Ketika Hakim Ikut Korupsi

"Ketika para hakim melakukan korupsi, publik terenyak. Lembaga yang menjadi benteng keadilan ternyata rentan dimasuki virus korupsi. Yang tidak disadari masyarakat justru para hakim adalah pihak yang berpeluang besar menjadi koruptor."

Oleh. Nisrina Nitisastro
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com- Seorang Hakim Agung, Sudrajad Dimyati, tertangkap tangan KPK pada 23 September 2022. Ia diduga menerima suap dalam pengurusan suatu perkara di Mahkamah Agung. Sebelumnya, pada 20 Januari 2022 KPK menetapkan hakim PN Surabaya Itong Isnaini Hidayat sebagai tersangka dugaan suap pengurusan perkara di PN Surabaya.

Menurut Kompas.com, hakim pertama yang terseret korupsi adalah hakim PN Jakarta Selatan, Herman Allositandi pada 2006. Ia diganjar 4,5 tahun penjara dan denda Rp200 juta. Pada 2 Oktober 2013, Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar, dicokok KPK melalui OTT. Ia dijatuhi pidana penjara seumur hidup. Di 25 Januari 2017, KPK juga menangkap Hakim MK, Patrialis Akbar. Ia dijatuhi 8 tahun penjara dan denda Rp300 juta. Selain para hakim di atas, berdasarkan data ICW, sejumlah 20 orang hakim terjerat kasus korupsi di 2012 hingga 2018.(Kompas, 23/9/2022)

Buah Iklim Kapitalis

Ternyata korupsi juga dilakukan para hakim. Dari data di atas, jumlahnya tak sedikit. Ketika para hakim melakukan korupsi, publik terenyak. Lembaga yang menjadi benteng keadilan ternyata rentan dimasuki virus korupsi. Yang tidak disadari masyarakat justru para hakim adalah pihak yang berpeluang besar menjadi koruptor.

Korupsi di lingkungan pengadilan bisa jadi dimulai dari inisiatif orang yang berperkara, bisa juga karena adanya permintaan dari hakim atau pejabat lain di pengadilan. Modus yang sering digunakan adalah dengan memohon dilakukannya pengaturan putusan sesuai pesanan atau membocorkan naskah putusan yang akan dibacakan. Modus inilah yang terjadi dalam kasus Hakim Agung Dimyati.

Di lingkup Mahkamah Konstitusi, kondisinya bisa lebih fantastis lagi. Mahkamah Konstiusi adalah benteng terakhir seseorang mencari keadilan. Mahkamah ini juga menangani sengketa pemilu dan pilkada se-Indonesia. Putusan MK bersifat final. Berbagai sengketa pemilu dan pilkada diputus di MK, membuat hakim MK selalu dikejar-kejar oleh pihak beperkara. Tambahan lagi, putusan MK diambil dengan proporsional suara terbanyak. Celah untuk terjadi korupsi pun terbuka lebar. Lembaga peradilan juga rentan dititipi orang partai. Masuknya utusan parpol tertentu ke dalam lembaga akan mengurangi independensi hakim dan menurunkan kualitas putusan mereka.https://narasipost.com/2021/06/26/diskon-vonis-bukti-bobroknya-peradilan-kapitalisme/

Sulit bagi kita untuk mengatakan bahwa masalah kesejahteraan adalah penyebab para hakim melakukan korupsi. Dirilis Detiknews (23/9/2022), saat ini ketua MA dan MK mendapat penghasilan Rp121 juta per bulan. Sedangkan wakilnya mendapat Rp82 juta. Hakim Agung dan Hakim Konstitusi mendapat Rp72 juta per bulan. Itu belum termasuk tunjangan yang nilainya bisa mencapai Rp100 juta per bulan dan honor dari tiap perkara yang ditangani.

Integritas adalah permasalahan utama. Seorang hakim yang memiliki integritas tinggi dan memadai tidak akan mudah goyah. Integritas para hakim selain ditentukan standar rekrutmen juga dipengaruhi efektivitas pengawasan. Sejauh ini, tidak ada mekanisme pengawasan tertentu terhadap para hakim. Pengawasan hanya dilakukan dari dalam tubuh MA, itu pun hanya menyangkut kode etik. Sidang kode etik tentu saja hanya memberikan sanksi ringan, biasanya bersifat administratif. Adapun terkait pengawasan terhadap tindak pidana yang dilakukan hakim, MA tidak memiliki mekanismenya.

Pengawasan yang lemah membuat para hakim mudah bertindak semau mereka. Padahal korupsi yang dilakukan hakim pastilah tidak dilakukan seorang diri, ada keterlibatan pihak lain. Dalam kasus Dimyati misalnya, tak tanggung-tanggung KPK menyeret juga sembilan orang lainnya. Enam di antaranya adalah hakim dan ASN di lingkungan MA. Artinya, perilaku korup di lembaga ini bekerja secara sistemis.

Keprihatinan akan kondisi para hakim kita tak dapat dilepaskan dari kondisi Indonesia secara umum. Di negeri ini, tidak ada lembaga negara yang steril dari korupsi. Korupsi sudah umum dilakukan. Berharap para hakim senantiasa bersih di tengah sistem yang koruptif sama saja seperti menunggu Godot.

Sistem kapitalistik yang menjadi landasan penyelenggaraan negara membuat jual-beli perkara di pengadilan menjadi hal yang biasa. Mafia peradilan sejak dulu ada dan terus menggurita, mulai dari tingkat pengadilan negeri hingga mahkamah di Jakarta. Para pelakunya tak dapat dipisahkan dari para polisi korup, pengacara curang, jaksa manipulatif, bahkan warga negara bermental kriminal. Sungguh kerusakan yang sistemis.

Qadhi (Hakim) dalam Sistem Islam

Dalam Islam, ketakwaan dan akuntabilitas hakim adalah harga mati. Dua hal inilah yang akan melahirkan sosok hakim yang berintegritas tinggi. Empat belas abad yang lalu Rasulullah saw. telah mengabarkan kepada kita:

عَنِ ابنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيْهِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: القُضَاةُ ثَلاَثَةٌ: قَاضٍ فِى الْجَنَّةِ وَقَاضِيَانِ فِى النَّارِ قَاضٍ عَرَفَ الْحَقَّ فَقَضَى بِهِ فَهُوَ فِى الْجَنَّةِ وَقَاضٍ عَرَفَ الحَقَّ فَحَكَمَ بِخِلاَفِهِ فَهُوَ فِى النَّارِ وَقَاضٍ قَضَى عَلَى جَهْلٍ فَهُوَ فِى النَّارِ. (رواه أبو داود)
“Dari Ibnu Buraidah dari bapaknya dari Nabi saw., beliau bersabda, “Hakim ada tiga macam. Satu di surga dan dua di neraka. Hakim yang mengetahui kebenaran dan menetapkan hukum berdasarkan kebenaran itu maka ia masuk surga, hakim yang mengetahui kebenaran dan menetapkan hukum bertentangan dengan kebenaran ia masuk neraka, dan hakim yang menetapkan hukum dengan kebodohannya ia masuk neraka.” (HR. Abu Dawud)

Berdasarkan hadis ini, seorang hakim diancam dengan hukuman siksa neraka manakala ia memvonis tidak adil dan tanpa ilmu (bodoh). Kesadaran akan adanya hubungan dengan Sang Pencipta, Allah, menjadi pemandu hakim dalam memutus perkara. Hal ini dimungkinkan karena para hakim dalam sistem Islam memiliki posisi istimewa. Mereka adalah orang yang menerapkan hukum syariat di tengah rakyat yang bersengketa. Untuk itu, mereka haruslah orang-orang yang memiliki pemahaman agama yang baik (faqih fid-diin). Takwa dan akuntabel adalah dua hal yang tak boleh dipisahkan dari diri seorang hakim.

Proses peradilan dalam Islam dilakukan secara cepat, murah, dan sederhana. Islam tidak mengenal proses peradilan berjenjang. Putusan seorang hakim menjadi hukum syariat yang mengikat bagi para pihak. Putusan tersebut tidak dapat dibanding ke tingkat peradilan yang lebih tinggi, karena Islam tidak mengenal mahkamah banding dan kasasi. Cepat dan sederhananya proses peradilan ini akan memperkecil kemungkinan terjadinya sogok-menyogok dalam penyelesaian perkara. Sebagai gambaran, yang seringkali menyogok hakim di Indonesia adalah justru pihak yang menang ketika berperkara. Mereka merasa perlu menjamin putusan hakim tidak berubah saat maju ke tingkat banding atau kasasi.

Adanya kriteria faqih fid-diin—bahkan harus mencapai taraf mujtahid bagi hakim Mahkamah Mazhalim (semacam PTUN)—membuat rekrutmen hakim menjadi selektif. Tidak sembarang orang dapat menduduki posisi ini. Khalifah memiliki wewenang absolut dalam memilih hakim, namun rakyat tetap dapat mengawal pelaksanaannya. Bandingkan dengan peristiwa pengangkatan Patrialis Akbar di masa SBY, misalnya. Walau banyak anggota masyarakat meragukan kualitasnya, toh SBY tetap mengangkatnya.
Pengawasan terhadap hakim dilakukan langsung oleh rakyat melalui mekanisme muhasabah lil hukkam (mengingatkan penguasa) dan mekanisme amar makruf nahi munkar. Rakyat juga dapat mengajukan pandangannya melalui para wakilnya di Majelis Umat. Pengaduan rakyat tentang aparat negara yang tidak cakap bersifat mengikat bagi khalifah. Khalifah wajib memberhentikan aparat tersebut. Selain itu, adanya Mahkamah Mazhalim di dalam sistem Islam membatasi hakim dari bertindak sewenang-wenang. Pengawasan ini meliputi, baik kode etik maupun tindak pidana kriminal. Tidak ada perbedaan di antara keduanya karena baik pelanggaran kode etik maupun tindak kriminal adalah pelanggaran terhadap hukum syariat yang harus diadili dan diberi sanksi tegas.https://narasipost.com/2021/07/21/keadilan-dalam-timbangan-kapitalis/

Hukuman yang dijatuhkan kepada hakim yang melakukan korupsi berbeda dengan hukuman tindak pencurian biasa. Perbedaan ini dikarenakan adanya unsur dalam korupsi yang tidak terdapat dalam pencurian, yaitu unsur kekuasan atau wewenang yang disalahgunakan (abuse of power). Dalam pencurian yang sudah mencapai kadar seperempat dinar pelakunya dihukum potong tangan. Adanya unsur penyalahgunaan wewenang ini menjadikan korupsi tergolong perkara ta’zir, suatu perkara yang keputusan hukumnya diserahkan sepenuhnya kepada pertimbangan qadhi, dalam hal ini Qadhi Mazhalim.

Qadhi Mazhalim akan menilai seobjektif mungkin apakah seluruh unsur korupsi sudah terpenuhi dan terbukti dalam sidang pengadilan. Di tahap ini, Qadhi wajib hanya mempertimbangkan apa yang diperoleh dalam persidangan dan menyingkirkan segara unsur subjektivitas. Pertimbangan lain selain terpenuhinya “delik” harus dihilangkan.

Jika Qadhi mendapati pelaku secara sah dan meyakinkan telah melakukan korupsi maka ia dapat menjatuhkan vonis dengan berbagai pertimbangan. Di saat inilah qadhi dalam peradilan ta’zir boleh mempergunakan nurani dan subjektivitasnya. Mengingat pelaku adalah seorang penegak hukum, Qadhi dapat saja menjatuhkan hukuman dengan pemberatan. Ia juga dapat menjatuhkan hukuman maksimal berupa hukuman mati. Vonis yang dijatuhkan seorang qadhi dalam sistem Islam harus mempertimbangkan fungsi jawazir dan jawabir. Qadhi harus berupaya agar vonis yang dijatuhkannya mampu mencegah penegak hukum lain melakukan tindak pidana korupsi.

Khatimah

Keadilan adalah barang langka di dalam sistem yang menghamba pada kenikmatan dunia. Bahkan para penegak keadilan pun berlaku zalim dan sewenang-wenang. Kita tidak dapat memisahkan habbit korupsi dari sistem hukum yang diberlakukan di negeri ini. Terbukti, tidak adanya keyakinan bahwa hukum yang mereka terapkan berasal dari Sang Pencipta membuat para hakim merasa luput dari pengamatan dan hisab.

Profesi apa pun, jika dilaksanakan di bawah komando ketakwaan dan berada di dalam sistem yang paripurna akan menghasilkan etos kerja yang baik dan kredibilitas yang mumpuni. Jika kita ingin memiliki aparat penegak hukum yang demikian, terlebih dulu kita mesti mengadakan sistem yang baik, yaitu sistem Islam yang sempurna. Sedangkan bagi para hakim, ada baiknya mereka merenungi sabda Rasulullah kepada Abu Dzar yang meminta suatu jabatan: “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau lemah dan sesungguhnya jabatan adalah amanah. Jabatan adalah kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat, kecuali bagi orang yang mengambilnya dengan hak dan menunaikannya (dengan sebaik-baiknya),” (H.R. Muslim). []

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Nisrina Nitisastro Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Konversi Kompor Gas ke Induksi, Kebijakan Kapitalistik Sengsarakan Rakyat
Next
Hacker Bjorka dalam Incaran, Kasus Sambo Dilupakan?
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle

You cannot copy content of this page

linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram