Ekonomi Jateng Salip Nasional: Ojo Dibanding-bandingke, Yo Mesti Kalah?

”Hendaknya Jawa Tengah sadar, status angka pertumbuhan ekonomi yang melebihi angka nasional sejatinya bukanlah prestasi. Ojo dibanding-bandingke, karena podo wae dengan permasalahan ekonomi skala nasional, selama masih mengadopsi sistem kapitalis liberal. Yang terjadi pasti pengangguran, kemiskinan dan jurang kesenjangan yang lebar.”

Oleh. Alfiyah Karomah
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Tengah mengeluarkan laporan bahwa pertumbuhan ekonomi di Jawa Tengah pada kuartal II 2022 secara tahunan mencapai 5,66 persen. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi di Jateng ini menyalip angka pertumbuhan ekonomi nasional di angka 5,44 secara tahunan.

Kepala BPS Jateng Adhi Wiriana, Jumat (5/8/2022) menginformasikan bahwa badan statistik tersebut mengamati dari sekira 17 lapangan usaha secara tahunan pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah (kuartal II-2022) sekitar 5,66 persen. Dan pertumbuhan ekonomi ini secara nisbi lebih baik dibanding angka nasional, yang sekitar 5,44 persen. Ia menambahkan, dari catatan tersebut, percepatan pertumbuhan ekonomi di Jawa Tengah selalu berada di atas angka nasional.

Sejak triwulan IV 2021 sampai triwulan II-2022, perbaikan ekonomi secara nisbi mengangkat Jateng di atas rata-rata angka nasional. Bidang usaha yang mengalami pertumbuhan secara nyata adalah sektor transportasi dan pergudangan 89,34 persen, jasa lainnya 18,70 persen, dan penyediaan akomodasi dan makan minum sebesar 18,44 persen. Ini menunjukkan bahwa sektor transportasi dan pergudangan berperan sangat signifikan dalam pertumbuhan ekonomi di provinsi yang beribukotakan Semarang itu.

Pihaknya mengatakan ini menjadi salah satu efek adanya tol trans Jawa, termasuk yang menghubungkan Semarang-Solo, sehingga pergerakan masyarakat untuk kerja, wisata, dan sekolah menunjukkan peningkatan yang berarti.

Kemudahan Investasi Resep Andalan Ganjar, Kemudahan untuk Siapa?

Ganjar Pranowo, sebagai gubernur Jawa Tengah lantas membeberkan resep, bagaimana cara Jateng meraih pertumbuhan ekonomi yang mampu menyalip angka nasional. Ia menyampaikan bahwa ini adalah hasil kerja sama jajaran bupati sampai wali kota. Mereka membuka keran dan memudahkan investasi di daerah mereka. Yakni perannya sebagai pemerintah daerah dalam memberi fasilitas perizinan investasi. Bagi Ganjar ini kunci pentingnya. Karena dengan demikian, proses perizinan menjadi lebih efektif, mudah, dan efisien.

Hal ini terlihat dari usahanya yang memaksimalkan kawasan ekonomi khusus, kawasan industri terpadu, dan beberapa kawasan industri lain untuk memberikan fasilitas kepada calon investor dari dalam maupun luar negeri. Sampai-sampai kiprahnya disanjung oleh pemilik Busan Indonesia Center Kim Soo II. Ia akhirnya memutuskan berinvestasi di Jateng karena dianggap sebagai provinsi yang ramah dan mudah untuk para investor dengan kebijakan satu pintunya.

Selain kemudahan investasi, Ganjar juga mengeklaim pertumbuhan ekonomi di Jateng tak lepas dari peran para petani. “Para penyangga tatanan negara Indonesia” ini memiliki andil besar dalam menyokong kemajuan di sektor pertanian. Namun jika ditilik dari faktanya, apakah benar petaninya sendiri sudah sejahtera?

Dari fakta di atas, justru menjadi titik kritis, dengan pencapaian angka pertumbuhan ekonomi tersebut, apakah benar rakyat merasakan kesejahteraan dari pertumbuhan ekonomi tersebut? Dengan kemudahan investasi, apakah benar berdampak baik pada kesejahteraan masyarakat, atau para pemain usaha lokal? Ataukah justru para pemilik modal besar dalam negeri maupun luar negerilah yang diuntungkan dari kebijakan ini?

Faktanya, di satu sisi, Kementerian Perindustrian justru menghadapi situasi sulit manakala diberi beban menggenjot produksi dalam negeri. Hal ini berarti harus menempatkan investasi sebagai center point-nya, terutama yang datang dari luar negeri.

Di sisi lain, ia harus memosisikan diri sebagai orang tua bagi para industri lokal. Ia wajib mengayomi tunas-tunas dari industri lokal yang kerap lemah, termasuk industri kecil menengah sektor komponen. Derasnya investasi asing membuat para pelaku usaha kesulitan mengatasi pelonjakan harga bahan baku. Sebagaimana diungkap oleh Direktur Jenderal Industri Kecil Menengah (IKM) Kemenperin Euis Saedah, ia mengatakan hingga saat ini berbagai kebijakan yang diperuntukkan bagi pelaku industri komponen lokal yang mayoritas tergolong industri menengah itu seperti mandul. Saat ini pelaku komponen lokal terbelit mahalnya ongkos bahan baku yang mesti diimpor dan kini harganya melejit akibat melemahnya nilai tukar rupiah (https://kemenperin.go.id/).

Benarkah Investasi Berperan Positif?

Bagi Ganjar, dengan tingginya investor yang menanamkan modal diharapkan akan mendongkrak ekonomi daerah, mengurangi pengangguran, membuka lapangan pekerjaan, dan mengurangi kemiskinan di Jawa Tengah.

Sekilas, peran tersebut tampak baik dan positif, tetapi jika kita cermati, peran-peran tersebut tidak berbanding lurus dengan fakta yang terjadi di masyarakat. Jika investasi dapat mendorong pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, mengapa masih terdapat angka kemiskinan dan kelaparan di negeri ini?

Perlu diketahui di Jawa Tengah, penduduk miskin sebanyak 10,93 persen dari total penduduk. Artinya ada 3,83 juta orang yang mengalami kemiskinan. Apalagi jika dikalkulasi dengan perhitungan PDB per kapita, sungguh tidak menunjukkan realitas pertumbuhan ekonomi yang sebenarnya.

Bagaimana mungkin pertumbuhan ekonomi dihitung dengan membagi rata pendapatan rakyat? Sementara aktualnya, pendapatan yang mendominasi perhitungan tersebut adalah golongan elite saja, bukan rakyat menengah ke bawah.

Bahkan definisi miskinnya sendiri patut dikritisi, BPS menjelaskan kemiskinan sebagai ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar, yang diukur dari pengeluaran. Contohnya, angka rata-rata garis kemiskinan pada Maret 2018 adalah Rp401.220 per kapita per bulan, artinya orang yang pengeluarannya di bawah angka rata-rata garis kemiskinan termasuk warga miskin. Jika pengeluarannya Rp500.000 per kapita per bulan ini dikatakan tidaklah mengalami kemiskinan. Realitasnya, kebutuhan makan termurah, pendidikan dan kesehatan, pastilah melebihi angka tersebut.

Kemudian, benarkah investasi mengatasi masalah pengangguran? Faktanya, Tingkat Pengangguran terbuka (TPT) penduduk Jawa Tengah pada tahun 2019 sebesar 5,95 persen. Ironisnya, di daerah yang di sana dibangun Kawasan Industri Terbesar yakni KIT Batang, TPT-nya mencapai 6,59 persen, angka ini melebihi TPT provinsi Jateng (https://jateng.bps.go.id/). Bagaimana pemerintah menjawab hal ini dengan investasi yang konon dapat membuka lapangan kerja?

Liberalisasi Ekonomi Makin Tak Teratasi

Mengutip dari Investindonesia.go.id., faktor utama yang menjadi salah satu faktor penting investor asing melirik Indonesia adalah sumber daya alamnya. Indonesia memiliki sumber daya alam yang sangat berlimpah, mulai dari sumber daya minyak bumi, hasil tambang, maupun sumber gas alamnya. Ini menjadi kebanggaan besar sekaligus malapetaka jika potensi ini dikelola dengan paradigma yang salah, yaitu paradigma ideologi kapitalisme.

Tak dapat dimungkiri, Indonesia saat ini berada di pusaran ideologi kapitalisme. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara pengekor kebijakan global dan ia menjadi incaran asing. Sayangnya, penguasa negeri ini tak juga menyadari bahaya dan malapetaka yang mengancam negeri ini jika masih tergantung pada investasi asing dalam membangun ekonomi negeri.

Di sisi lain, kehadiran investasi sejatinya bisa menjadi ancaman bagi pengusaha lokal. Sebab, dalam proyek investasi, tidak sedikit para investor itu membawa serta produk asal negara mereka dalam pembangunan yang dilakukan. Meski terjadi transfer teknologi, hal itu tidak mengubah dominasi asing dalam menggarap proyek-proyek strategis negara. Pada akhirnya, rakyat harus merasa puas sebatas menjadi buruh bagi perusahaan korporasi/asing.

Lahirnya kebijakan ini tidak terlepas dari penerapan ideologi kapitalisme yang meniscayakan adanya liberalisasi ekonomi di segala lini. Penguasa hanya bertindak sebagai regulator dan fasilitator dengan mengesahkan UU yang pro kapitalis neoliberal. Bekerja untuk memenuhi hasrat kapitalis, namun lalai dan abai dengan tugas utamanya untuk memenuhi kebutuhan dasar dan kesejahteraan rakyat. Kebijakan pemerintah nyata paradoks dengan apa yang sebenarnya dibutuhkan rakyat.

Bandingkan dengan Paradigma Islam

Kegiatan investasi dalam Islam wajib terikat dengan syariat Islam. Oleh karenanya, siapa pun yang terlibat dalam investasi harus memahami hukum-hukum syariat secara saksama, Dengan begitu, ia bisa terhindar dari investasi yang diharamkan dalam Islam. Hanya saja, Islam melarang investasi yang terkait dengan bisnis haram, fasilitas publik seperti rumah sakit, bandara, jalan dan sebagainya, serta utang luar negeri. Sebab, hal tersebut dapat menjadi jalan bagi orang-orang kafir menguasai negeri kaum muslim.

Perbedaan paling mendasar antara Islam dan kapitalisme dalam investasi adalah batasan kepemilikan. Ekonomi kapitalisme tidak mengenal batasan kepemilikan. Siapa yang bermodal besar dapat memiliki apa pun, termasuk kepemilikan umum seperti barang tambang, sarana publik, dan sejenisnya.

Sementara Islam membagi kepemilikan menjadi tiga, yaitu kepemilikan individu, umum, dan negara. Dalam hal kepemilikan umum, negara dilarang memperjualbelikannya kepada individu atau swasta. Negaralah pihak yang bertanggung jawab mengelola harta kepemilikan umum untuk dikembalikan hasilnya kepada rakyat. Rasulullah bersabda: “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

Hendaknya Jawa Tengah sadar, status angka pertumbuhan ekonomi yang melebihi angka nasional sejatinya bukanlah prestasi. Ojo dibanding-bandingke, karena podo wae dengan permasalahan ekonomi skala nasional, selama masih mengadopsi sistem kapitalis liberal. Yang terjadi pasti pengangguran, kemiskinan, dan jurang kesenjangan yang lebar.

Jika ingin menjadi negara kuat dan maju, tidak ada jalan lain kecuali mencampakkan sistem kapitalisme yang menjadi biang kerok segala permasalahan ekonomi di negeri ini. Dibandingkan dengan performa ekonomi pada masa kejayaan Islam di masa lalu, kapitalisme yo mesti kalah. Terbukti selama 13 abad lamanya, Islam mampu menyejahterakan rakyatnya. Wallahu ‘alam bish-shawwab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Alfiyah Karomah Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Laga Pemilu 2024, Eks Koruptor Diberi Ruang?
Next
Muliakan Hidupmu dengan Ilmu
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram