"Sayang, 35 tahun pengabdian membangun negeri, mendidik dan mengajarkan anak-anak generasi penerus bangsa, rupanya tidak bernilai di tinggi di mata pengelola negara. Gaji para pensiunan ini dianggap beban yang memberatkan keuangan negara. Nilai mereka hanyalah sebatas pekerja yang diberi upah ketika masih produktif."
Oleh. Rery Kurniawati Danu Iswanto
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com- Bapakku seorang pensiunan guru sekolah dasar. Beliau bertugas sejak peta Indonesia belum terbaca di Google Map . Jauh sebelum generasi seusia beliau saat itu hanya mengerti tentang bagaimana cara mengabdi pada negara. Beliau dikirim dari tanah kelahirannya dari Kota Yogyakarta menuju pedalaman Lebak, Banten, meninggalkan masa mudanya bersama para guru muda lainnya, untuk mengabdi di sudut-sudut negeri. Di tahun 1970an.
Sungguh kala itu daerah tempat mereka bertugas masih berupa hutan belantara yang jauh dari peradaban modern. Hanya ada jalan setapak menuju kota tempat mereka menerima gaji. Tak ada kendaraan umum apatah lagi kendaraan pribadi. Perjalanan mengambil gaji bahkan dilakukan dengan berjalan kaki menyusuri jalan setapak penuh onak dan duri. Sungguh, gambaran jalan ini bukan kiasan bukan pula metafora. Tapi begitulah kenyataannya. Bukan pengabdian yang mudah bukan?
Saat ini, bapak dan guru-guru lain satu angkatan, telah habis masa tugasnya. Purna sudah pengabdian selama kurang lebih 35-40 tahun. Sejak usia menjelang 20an hingga purna tugas di usia 60 tahun. Kini, mereka telah menyandang gelar pensiunan. Bahkan beberapa di antaranya telah menyandang gelar almarhum dan almarhumah.
Sayang, 35 tahun pengabdian membangun negeri, mendidik dan mengajarkan anak-anak generasi penerus bangsa, rupanya tidak bernilai di tinggi di mata pengelola negara. Gaji para pensiunan ini dianggap beban yang memberatkan keuangan negara. Nilai mereka hanyalah sebatas pekerja yang diberi upah ketika masih produktif. Setidaknya begitulah anggapan pada pengelola negara kepada pensiunan, sebagaimana diberitakan di finance.detik.com (28/08/22).
Tapi begitulah watak para pengelola negara dalam cara pandang kapitalis. Segala sesuatu hanya dipandang dari kemanfaatan materi yang didapatkan. Bagi mereka, para pensiunan yang sudah tidak produktif bekerja, tidak layak menerima uang negara. Padahal dalam sistem penggajian yang negara terapkan, dana pensiunan sejatinya berasal dari gaji bulanan yang dipotong ketika masih aktif bertugas dan dikelola oleh negara untuk digunakan di masa pensiun. Jika demikian, bukankah bukan beban lagi membiayai para pensiunan ini? Toh, dananya sudah disiapkan jauh hari. Tapi lagi-lagi watak para kapitalis, dana-dana yang terkumpul itu bisa jadi dikelola atau lebih tepatnya "dimanfaatkan" untuk hal lain yang lebih menguntungkan. Entah untuk apa? Karena tidak bisa juga pengelolaan keuangan pensiunan ini secara transparan dilihat atau dilaporkan pada para penerimanya.
Sungguh cara pandang ini sangat berbeda jika menggunakan kacamata Islam. Dalam Islam, jangankan pensiunan yang sudah mengabdi puluhan tahun pada negara, rakyat jelata yang tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan hidupnya akan dijamin pemenuhan kebutuhan hidupnya tersebut oleh negara. Misalnya orang tua renta yang tidak punya keluarga yang menafkahi, pekerja yang tidak mampu lagi bekerja karena sakit atau mengalami musibah, bahkan termasuk anak-anak, wanita dan janda yang tidak mempunyai keluarga yang menafkahi, maka negaralah yang menjamin nafkah mereka. Tanpa syarat, tidak dianggap sebagai beban, karena memenuhi kebutuhan hidup golongan orang-orang ini memang sudah menjadi tugas dan kewajiban negara.
Tapi semua golongan itu bukankah tidak produktif secara ekonomi? Bagaimana bisa negara membiayai mereka, sedangkan tidak ada manfaat materi yang diperoleh dari mereka? Lagi-lagi jika dipandang dari kacamata sistem ekonomi kapitalis maka hal itu tidak akan terlihat dan sulit dicari solusinya. Akan tetapi, dalam sistem ekonomi Islam, mudah saja menyelesaikan masalah ini. Islam mengatur bahwa semua kekayaan yang berasal dari sumber daya alam yang kemanfaatannya bisa dipergunakan untuk hajat hidup orang banyak, maka hanya negara yang boleh menguasai dan pengelolaannya pun wajib dilakukan oleh negara. Dari satu sumber keuangan negara ini saja, tak terhitung berapa nilai ekonomi yang bisa diperoleh. Belum lagi berbagai sumber keuangan negara lainnya, dari perdagangan, pariwisata, dan lain sebagainya.
Sayangnya, dalam sistem ekonomi yang dijalankan saat ini, aset-aset sumber daya alam justru dikuasai para kapitalis itu sendiri. Negara tidak berdaulat mengelola asetnya. Sehingga yang terjadi kemudian, masyarakat yang seharusnya menikmati hasil dari pengelolaan sumber daya alam ini masih saja tidak tercukupi kebutuhan hidupnya. Akhirnya rakyat jelata, termasuk para pensiunan, hanya menjadi beban bagi keuangan negara. Kesejahteraan bagi mereka hanyalah jauh panggang daripada api. Yang terjadi kemudian, tidak sedikit di antara para pensiunan, jika ingin memenuhi kebutuhan hidupnya, maka mereka tetap harus bekerja. Bekerja di masa tuanya, dengan pekerjaan seadanya, berbeda dengan pekerjaan di masa tugasnya dulu. Begitu mirisnya gambaran pensiunan dalam sistem yang semua hal didasarkan pada kemanfaatan secara materi belaka, ialah sistem kapitalis.
Kesejahteraan sejati sungguh hanya akan ada dalam sistem yang memanusiakan manusia. Sistem yang menerapkan aturan dari Sang Pencipta yang sudah terbukti mampu membangun peradaban manusia yang sejahtera selama ribuan tahun lamanya, ialah sistem Islam.
Semoga para pemimpin negeri ini mengerti dan memahami bagaimana para pemimpin dalam sistem Islam bekerja dan begitu setia melayani rakyatnya. Sebagaimana hadis Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, " Siapa saja yang diangkat oleh Allah untuk memimpin rakyatnya, kemudian ia tidak mencurahkan kesetiaannya, maka Allah haramkan bagi dirinya surga ." Wallahu alam bishowwab.[]