”Hal ini menunjukkan bahwa negara di bawah asuhan kapitalisme tidak mampu mengelola pertambangan dengan baik. Kedudukan negara melalui BUMN hanya disejajarkan dengan para investor swasta lokal maupun asing. Akibatnya, sektor pertambangan tidak memberikan kontribusi maksimal terhadap pemasukan negara.”
Oleh. Sartinah
(Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Bayang-bayang krisis energi tengah menyambangi Eropa. Beberapa negara di Benua Biru tersebut bahkan menyatakan telah mengalami krisis energi, terutama gas yang mengancam persediaan listrik di sana. Krisis energi Eropa yang berdampingan dengan datangnya musim dingin makin parah setelah Rusia kian membatasi ekspor gas alam cair mereka.
Negara-negara yang mengeklaim telah mengalami krisis energi yaitu Swedia, Jerman, Belanda, Austria, dan Denmark. Beberapa negara bahkan telah menyalakan penggunaan darurat pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Belanda misalnya, telah mencabut pembatasan operasional pembangkit tenaga batu baranya. Padahal, sebelumnya negara itu telah membatasi produksi pembangkit hanya sepertiga dari jumlah kapasitas demi menekan emisi karbon dioksida. Selain Belanda, Swedia dan Austria pun sebelumnya telah menyetop penggunaan batu bara sebagai sumber energi mereka.
Krisis energi yang melanda Benua Biru tersebut ditengarai sebagai buntut dari sanksi embargo minyak Uni Eropa terhadap Rusia. Sehingga Negeri Beruang Merah tersebut akan menghentikan pasokan minyak ke Benua Biru (Eropa), yang selama ini digunakan untuk menggerakkan denyut ekonomi Eropa. Pasokan minyak tersebut digunakan untuk pembangkit listrik, pabrik, dan menjaga rumah-rumah agar tetap hangat selama musim dingin. Karena itu, negara-negara Eropa yang sebelumnya telah menyetop maupun menghentikan penggunaan batu bara sebagai sumber energinya, kini kembali melirik sumber energi tersebut sebagai pilihan. Dan salah satu negara yang menjadi incaran untuk memasok batu bara negara mereka adalah Indonesia.
Lantas, bagaimana respons pemerintah terkait adanya permintaan ekspor batu bara ke Eropa? Siapa sejatinya yang lebih diuntungkan dengan meningkatnya ekspor batu bara? Bagaimana pula status kepemilikan dan pengelolaan batu bara dalam Islam?
Ekspor Melonjak, Waspadai Pasokan Domestik
Krisis energi yang melanda Eropa dianggap oleh sebagian pihak menjadi berkah bagi Indonesia. Pasalnya, batu bara Indonesia telah dilirik negara-negara Eropa untuk menambal pasokan energi mereka yang tengah sekarat. Gayung pun bersambut, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) sudah merestui ekspor batu bara ke Eropa. Negara yang menjadi tujuan ekspor pemerintah di antaranya adalah Polandia dan Jerman. Bahkan, Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan, Didi Sumedi mengatakan, ekspor komoditas batu bara sudah mulai berlangsung. (Cnbcindonesia, 04/07/2022)
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), disebutkan bahwa nilai ekspor Indonesia ke Uni Eropa pada kuartal II tahun 2022 mencapai US$191,2 juta, meningkat 143,72 persen dibanding kuartal sebelumnya yang hanya senilai US$78,4 juta (Katadata.co.id, 15/07/2022). Sementara itu, pemerintah mengatakan bahwa kegiatan jual beli batu bara dengan negara-negara Eropa murni dilakukan secara bussines to bussines (B to B). Artinya, perusahaan penyedia batu bara berorientasi mendukung sesama perusahaan lain melalui produk layanan yang dimiliki, bukan untuk konsumen individual.
Di tengah lonjakan ekspor batu bara Indonesia ke Uni Eropa, pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmi Radhi, meminta pemerintah untuk mengawasi perusahaan batu bara agar tidak melupakan kewajiban pasokan dalam negeri (domestic market obligation/DMO) dua puluh persen dari total produksi. Menurutnya, perusahaan seharusnya tetap mendahulukan kewajiban DMO batu bara, terutama untuk memenuhi kebutuhan pembangkit listrik PLN.
