Prostitusi Anak Marak, Kota Layak Anak Sekadar Predikat

"Sungguh ironis, kejahatan seksual pada anak justru terjadi di provinsi yang telah mendapat penghargaan sebagai Pelopor Layak Anak. Penghargaan ini diraih oleh Provinsi Jakarta pada Juli 2022 dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), karena dinilai telah memiliki komitmen yang tinggi dalam mewujudkan lingkungan yang ramah bagi tumbuh kembang, pemenuhan hak, dan perlindungan anak."

Oleh. Tatik
(Kontributor NarasiPost.Com dan Pemerhati Sosial, Malang)

NarasiPost.Com- Terungkapnya kasus eksploitasi seksual yang menimpa NAT (15 tahun) baru-baru ini menunjukkan bahwa anak masih belum terlindungi dari sasaran sindikat kejahatan seksual. Bersama dengan puluhan remaja lain, NAT disekap selama 1,5 tahun di sebuah apartemen di Jakarta dan dipaksa melayani pelanggan dengan target penghasilan minimal Rp1 juta per hari. Pihak kepolisian menjelaskan, NAT terseret dalam bisnis prostitusi karena ajakan pacar dan jeratan utang.

Menanggapi hal tersebut, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan bahwa kasus eksploitasi anak-anak masih sangat marak di Jakarta. Tercatat, ada 45 kasus eskploitasi seksual anak hingga Juni 2022. Sementara tahun 2021 ada 145 kasus. (Kompas.com, 21/9/2022)

Sungguh ironis, kejahatan seksual pada anak justru terjadi di provinsi yang telah mendapat penghargaan sebagai Pelopor Layak Anak. Penghargaan ini diraih oleh Provinsi Jakarta pada Juli 2022 dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), karena dinilai telah memiliki komitmen yang tinggi dalam mewujudkan lingkungan yang ramah bagi tumbuh kembang, pemenuhan hak, dan perlindungan anak. Hal ini menjadi bukti, kota layak anak (KLA) sekalipun belum mampu menjamin keamanan bagi anak. Karena itulah, wajar jika ada keraguan dari berbagai pihak terhadap indikator predikat Kota Layak Anak (KLA).

Paradoks Kota Layak Anak

Secara teori, predikat Kota Layak Anak (KLA) diberikan kepada kota yang dapat memberikan jaminan pada anak untuk tumbuh dan berkembang dengan baik. Hal ini dilihat dari kemampuan kota tersebut merencanakan, menetapkan, serta menjalankan seluruh program pembangunan dengan orientasi hak dan kewajiban anak. Di antara indikator yang dinilai adalah penguatan kelembagaan yang ditunjukkan dengan adanya peraturan yang menunjang pemenuhan hak dan perlindungan khusus bagi anak. Selain itu, kota tersebut juga bisa menjamin hak sipil dan kebebasan, hak lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif, hak kesehatan dasar dan kesejahteraan, hak pendidikan dan kegiatan seni budaya, serta hak perlindungan khusus.

Sebagai sebuah ajang penghargaan, predikat Kota Layak Anak banyak dikejar dengan memenuhi persyaratan di atas kertas saja, tanpa membandingkan dengan realita yang terjadi. Oleh kaena itu, tidak heran jika peraihan predikat Kota Layak Anak tidak sebanding dengan pemenuhan hak dan perlindungan bagi anak.

Sebagaimana yang terjadi di Palangkaraya, terungkap kasus seorang ayah yang merudapaksa anaknya sendiri, sebulan sebelum kota tersebut dinobatkan menjadi Kota Layak Anak tingkat madya. (www. kompas.com, 31/07/2022)

Kasus penelantaran, pembuangan, kejahatan fisik, psikologis, dan jual beli anak juga masih sangat merajalela di Kota Surabaya, yang telah medapat predikat Kota Layak Anak kategori utama. Hal senada juga banyak terjadi di kota-kota yang telah berpredikat sebagai Kota Layak Anak.

Selain persoalan pada proses penilaian untuk memperoleh predikat tersebut, konsep Kota Layak Anak sendiri belum menyentuh akar penyebab permasalahan anak, yakni pandangan hidup sekuler-liberal. Bagaimana mungkin penindasan secara fisik, psikologis, seksual dan penelantaran pada anak bisa dihentikan, sementara gaya hidup bebas masih dibiarkan merajalela?

Sebagai contoh, fenonema Citayam Fashion Week yang tidak berfaedah dan membuka peluang kejahatan seksual, justru mendapat banyak dukungan, termasuk dari pejabat dan pemerintah. Penyebaran konten yang mengandung pornoaksi dan pornografi terjadi secara masif di berbagai media, terutama media sosial. Pada saat yang sama, pemerintah malah mengesahkan kebijakan yang menjamin kebebasan bertingkah laku, seperti UU TPKS (Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual). Padahal, undang-undang ini justru akan melegalkan seks bebas dan bisa menjadi pangkal kejahatan seksual dengan hanya menggantungkan pada kata “sexual consent”.

Anak Butuh Tempat Tinggal yang Aman, Bukan Sekadar Predikat

Anak merupakan aset penerus bangsa yang harus dilindungi. Anak adalah amanah bagi keluarga, sekolah, masyarakat maupun negara. Siapa saja yang mendapat amanah, maka ia akan dimintai pertanggungjawaban atas amanahnya kelak di akhirat. Dengan demikian, amanah anak ini wajib dijaga dengan mengerahkan segala dan upaya.

Dalam Islam, penjagaan terhadap anak ini dapat berlaku efektif dengan kerja sama berbagai pihak. Pertama, keluarga sebagai tempat tinggal yang terdekat dengan anak, bertanggung jawab untuk memastikan kesehatan fisik, psikis, dan pemberian rasa aman dan nyaman. Tanggung jawab ini telah dijelaskan secara lengkap dalam aturan Islam, karena itulah keluarga pun hendaknya memiliki pemahaman terhadap syariat. Tanpa pemahaman yang baik terhadap syariat, keluarga akan banyak mengabaikan aturan penjaminan terhadap anak. Misalnya, orang tua yang seharusnya melindungi dan berkewajiban untuk memberikan pengasuhan terbaik, justru mengabaikan dan melakukan kekerasan pada anak. Kedua, sekolah dan lingkungan masyarakat juga memiliki tanggung jawab untuk memberikan perlindungan pada anak dengan mengajarkan konsep hidup bersama yang penuh kasih sayang. Sekolah dapat secara formal mengajarkan syariat kepada anak sehingga mereka memahami kewajiban dan pertanggungjawaban atas setiap amal mereka. Sedangkan masyarakat bisa menjadi tempat belajar informal yang dapat menjadi teladan bagi anak untuk menerapkan ukhuwah dan amar makruf nahi munkar. Ketiga, negara menerapkan syariat Islam, memberlakukan sanksi bagi yang melanggar syariat serta mengontrol media agar tidak menyebarkan pemahaman yang memicu kekerasan seksual dan kejahatan lain pada anak. Bahkan, negara juga bertanggung jawab untuk menyejahterakan rakyat, sehingga mereka tidak perlu mengeksploitasi anak untuk kepentingan ekonomi.

Dengan sinergi ketiga pihak inilah, akan terwujud tempat yang aman dan nyaman untuk anak-anak kita, generasi harapan umat yang akan meneruskan estafet peradaban. Namun, kerja sama ini tak akan tercipta, jika keluarga, sekolah dan masyarakat, serta negara tidak bersatu padu menerapkan syariat Islam secara menyeluruh, Karena itulah, mari berjuang bersama untuk menegakkan Islam kaffah, demi terwujudnya negara yang benar-benar layak anak. Wallahu a’lam.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Tatik Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Parpol Menolak Kenaikan BBM, demi Rakyat?
Next
Kematian Mahsa Amini dan Framing Negatif terhadap Syariat Islam
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram