sengketa yang terjadi antara rakyat dan penguasa, seharusnya menyadarkan kita tentang keadilan hukum Islam dalam urusan pembagian lahan. Wallahu a’lam bishawab.[]
Dalihnya investasi demi kesejahteraan rakyat, buktinya rakyat justru jadi korbannya. Rakyat lagi-lagi jadi korban kebengisan rezim-rezim zalim. Saatnya Umat sadar kalau sistem ini bobrok dari akarnya. Hanya Islam yang akan membeli dan melindungi rakyatnya.
Negara cukong oligarki, rakyat korban sistem demokrasi, suara wakil rakyatnya hanya basa basi.
setuju.. tumbangkan sistem democrazy
Dimana peran negara untuk melindungi rakyatnya? Miris!
Perlindungan hanya untuk npara kapitaiis di negara yang berpaham kapitalisme. Hanya Islam solusi tuntas segala problematika kehidupan. Sebab berasal dari Dzat Yang Maha Kuasa
negara hanya berperan sebagai pengabdi para investor Mba. beda dengan Islam, pemimpin itu pelayan rakyat.
Jelas sekali ini bentuk kezaliman. Tidak adakah keimanan dalam jiwa para pemimpin muslim negeri ini? Tidakkah mereka menyadari bahwa semua akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat?
bener Mba.. amanah kekuasaan digunakan untuk merampas hak rakyatnya....
Jazakunallah Khoir Mom dan Tim NP..
Kasus perampasan tanah selalu saja berulang di negeri ini, pemerintah yg seharusnya melindungi hak2 rakyatnya justru telah berkhianat dan lebih mementingkan korporasi aseng dan cuan. Jika sdh begini kemana rakyat hendak mengadu????
HANYA SATU CARA perjuangkan Islam menjadi aturan kehidupan bernegara. Di JAMIN pasti adil dan memanusiakan manusia. Gak akan ada yg berani merampas tanah rakyat.
Bener Mba, itu karena Islam memiliki aturan yang jelas tentang hak pembagian lahan. Semua aparat negara dalam Daulah takut untuk melanggar syariat yang langsung turun dari Allah Swt.
Kasus penggusuran tanah yang sudah dihuni oleh masyarakat oleh penguasa sering terjadi dan berulang kali. Hal ini membuktikan bahwa demokrasi yang katanya dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat nyatanya hanya bualan semata.
Yang bener, dari rakyat, oleh wakil rakyat, untuk korporasi. Kasihan rakyat selalu ditipu dengan slogan dusta demokrasi.
Pemerintah memang jelas lebih membela investor dalam sengketa Pulau Rempang daripada rakyat. Kasian banget rakyat yang sudah bertahun-tahun hidup di situ harus terusir dan digusur dari rumah sendiri. Inilah bentuk kezaliman nyata penguasa di sistem rusak kapitalisme.
Bener Mba.. penguasa hanya membela para kapitalis. Modal kampanye untuk merebut kursi kekuasaan akan menjadikan rezim "mustahil" bekerja untuk rakyat. Tentu saja mereka akan bekerja kepada mereka yang telah memodali mereka di awal2 kampanye.