Penggunaan sistem mata uang hampa (kertas) inilah yang menyebabkan terjadinya volatilitas dan ketidakstabilan perekonomian di negara mana pun. Pasalnya, uang kertas (fiat) tidak memiliki kontrol dan backup sama sekali.
Oleh. Sartinah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com & Penulis Rempaka Literasi)
NarasiPost.Com-Kedigdayaan dolar Amerika Serikat sebagai alat transaksi internasional diharapkan semakin meredup. Hal ini sejalan dengan upaya negara-negara ASEAN termasuk Indonesia yang mulai meninggalkan dolar dan beralih menggunakan alat transaksi lokal atau Local Currency Transaction (LCT). Bahkan, demi menyukseskan misi "buang dolar" tersebut, pemerintah sampai membentuk Satgas LCT. Lantas, apakah dengan melepaskan keterikatan pada dolar, perdagangan internasional dengan uang lokal akan berjaya?
Mengurangi Ketergantungan
Pemerintah membentuk Satgas LCT pada awal September 2023. Satgas LCT sendiri diberikan tugas untuk mendorong peningkatan penggunaan mata uang lokal dalam transaksi lintas negara. Beberapa lembaga yang tergabung dalam Satgas ini adalah Bank Indonesia (BI), Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Keuangan, serta sejumlah kementerian lainnya. Sementara itu, negara-negara yang sudah melakukan kerja sama dengan LCT antara lain, Malaysia, Thailand, Tiongkok, dan Jepang. (CNBC Indonesia, 12/09/2023)
Menurut ekonom dari Bank CIMB Niaga, Mika Martumpal, langkah pemerintah membentuk Satgas LCT dalam rangka mengurangi ketergantungan terhadap dolar perlu diapresiasi. Mika pun menyebut, penggunaan mata uang lokal akan memberikan dampak yang baik pada stabilitas nilai tukar rupiah.https://narasipost.com/opini/05/2023/dedolarisasi-dan-masa-depan-dinar-dan-dirham/
Mata uang lokal sendiri diartikan sebagai mata uang yang dapat dibelanjakan di lokasi geografis tertentu dan di antara organisasi atau negara yang ikut berpartisipasi. Diharapkan agar pembentukan Satgas LCT dan semua langkah yang ditempuhnya dapat mengurangi tekanan terhadap rupiah, setidaknya dalam jangka waktu dekat. Apalagi nilai tukar dolar AS saat ini terbilang masih menguat.
Selain itu, jika transaksi bilateral dua negara dilakukan tanpa menggunakan dolar AS atau biasa disebut dengan Local Currency Settlement (LCS), Indonesia disebut dapat menghemat cadangan devisa. Pernyataan senada pun dikemukakan oleh Kepala Ekonom BCA, David Sumual, yang menyebut bahwa penggunaan LCS dapat mengurangi ketergantungan terhadap kebutuhan dolar AS terutama untuk kegiatan transaksi dalam skala besar, seperti ekspor dan impor. (CNBC Indonesia, 06/04/2023)
Sebagaimana diketahui, Indonesia memang memiliki ketergantungan yang sangat besar terhadap mata uang dolar dalam transaksi perdagangan bilateralnya. Di mana, penggunaan mata uang dolar AS dalam transaksi ekspor misalnya, mencapai lebih dari 90 persen dan transaksi impor di atas 85 persen. Jika dominasi dolar masih begitu besar, mungkinkah perdagangan negeri ini akan baik-baik saja jika meninggalkan dolar AS?
Tidak Berdampak Signifikan
Sebagaimana diketahui sebelumnya bahwa beberapa negara seperti Malaysia, Indonesia, dan Thailand, memutuskan untuk menggunakan mata uang lokal dalam berdagang dan berinvestasi langsung. Sayangnya, kesepakatan beberapa negara dalam upaya dedolarisasi (penggantian mata uang dolar AS dalam transaksi internasional) tersebut tampaknya tidak akan berpengaruh signifikan.
