“Kampus, sebagai institusi pembentuk kaum intelektual, telah berubah menjadi pencetak tenaga terampil bagi kepentingan korporasi. Output yang dihasilkan adalah generasi individualis yang tidak peduli akan permasalahan umat.”
Oleh. Irma Faryanti
(Kontributor NarasiPost.Com dan Anggota Akademi Menulis Kreatif)
NarasiPost.Com-Untuk ke sekian kalinya, Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengeluarkan terobosannya. Setelah kurikulum merdeka dan perubahan RUU Sisdiknas, kini Menristek mengungkapkan rencana penghapusan tes mata pelajaran dalam Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi (SBMPTN) dan menggantinya dengan tes skolastik yang lebih mengarah pada kemampuan nalar dan berpikir kritis. (BBC.com, 11 September 2022)
Hal itu diungkap Nadiem dalam rapat kerja dengan Komisi X bidang Pendidikan. Perubahan tersebut dimaksudkan untuk mendorong sekolah-sekolah agar dapat mengajar secara mendalam dan leluasa, tanpa terbebani oleh padatnya materi pelajaran. Siswa pun tidak perlu mengikuti les tambahan atau bimbel untuk sekadar paham, karena semua itu hanya akan membebani secara finansial. Sementara untuk pencapaian target perlu dibuat tes yang lebih inklusif, agar terbuka kesempatan yang sama untuk masuk ke PTN.
Program yang rencananya akan diterapkan pada tahun 2023 menuai kritikan dari beberapa kalangan. Itje Chodijah selaku pengamat pendidikan menganggap kebijakan tersebut sebagai tantangan terbesar mengingat kapasitas guru di negeri ini masih rendah. Mereka terbiasa mengajar dengan kurikulum yang padat karena aturan mengharuskan siswa mengikuti sistem seleksi Perguruan tinggi yang sarat akan hafalan, sehingga pihak sekolah fokus pada capaian materi, bukan dari sisi pemahaman. Maka untuk mengimplementasikan kebijakan baru, kualitas para guru harus segera dibenahi. Paradigma yang selama ini berlaku bahwa mengajar hanyalah sebatas menyampaikan materi semata, diubah dengan memprosesnya terlebih dahulu.
Pendidikan berbasis nalar menurut Itje ditujukan untuk membangun kecakapan bernalar, mengembangkan karakter dengan pola pikir yang kritis dan analis. Maka nantinya siswa harus memiliki kapasitas untuk memecahkan permasalahan dan siap dengan tantangan yang terjadi saat ini. Sayangnya fakta tidak sesuai dengan harapan, berdasarkan skor Programme for International Student Assessment (PISA) Indonesia ada pada daftar 10 negara terendah dari sisi literasi. Hal ini menegaskan bahwa proses pendidikan di negeri ini belum sampai pada kemampuan berpikir kritis dan bernalar.
Senada dengan Itje, Pengamat pendidikan dari UIN Syarif Hidayatullah, Jejen Musfah menyarankan agar guru-guru mengikuti sosialisasi dan pelatihan agar mampu memenuhi target kebijakan tersebut. Agar mereka paham bagaimana pendidikan berbasis nalar itu, karena kapasitas guru satu dengan yang lainnya pasti berbeda. Namun demikian baik Jejen ataupun Itje setuju bahwa target utama pembelajaran saat ini adalah dengan kemampuan bernalar dan berpikir kritis.
Inilah realitas sistem kapitalisme, dunia pendidikan semakin materialistis dan tidak didudukkan sebagaimana fungsinya. Ukuran ekonomi sering dijadikan patokan keberhasilan akreditasi institusi. Perguruan tinggi hanya menjadi tempat untuk mencetak manusia siap kerja. Idealismenya tergerus dengan keberpihakannya pada dunia industri, menjadikan materi di atas segalanya.
Demikianlah, kapitalis merupakan penyebab utama munculnya kerusakan yang melanda berbagai aspek kehidupan. Kampus, sebagai institusi pembentuk kaum intelektual, telah berubah menjadi pencetak tenaga terampil bagi kepentingan korporasi. Output yang dihasilkan adalah generasi individualis yang tidak peduli akan permasalahan umat.
Berbeda dengan Islam yang mendudukkan pendidikan pada posisi yang sangat penting di tengah masyarakat dan memiliki tujuan yang benar. Negara adalah pihak yang bertanggung jawab penuh dalam formalisasi pendidikan misalnya terkait tujuan, strategi, penerapan kurikulum dan lain sebagainya, termasuk output yang dihasilkannya.
Berbicara tentang output tentu tidak dapat dilepaskan dengan penerimaan dan penanganan terhadap siswa didik. Khususnya pada tahap perguruan tinggi, teknis penerimaan mahasiswa tidak bisa dilepaskan dari tujuan pendidikan. Pertama, menyempurnakan penanaman dan pendalaman kepribadian Islam, agar siswa siap menjadi pemimpin yang mampu memantau permasalahan krusial. Kedua, perguruan tinggi menjadi tempat pembentukan himpunan ulama, peneliti, politikus dan pakar ilmu pengetahuan yang kelak akan mengurusi kemaslahatan umat
Adapun mekanisme penerimaan mahasiswa baru dalam sistem Islam berbeda dengan kapitalis. Mereka akan dilihat dari rata-rata nilai keseluruhannya, karena hal tersebut akan dijadikan sebagai tolok ukur. Kemudian para pakar akan menentukan mata pelajaran serta jurusan yang sesuai dengan standar nilai ini. Tiap bidang yang akan diambil, harus disertai dengan keunggulan nilai pada mata pelajaran tertentu.
Universitas pada masa sistem pemerintahan Islam, penerimaan siswa baru dilakukan dua kali dalam setahun. Sementara dari sisi metode pembelajarannya dilakukan dengan khitab (penyampaian) dan talaqqiy (penerimaan) yang dilakukan oleh pengajar yang akan mentransfer pemikiran yang dihubungkan dengan fakta yang mampu realitas oleh anak didiknya, agar mereka tidak sekadar menerima informasi. Inilah konsep yang disyariatkan Islam untuk mempersiapkan generasi yang bermanfaat bagi kemuliaan umat.
Namun, kesempurnaan penerapannya tidak akan terlaksana tanpa naungan sebuah sistem Islam. Di bawah kepemimpinan seorang penguasa yang sadar betul akan kewajibannya dan takut akan murka Rabbnya yang akan meminta pertanggungjawaban akan seluruh amanah yang dibebankan padanya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.:
"Seorang imam adalah pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.." (HR. Bukhari dan Muslim)
Wallahu a'lam bishawab.[]