"Kebijakan eks koruptor tak kehilangan hak untuk mencalonkan diri dalam kontestasi pemilu, misalnya. Kebijakan ini membuat para mantan koruptor tetap memiliki kehormatan di mata publik."
Oleh. Nurjanah Triani
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com- Permasalahan korupsi sudah menjadi penyakit laten dalam pemerintahan. Kerugian yang dialami negara pun tak tanggung-tanggung, di berbagai kasus penggelapan dana mencapai miliaran hingga triliunan. Tak lagi merisaukan dana yang entah habis ke mana, hukuman bagi para pelakunya justru terus mendapatkan keringanan. “Remisi koruptor jadi sorotan setelah 23 narapidana koruptor kini bebas bersyarat. Masa hukuman para koruptor ini menjadi lebih pendek karena dipotong remisi.” (news.detik.com, 7/9/22)
Rakyat seolah dibuat bingung, apa yang menjadi urgensi 23 narapidana dibebaskan bersyarat, di tengah hiruk pikuk kegaduhan masyarakat yang terjadi karena kenaikan BBM. Tak habis sampai di sana, para mantan koruptor ini pun tak kehilangan hak untuk mencalonkan diri dalam kontestasi politik. Seolah menjadi sambutan baik bagi para pemakan uang rakyat untuk duduk di singgasana kekuasaan. Lantas, ke mana larinya ketegasan hukum dalam menindak korupsi di sistem demokrasi? Akankah korupsi terus tumbuh asri menjadi penyakit laten yang tak bisa disembuhkan? Lalu, bagaimana cara Islam mematikan penyakit laten ini dengan syariat?
Demokrasi Habitat Korupsi
Kebijakan remisi yang baru-baru ini diputuskan untuk membebasbersyaratkan 23 narapidana, bukan lagi menjadi hal aneh untuk diprediksi sejak awal. Ketika uang dan jabatan menjadi harga mati suatu tujuan, maka terkonfirmasi sudah bahwa sistem politik demokrasi memang menjadi sarang terciptanya korupsi. Seperti kanker yang mengakar kuat. Sistem demokrasi tak memiliki upaya yang cukup kuat untuk memberantas korupsi. Sebab, budaya dan pelaku korupsi tak sendiri. Menggerayangi tubuh pemerintahan dan saling melindungi untuk mencari cara selamat. Keberadaan lembaga pemberantas korupsi pun seolah dibuat cacat teramputasi. Undang-undangnya terus direvisi, demi bisa menyesuaikan dengan kepentingan pribadi.https://narasipost.com/2022/09/14/mantan-koruptor-jadi-dewan-rakyat-bagaimana-nasib-masa-depan-negara/
Sistem demokrasi memberikan konsekuensi logis dalam perebutan tahta kekuasaan, maka jalannya dengan asas keuangan. Partai politik yang menjadi tunggangan, tak serta-merta memberikan kekuasaan dengan cuma-cuma. Ada harga yang harus dibayar untuk berlabuh di kursi kekuasaan. Take and give yang diberikan bukan hanya tentang materi semata, bisa janji-janji dan kepentingan, juga bisa berbentuk kebijakan ‘titipan’. Menjadi rahasia umum terkait tukar guling jabatan demi hasrat kekuasaan.
Dari hal tersebut, maka tak heran jika kebijakan yang lahir dari sistem demokrasi adalah kebijakan yang mengandung unsur manfaat bagi para pembuatnya. Kebijakan eks koruptor tak kehilangan hak untuk mencalonkan diri dalam kontestasi pemilu, misalnya. Kebijakan ini membuat para mantan koruptor tetap memiliki kehormatan di mata publik. Kembali berseliweran dalam spanduk-spanduk dan baliho yang tertulis janji-janji manis, bahkan setelah terang-terangan menjadi tersangka korupsi. Hal ini tak ayalnya membuat mereka tak merasa malu dan jera dalam melakukan kejahatannya. Sebab kebijakan negara dengan tangan terbuka kembali menerimanya untuk memegang amanah.
Sistem Peradilan Lemah
Kemauan politik sering terjegal oleh kepentingan pribadi para elite. Bak menegakkan benang basah, kasus penyelesaian korupsi melalui KPK pun terganjal kepentingan penguasa. Di antara banyak kasus yang belum terungkap di hadapan publik, yang telah menjadi tersangka sekalipun diadili dengan sistem peradilan yang lemah. Pembebasan bersyarat bagi 23 koruptor seolah menunjukkan wajah demokrasi yang begitu lemah di hadapan publik. Tanpa ada urgensi, para koruptor dibebaskan bersamaan. Berbeda dengan hukuman yang diterima rakyat wong cilik yang mencuri karena butuh dan terpaksa. Hukumannya bertahun-tahun dan tak ada remisi.
Sikap ramah yang ditunjukkan penguasa kepada koruptor jelas tak akan pernah membuat penyakit akut ini hilang dalam kehidupan bernegara. Sistem dan budaya yang membuat tenang para koruptor, seolah memiliki jaminan hidup ganda dari penguasa. Perlindungan lewat kebijakan sistem menjadi tameng para koruptor berlindung dari rasa malu di hadapan publik. Membuka pintu untuk mantan koruptor memiliki posisi di dalam pemerintahan sama saja seperti membiarkan maling masuk ke dalam rumah secara sukarela.https://narasipost.com/2021/11/25/hukuman-mati-bagi-koruptor-jargon-jantan-retorika-tanpa-bukti/
Jika semua itu terjadi, berarti kemauan politik lemah, ditambah dengan sistem hukum dan peradilan yang juga lemah. Alhasil, pemberantasan korupsi di negeri ini hanya tambal-sulam. Orang-orang yang ditunjuk untuk memberantas korupsi tak memiliki integritas. Bahkan mudah sekali dimanfaatkan untuk kepentingan politik.
Solusi Syar’i untuk Korupsi
Dalam Islam, kepemimpinan dan kekuasaan bukan sebatas urusan dunia, tetapi amanah yang mengikat pertanggungjawabannya di akhirat. Tanggung jawab tersebut bukan hanya kepada rakyat atau manusia, tetapi kepada Allah Swt.. Karena itu, sistem Islam disandarkan kepada akidah Islam yang memberikan solusi tak hanya saat dilanda masalah. Sistem Islam akan mencegah sedari dini manusia untuk memiliki niat korupsi dari awal. Dari sinilah, Islam memberikan solusi sistemis dan ideologis terkait pemberantasan korupsi. Ini merupakan keagungan dan keistimewaan Islam sebagai aturan sekaligus solusi dalam kehidupan.
Berikut langkah Islam dalam memberantas korupsi dan mencegahnya.
Menjadikan Islam sebagai Ideologi
Islam bukan sekadar agama. Bukan hanya mengatur ibadah spiritual dan ruhiyah saja. Tetapi juga mengatur kehidupan. Khususnya dalam memilih penguasa dan penjabat negara. Berbeda dengan demokrasi yang membuka peluang koruptor untuk menjabat, kepemimpinan negara dalam Islam diangkat berdasarkan rida dan pilihan rakyat untuk menjalankan pemerintahan sesuai dengan Al-Qur’an dan As-sunnah. Begitu pun pejabat yang diangkat untuk melaksanakan syariat Islam.
Pengangkatan kepala daerah dan pemilihan anggota Majelis Umat memiliki sifat berkualitas, amanah, dan tidak menggunakan biaya tinggi. Hal ini tentu akan menekan terjadinya korupsi, suap, dan lainnya. Meskipun demikian, akan tetap ada perangkat hukum untuk mengatasi berbagai kecurangan yang dilakukan pegawai negara. Tak sampai di sana, terdapat larangan keras untuk menerima harta ghulul, yaitu harta yang didapatkan dengan cara yang tidak diperkenankan syariat, baik dari harta negara maupun milik masyarakat.
Ketakwaan dan Zuhud
Ketakwaan menjadi syarat utama dalam pengangkatan pejabat atau pegai negara, selain syarat profesionalitas. Oleh karena itu, ketakwaan menjadi kontrol awal sebagai pencegah perbuatan maksiat. Ditambah dengan keimanan yang kuat, membuat para pejabat dalam melaksanakan tugasnya selalu merasa diawasi oleh Allah Swt..
Ketika takwa dibarengi dengan zuhud, maka manusia akan memandang rendah dunia dan qana’ah terhadap pemberian Allah. Para pejabat akan menjadikan amanahnya sebagai hujjah di hadapan Allah bahwa ia telah berkontribusi dalam menerapkan syariat di muka bumi, sarana untuk ‘izzul islam wal muslimin.Tidak lagi menjadikan dunia sebagai tujuan, dan pikiran untuk korupsi akan jauh dari benaknya.
Politik Ri’ayah
Kembali kepada politik itu sendiri dalam pandangan Islam, yaitu untuk mengurusi kepentingan umat dengan sepenuh hati. Tak tunduk pada kepentingan pribadi, oligarki dan kerakusan para elit. Karena itu, untuk menjamin loyalitas dan totalitas dalam mengurusi umat, pemerintahan Islam memberikan gaji yang layak untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Gaji cukup untuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Terlebih dalam pemerintahan Islam, biaya hidup akan jauh lebih murah karena politik ekonomi negara adalah untuk menjamin kebutuhan rakyat. Kebutuhan kolektif pun akan digratiskan oleh pemerintah, seperti pendidikan, keamanan, jalan dan kesehatan.
Calon pejabat negara akan dihitung jumlah kekayaannya sebelum menjabat. Selanjutnya, harta kekayaan saat dan setelah menjabat pun akan dihitung dan dilihat apakah sesuai ataukah ada penambahan yang signifikan yang mencurigakan. Jika ada penambahan yang meragukan, maka akan diverifikasi penambahan itu diperoleh secara syar’i atau tidak.
Sanksi Tegas dan Efek Jera
Sanksi tegas dalam sistem Islam akan memberikan efek jera bagi para pelakunya. Tujuannya agar menjadi pencegahan bagi siapa saja yang memiliki niat untuk melakukan hal yang sama. Karena itu, hukuman bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk, hingga hukuman mati.
Masyarakat tentu merindukan pemberantasan korupsi yang tak pandang bulu. Tak ada lagi cerita hukuman koruptor lebih singkat daripada hukuman pencuri ayam. Tak ada lagi cerita adanya koruptor yang malah berbangga diri duduk di singgana pemerintahan setelah terciduk menggelapkan uang. Karena itu, diperlukan perubahan menuju ke arah Islam dan sistem Islam dalam memberantas korupsi. Upaya inilah yang membutuhkan kesungguhan tekad dan komitmen untuk mewujudkan sistem pemerintahan Islam (Khilafah) yang akan menerapkan syariat kaffah. Insya Allah.[]