Sebut saja penggunaan ringgit Malaysia dalam transaksi ekspor dan impor. Jika dibandingkan dengan total seluruh mata uang yang ada, rasio penggunaan ringgit Malaysia justru mengalami penurunan yakni hanya sebesar 0,8. Diketahui pada tahun 2021 silam, saat pertumbuhan ekspor sangat tinggi yakni mencapai 49,7 persen, rasio penggunaan mata uang ringgit Malaysia justru hanya 0,9. Bahkan, rasionya turun lagi di tahun 2022 menjadi 0,8.
Penggunaan mata uang ringgit dalam transaksi ekspor dan impor yang hanya 0,8 tersebut tentu merupakan jumlah yang sangat kecil. Sedangkan terkait investasi internasional, sebagaimana dikutip dari data Bank for International Settlements (BIS), penggunaan mata uang dolar AS masih mendominasi yakni sebesar 88,4 persen, euro 35,5 persen, dan diikuti yen Jepang sebesar 16,7 persen. https://narasipost.com/opini/05/2023/tuan-dolar-tak-lagi-bertuah/
Dari data tersebut saja dapat disimpulkan bahwa mata uang dolar AS masih sangat mendominasi dalam berbagai transaksi valuta asing. Artinya, penggunaan dolar AS masih mendominasi di perekonomian, ekspor dan impor, serta investasi.
Contohnya saja jika Indonesia ingin mengimpor minyak, maka pemerintah harus menyediakan mata uang dolar AS. Pasalnya, transaksi minyak harus dilakukan dengan dolar. Walhasil, sulit rasanya saat ini bagi Indonesia maupun negara-negara lainnya untuk lepas dari mata uang dolar AS sepenuhnya. Pasalnya, negara-negara di dunia masih bersepakat terhadap penggunaan dolar AS dalam transaksi bilateralnya.
Menguntungkan Negara Pencetak
Melepas ketergantungan terhadap dolar memang harus dilakukan oleh negeri ini. Namun, permasalahannya adalah jika Indonesia melepaskan dolar kemudian menggantinya dengan mata uang negara lain seperti yuan (Cina) atau euro (Uni Eropa), hal ini justru akan menguntungkan negara pencetak uang. Sedangkan Indonesia tetap akan bergantung dengan mata uang tersebut ketika melakukan transaksi bilateral internasionalnya.
Mata uang kertas atau fiat money merupakan mata uang yang memihak dan menguntungkan otoritas negara pencetak uang. Jika mata uang euro yang digunakan misalnya, negara yang berhak mencetak uang tersebut adalah Uni Eropa. Sementara yang diuntungkan adalah mereka yang bergabung dalam negara-negara Eropa. Pun demikian jika menggunakan mata uang yuan Cina. Otoritas yang berhak mencetak uang tersebut adalah Bank Central Cina, sekaligus negara mereka juga yang paling diuntungkan.
Dengan demikian, kebijakan "buang dolar" yang dilakukan beberapa negara termasuk Indonesia, tidak akan menjanjikan kestabilan perekonomian. Ekonomi suatu negara tidak akan lebih baik jika masih menggantungkan harapan pada mata uang kertas lainnya. Penggunaan sistem mata uang hampa (kertas) inilah yang menyebabkan terjadinya volatilitas dan ketidakstabilan perekonomian di negara mana pun. Pasalnya, uang kertas (fiat) tidak memiliki kontrol dan backup sama sekali.
Walhasil, badai krisis akan terus terjadi dan membayangi ekonomi negara-negara di dunia. Tak hanya itu, inflasi dan depresiasi nilai tukar yang tidak terkawal juga menjadi fakta yang merusak perekonomian bangsa-bangsa mana pun. Fakta ini sekaligus membuktikan bahwa sistem kapitalisme telah gagal mewujudkan kesejahteraan ekonomi umat manusia. Jika demikian, adakah alternatif mata uang lain sebagai jalan untuk keluar dari tekanan mata uang negara lain?
Dinar-Dirham, Akhiri Dominasi Dolar
Jika negara-negara di dunia ingin keluar dari dominasi dolar, solusi terbaik yang dapat dilakukan bukanlah dengan mengganti mata uang kertas dengan kertas lainnya. Namun, pilihan terbaik adalah kembali pada mata uang rekomendasi Islam yang terbukti stabil, yakni dinar dan dirham. Mata uang dengan standar emas dan perak inilah yang mampu mengakhiri dominasi dolar.
Hanya saja, penggunaan dinar dan dirham tak serta-merta dapat menggeser dominasi dolar jika diterapkan saat ini. Ada satu syarat mendasar agar mata uang Islam tersebut dapat mengonversi mata uang kertas, yakni harus ada institusi negara yang menerapkan sistem moneternya menggunakan dinar dan dirham. Negara tersebut pun harus kuat, berani, serta memiliki kemauan politik yang tinggi untuk menjamin beredarnya mata uang dinar dan dirham.
Satu-satunya institusi negara yang paling mampu dan layak mengadopsi sistem moneter menggunakan dinar dan dirham hanyalah Khilafah. Pasalnya, tanpa institusi Khilafah dan seluruh syariat Islam yang diterapkan secara menyeluruh dalam semua aspek kehidupan, mustahil keunggulan dinar dan dirham dapat dirasakan.
Sebagaimana pernah dilakukan oleh sekelompok masyarakat Indonesia yang berupaya menggunakan dinar dan dirham dalam transaksi muamalah mereka. Sayangnya upaya tersebut tidaklah cukup berhasil untuk menggeser dominasi dolar di negeri ini.
Apalagi tanpa institusi Khilafah, keberadaan dinar dan dirham sulit mendapat legitimasi sebagai alat transaksi. Lantas, mengapa harus dinar dan dirham? Dalam Islam, standar baku dalam bertransaksi adalah menggunakan emas dan perak. Artinya, sistem mata uang yang digunakan sebagai alat tukar adalah emas dan perak. Kesimpulan tersebut didasarkan pada beberapa alasan, di antaranya:
Pertama, saat Islam melarang aktivitas menimbun harta (kanz al-mal), maka larangan tersebut hanya dikhususkan pada emas dan perak. Sedangkan mengumpulkan harta selain emas dan perak tidak dikategorikan sebagai kanz al-mal, tetapi termasuk dalam ihtikar. Oleh karena itu, larangan tersebut jelas ditujukan pada alat tukar. Hal ini pun telah dijelaskan dalam surah At-Taubah ayat 34:
وَٱلَّذِينَ يَكۡنِزُونَ ٱلذَّهَبَ وَٱلۡفِضَّةَ وَلَا يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ فَبَشِّرۡهُم بِعَذَابٍ أَلِيْمٍ
Artinya: "Orang yang menimbun emas dan perak, yang tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka beritahulah mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksaan yang pedih."
Kedua, Rasulullah saw. telah menetapkan bahwa mata uang yang digunakan hanyalah dinar dan dirham saja. Rasul pun telah membuat standar uang tersebut dalam berbagai nilai yaitu dinar, dirham, daniq, uqyah, qirath, dan mitsqal. Semua nilai tersebut sudah masyhur digunakan sebagai alat transaksi oleh masyarakat. Kondisi tersebut pun tetap berlangsung dan dibiarkan oleh Rasul. Inilah alasan mengapa semua negara harus meninggalkan fiat money kemudian menjadikan dinar dan dirham sebagai alternatif alat transaksi perdagangan.
Khatimah
Jika masih berpegang pada mata uang kertas maka rupiah akan tetap berada di bawah ancaman dan tekanan mata uang negara lain. Jika tak mau jatuh terjerembap dalam krisis yang berulang, sudah saatnya negeri ini menyandarkan mata uangnya pada emas dan perak. Menyandarkan alat transaksinya pada emas dan perak akan membebaskan negeri ini dari dominasi mata uang negara lain. Satu yang pasti, dalam prinsip ekonomi, mengonversi mata uang kertas ke dinar dan dirham adalah sesuatu yang sangat mungkin.
Wallahu a'lam bishawab.[]
Meninggalkan dolar, tetapi ganti menggunakan yuan, ya sama saja. Sama-sama fiat money.
Ho oh. Ibaratnya keluar dari lubang singa malah masuk lubang buaya ya. Ini mah bukan solusi
Tulisan yang cerdas dan tuntas
Hehe ... alhamdulillah. Syukran ust sudah mampir
Upaya mengurangi ketergantungan trhadap dolar AS tidak akan pernah mampu dilakukan, selama sistem yang digunakan bukan ekonomi Islam dengan mata uangnya dinar dan dirham.
Betul mbak Nining, solusi satu-satunya hanya kembali pada Islam ya. Syukran sudah mampir mbak.
Saatnya kembali ke mata uang yang ada nilainya yakni dinar dan dirham.
Yakni mengembalikan Islam sebagai aturan dalam segala aspek kehidupan.
Betul Mbak Isty. Saatnya kembali pada Islam agar dinar dan dirham bisa kembali berjaya. Syukrn mbak sudah mampir.
Hanya sistem ekonomi dalam Islam yang shohih dengan standar dinnar dan dirham
Betul Bu Dewi. Seharusnya semua negara kembali pada mata uang Islam ya. Syukran sudah mampir, Bu.
Adanya fiat money yg nirintrinsik ini yg jd masalah. Sudah tahu kertas tak ada harga masih dicari2. Berbeda dengan penggunaan emas dan perak. Khalayak paham jike mereka berdua adalah barang dengan "nilai". Bukan hanya kertas yg ditandatangani dan disahkan secara UU agar dipercaya masyarakat sebagai alat tukar.
Tahu kah jika dinar dan dirham itu timbangan, bukan mata uang?
Betul. Otak mereka sepertinya hanya mentok di kertas saja. Jadi gak kepikiran untuk mengganti mata uangnya
Ambil seluruh syariat-Nya, itu yang terbaik... ya mbak. Termasuk ekonomi islam lalu menggunakan mata uang dinar dan dirham...
Betul Mbak Maftucha, harusnya sih ambil semuanya. Jangan cuma bank syariah yang disebut-sebut, tapi syariat lainnya dbuang, hehe ...
Bener mba Tina, Dollar dibuang, tapi ambil mata uang lain yah sama ajah boong. Stabilitas ekonomi hanya bisa dicapai jika sistem Islam diterapkan dalam seluruh sendi. Pengunaan dinar dirham telah terbukti mampu menjaga stabilitas ekonomi sepanjang sejarah kejayaan Islam.
Barakallah mba Tina
Aamiin, wa fiik barakallah Mbak Riah. Buang kertas terus ambil kertas lain memang bukan solusi ya. Syukran ya sudah mampir
MasyaAllah tulisan Mbak Sartinah selalu mencerahkan. Memang benar dinar dan drham telah dijadikan mata uang Rasulullah dalam memimpin daulah Islam. Dalam setiap transaksi muamalah bahkan dalam penetapan diyat (tebusan/denda). Terbukti daulah Islam menjadi negara yang kuat dan Khilafah sesudahnya mampu memimpin dunia selama 13 abad.
Betuk Mbak Dyah. Gak perlu diragukan lagi ya keunggulan dinar dan dirham ketika Daulah Islam tegak. Syukran sudah mampir ya
Jazakunnallah khairan katsiran, Mom dan tim NP, semoga bermanfaat