Pengusaha Untung, Rakyat Bingung
Melonjaknya permintaan batu bara dari Eropa tampaknya memberi angin segar bagi para pengusaha batu bara di negeri ini. Banyak di antara mereka yang lebih tertarik dengan mekanisme pasar bebas dan keuntungan yang lebih besar jika mengekspor batu baranya ke luar negeri, ketimbang harus memenuhi kewajiban DMO dalam negeri. Meski risikonya harus membayar penalti karena tidak memenuhi kewajiban tersebut.
Dari sudut pandang pengusaha kapitalis, hal ini tentu bisa dipahami karena tujuan mereka adalah_profit oriented._ Di sisi lain, terdapat disparitas harga yang tinggi antara DMO yang ditentukan pemerintah dengan harga internasional serta ketimpangan besaran denda atau penalti dengan harga pasar yang tinggi. Misalnya saja untuk batu bara dengan kalori 4.600, selisih pendapatan antara ekspor dengan penjualan ke PLN sebesar Rp190 miliar untuk setiap kapal vesses berkemampuan 70 metrik ton. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Wakil Sekretaris Jenderal Asosiasi Pemasok Batu Bara Indonesia (Aspebindo), Bhirawa Wicaksana.
Selain itu, ketimpangan penalti pun terjadi antara pengusaha yang berkontrak dengan PLN dan yang tidak. Besaran penalti untuk pengusaha yang berkontrak dengan PLN yakni sebesar US$188 per ton. Sedangkan untuk pengusaha yang tidak berkontrak dengan PLN hanya dikenakan penalti sebesar US$18 per ton, meskipun spesifikasi batu baranya sangat dibutuhkan PLN.
Berdasarkan fakta tersebut maka tidak heran jika para pengusaha lebih memilih melepas batu baranya ke pasar internasional yang lebih menjanjikan keuntungan, ketimbang memasoknya untuk PLN. Langkah para pengusaha tersebut sempat membuat PLN dilanda krisis pasokan batu bara. Imbasnya, pemerintah pernah mengeluarkan kebijakan melarang ekspor batu bara pada Januari 2022, kemudian membuka kembali pasar ekspor hingga saat ini.
Mirisnya, pihak yang paling terdampak dari tarik-ulur kebijakan pemerintah adalah rakyat. Pasalnya, jika pasokan batu bara dalam negeri mengalami krisis, maka hal ini dapat berimbas pada mahalnya harga listrik yang harus dibayarkan, baik oleh industri-industri lokal maupun masyarakat pada umumnya. Akibatnya, biaya produksi akan meningkat dan kenaikan harga barang tak bisa terelakkan. Saat kenaikan harga terjadi, masyarakat cenderung tak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya secara maksimal. Dalam kondisi seperti ini, nyaris bisa dipastikan akan membuat penduduk miskin makin bertambah.
Liberalisasi Pertambangan
Penguasaan pertambangan oleh swasta lokal maupun asing berpangkal dari liberalisasi sektor pertambangan yang telah lama dianut negeri ini. Dalam banyak regulasi di sektor tersebut, tambang-tambang yang seharusnya dikelola oleh negara justru berpindah kepemilikan. Meski pemerintah turut mengelola melalui BUMN dan BUMD, namun komposisinya relatif kecil. Pada pertambangan batu bara misalnya, meski BUMN ikut mengelola, tetapi peran perusahaan-perusahaan swasta lebih menonjol.
Hal ini menunjukkan bahwa negara di bawah asuhan kapitalisme tidak mampu mengelola pertambangan dengan baik. Kedudukan negara melalui BUMN hanya disejajarkan dengan para investor swasta lokal maupun asing. Akibatnya, sektor pertambangan tidak memberikan kontribusi maksimal terhadap pemasukan negara. Negara malah mendapatkan pemasukan terbesarnya dari sektor pajak. Namun di sisi lain, para investor swasta yang banyak menguasai sektor pertambangan justru menikmati untung besar, terlebih jika harga batu bara di tingkat global melonjak.
Pengelolaan Tambang dalam Islam
Para fukaha di masa lampau telah banyak menjabarkan tentang pengelolaan sektor pertambangan. Penjelasan tersebut tentu mengacu pada syariat Islam. Sebab, hanya dengan bersandar pada syariatlah, pengelolaan tambang akan mendatangkan maslahat bagi seluruh rakyat. Islam dengan tegas menetapkan bahwa ada sejumlah sumber daya alam yang tidak boleh dimiliki oleh individu. Kepemilikannya adalah milik umat yang dikelola oleh negara untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat.
Islam pun memandang bahwa hak kepemilikan umum tidak bisa dialihkan kepada siapa pun. Kalaupun ada perusahaan atau individu yang ikut dalam pencarian, produksi, dan distribusi dari tambang tersebut, maka mereka hanya akan diberi upah sesuai kerjanya, istilahnya service contract. Bukan dengan model konsesi atau bagi hasil yang menunjukkan seolah-olah kontraktor adalah pemilik tambang.
Rincian tentang pengelolaan tambang salah satunya telah dijabarkan oleh Ibnu Qudamah. Beliau berpendapat bahwa semua barang tambang yang tampak (lahir), seperti batu bara, air, garam, sulfur, minyak bumi, celak, yakut, dan semisalnya adalah milik umum. Karenanya barang-barang tersebut tidak boleh dimiliki secara pribadi atau dikuasakan kepada siapa pun, meskipun tanah tersebut dihidupkan oleh orang tertentu.
Pasalnya, barang-barang tersebut terkait dengan kepentingan umum umat Islam, sehingga tidak boleh dihidupkan oleh pihak tertentu (untuk dikuasai), atau pemerintah menguasakan barang tersebut pada pihak lain. Contohnya, jika ada aliran air di jalan-jalan umat Islam yang dimiliki oleh pihak tertentu, padahal air tersebut sangat melimpah dan dibutuhkan, niscaya pihak tertentu itu akan melarang penggunaannya.
Adapun terkait tambang batiniah, yaitu yang tidak dapat dijangkau oleh masyarakat kecuali dengan suatu tindakan tertentu dan proses pemurnian, seperti tambang emas, besi, perak, timah, tembaga, kristal, dan pirus. Jika barang-barang tersebut terdapat di permukaan, maka tidak boleh dihidupkan (dikelola). Sedangkan jika keberadaannya tidak tampak lalu digali oleh seseorang atau pihak tertentu untuk menampakkannya, maka dia tidak boleh memilikinya. Hal ini berdasarkan pendapat paling menonjol dari mazhab Syafii dan Hambali.
Lebih rinci, Abdul Qodim Zallum dalam Kitab Al-Amwal fi Dawlah Al-Khilafah, menyebutkan bahwa barang-barang tambang merupakan bagian dari barang milik umum. Barang milik umum sendiri terbagi tiga, yakni:
Pertama, fasilitas umum yang menjadi kebutuhan hidup yang vital bagi masyarakat, seperti air, api (tambang yang menghasilkan api), dan padang rumput (hutan). Termasuk alat dan infrastruktur untuk memanfaatkan barang-barang tersebut, seperti alat pengeboran air, pembangkit listrik, dan saluran air. Hal ini sejalan dengan hadis Abu Dawud dan Ahmad, "Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api."
Kedua, objek yang secara alami menghalangi penguasaan individu yang terdiri dari jalan umum, sungai, laut, danau, selat, teluk, kanal, masjid, lapangan umum, dan infrastruktur yang terletak di jalanan umum seperti kereta api, tiang listrik, trem, saluran, serta pipa air.
Ketiga, barang tambang yang depositnya besar, baik yang ditambang secara terbuka (seperti batu bara, garam), maupun tertutup (seperti migas, besi, dan emas), serta peralatan yang digunakan untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi dikategorikan sebagai barang milik umum atau milik negara.
Karena itu, sektor pertambangan menjadi salah satu pos penerimaan Baitulmal yang masuk ke dalam pos penerimaan kepemilikan umum. Harta-harta yang termasuk dalam kepemilkan umum dikelola oleh negara dan hasilnya dipergunakan bagi kemaslahatan rakyat.
Khatimah
Demikianlah, Islam telah mengatur secara tegas pembagian kepemilikan, sehingga tidak akan ada ruang sedikit pun bagi para kapitalis dan oligarki politik untuk menguasai harta-harta milik umum. Khilafah akan memprioritaskan kebutuhan rakyatnya terlebih dahulu jika akan melakukan ekspor. Prinsip ini tentu tidak bisa diwujudkan oleh sistem cacat kapitalisme yang hanya memprioritaskan kepentingan segelintir orang, sedangkan rakyat hanya menerima mudaratnya.
Wallahu a'lam bi ash-shawab[]