Joget Asyik di Bakal Masjid, Bukti Sekularisme Mendarah Daging

”Seorang intelektual dikenal dengan tingginya ilmu mereka. Kharisma para intelektual akan terpancar saat mereka bersikap bijak dan sopan, bukan berlenggak-lenggok di depan umum.”

Oleh. Novia Darwati, S.Pd.
(Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban, Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com- “Tak oyak’o, aku yo ora mampu. Mung sak kuatku mencintaimu…” Itulah sepenggal lirik lagu Ojo Dibandingke yang sayup-sayup terdengar dinyanyikan bersama-sama oleh sebagian mahasiswa baru UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember sembari berjoget asyik. Video amatir yang merekam sebagian aksi joget bareng tersebut langsung viral di jagat maya. Komentar pro-kontra membanjirinya. Yang paling lantang terdengar adalah komentar kontra dikarenakan aksi jogetan tersebut dilakukan di masjid. Netizen menganggap apa yang dilakukan para mahasiswa tersebut merupakan salah satu tindak pelecehan agama.

Tak ayal viralnya video itu membuat pihak Universitas mau tak mau memberikan klarifikasi. Ketua panitia pelaksana kegiatan Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK) Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq (UIN KHAS) Jember, Saihan menyatakan bahwa meski ia tidak membenarkan aksi joget tersebut, namun kejadian itu terjadi di bakal masjid, bukan masjid. Pada saat itu kegiatan PBAK telah selesai, akan tetapi panitia meminta agar peserta tidak bubar sebelum jam 16.00. Untuk mengulur waktu, mereka melakukan yel-yel dan lain sebagainya. Sampai akhirnya ada yang izin untuk menyetel musik, lalu diizinkan. Ternyata musik yang disetel adalah lagu “Ojo Dibandingke” yang akhirnya menarik perhatian sebagian mahasiswa baru di tempat itu untuk berjoget ria. Saat kondisi tidak lagi tertib, panitia langsung segera berusaha untuk menertibkannya.

Krisis Identitas Akibat Sekularisme yang Mengakar

Terlepas dari tempat kejadian perkaranya masih berupa bakal masjid, bukan masjid yang sudah digunakan, namun kejadian ini telah menunjukkan betapa kaum muslimin pada umumnya dan intelektual muslim pada khususnya telah mengalami krisis identitas sebab sebenarnya tidak hanya tempat jogetnya saja yang seharusnya dipermasalahkan, namun juga aktivitasnya.

Hukum asal menari menurut sebagian ulama adalah mubah dan sebagian yang lain adalah makruh. Imam An-Nawawi menyebutkan, “Dan tidak haram ar-raqsh (tarian) kecuali jika terdapat goyangan patah seperti perilaku bencong”. Sedangkan Asy-Syekh Al-Faqih Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin mengatakan, “Berjoget/menari hukum asalnya makruh. Namun jika dilakukan dengan cara yang nyeleneh atau meniru orang kafir maka menjadi haram.” (Liqaa Baabil Maftuh, 41/18). Dan sebagaimana yang tampak dari kronologi kejadian aksi joget di UIN KHAS, mereka berjoget atau menari diiringi dengan lagu yang tidak Islami. Oleh karena itu maka berjoget yang diiringi lagu nonislami sebagaimana yang terjadi di UIN KHAS jatuh hukumnya menjadi haram. Menyanyi, berjoget, dan yang semisalnya di khalayak ramai dengan lantunan lagu serta musik yang tidak Islami hukumnya adalah haram. Jadi seharusnya yang dipermasalahkan tidak hanya sekadar mereka berjoget di bakal masjid saja, sebab mereka adalah muslim. Sayangnya sekularisme telah mendarah daging, sebagian syariat Allah Swt. dipahami, sebagian yang lainnya tidak dipahami atau bahkan sengaja diabaikan. Saat dihadapkan dengan aktivitas berjoget, menyanyi, dan yang semisalnya, mereka tak mengingat jati diri mereka sebagai seorang muslim.

Selain bisa menurunkan kehormatan dan harga diri sebagai seorang muslim yang seharusnya menjaga akhlakul karimah, berjoget di khalayak ramai juga telah menurunkan kehormatan sebagai intelektual. Seorang intelektual dikenal dengan tingginya ilmu mereka. Kharisma para intelektual akan terpancar saat mereka bersikap bijak dan sopan, bukan berlenggak-lenggok di depan umum. Oleh karena itu aksi joget asyik mahasiswa UIN KHAS tidak selayaknya dilakukan.

Tak jarang orang zaman sekarang menganggap bernyanyi dan berjoget termasuk bentuk dari refreshing di tengah-tengah penatnya aktivitas sehari-hari. Hal ini tidak terkecuali terjadi pada institusi-institusi resmi semisal perguruan tinggi. Pekerjaan yang menuntut mereka untuk bersikap formal dirasakan sebagai sesuatu yang membuat penat, sehingga mereka seolah mencoba mengimbanginya dengan hiburan. Ini menunjukkan betapa mengakarnya sekularisme di dalam benak dan hati masyarakat. Mereka lupa bahwa hiburan bagi seorang muslim tidaklah demikian. Mereka lupa bahwa kesenangan yang hakiki hanya bisa didapat saat kaki telah menginjak surga. Jika seorang muslim tidak sekuler, tidak ada rasa galau hidup tanpa joget dan lagu, tidak ada rasa resah hidup tanpa berdendang. Jika seorang muslim tidak sekuler, ia akan memanfaatkan waktu luang dan istirahatnya untuk mengingat Allah serta mendekati-Nya baik itu dengan berzikir, salat sunah, saling membicarakan tentang ilmu Islam, dan sebagainya. Mereka tidak akan berjoget di khalayak umum apalagi tempat ibadah.

Di zaman dulu, zaman di mana Islam berada pada masa keemasannya yakni saat sistem pemerintahan Islam atau yang disebut dengan Khilafah masih berdiri tegak, para intelektual muslim begitu terjaga kehormatan dan harga dirinya. Aktivitas yang dilakukan pun adalah aktivitas yang bermanfaat baginya dunia dan akhirat. Sebut saja Imam Syafi’i, seorang ulama besar pada masa itu, kehidupannya beliau fokuskan pada belajar, mengajar, mendekatkan diri pada Allah Swt., dan berbakti pada ibunya. Ulama yang terkenal akan kehati-hatiannya dalam menjaga diri dari perbuatan yang tidak disukai Allah Swt. ini tak pernah terpikir untuk beristirahat dan menikmati dunia hingga salah satu kalimatnya tentang ilmu pun menjadi terkenal, yakni “Jika kamu tidak sanggup menahan lelahnya belajar maka kamu harus sanggup menahan perihnya kebodohan”. Tak ayal beliau menjadi salah satu ulama terkenal dan disegani banyak kalangan sepanjang masa. Begitulah harusnya seorang intelektual muslim, senantiasa menjadikan rida Allah Swt. sebagai tujuan hidup dan menjaga kehormatan serta harga dirinya dari hal-hal yang tidak berfaedah apalagi sampai membawanya menuju dosa. Wallahua’lam bi ash-shawwab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Novia Darwati Kontributor NarasiPost.Com
Previous
BBM Naik, Rakyat Kian Tercekik
Next
Isu Nonbiner: Liberalisme Bikin Kacau Kehidupan
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram