”Rentetan keberingasan aparat hukum di atas menunjukkan bahwa persoalan tersebut bukan sekadar masalah individu anggota polisi semata. Namun lebih dari itu, faktor kultural, struktural, instrumental, dan sistemis menjadi akar masalahnya.”
Oleh. Tsuwaibah Al-Aslamiyah
(Tim Redaksi NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Tubuh Kepolisian RI kian keropos, belum rampung satu kasus sudah muncul kasus lain. Ekspresi kekecewaan masyarakat tak terbendung, hal ini mengakibatkan kandasnya kepercayaan publik pada aparat penegak hukum berikut hukum yang diberlakukan di negeri ini.
Sebagaimana dilansir Kompas.com (27/8/2022) bahwa Polda Jawa Timur berhasil meringkus beberapa anggota polisi yang terbukti positif mengonsumsi narkoba. Bahkan, satu di antaranya Kapolsek Sukodono AKP I Ketut Agus Wardana.
Lebih tragis lagi, drama pembunuhan Brigadir J pun makin pelik karena melibatkan banyak personel dengan segala kejanggalannya. Masyarakat pun pesimis akan menemukan titik terang dan tonggak keadilan dalam kasus ini. Krisis kepercayaan memang telah menggerogoti tubuh perkasa Polri ini.
Lantas, bagaimana kinerja Polri di mata masyarakat? Apa yang menjadi akar masalahnya? Bagaimana profil institusi kepolisian dalam peradaban Islam?
Potret Buram Kepolisian
Gerak-gerik Polri dalam mengendalikan keamanan dalam negeri memang telah lama dikritisi publik. Kinerjanya dalam menangani berbagai kasus dianggap tidak transparan, nirakuntabel, dan tak sejalan dengan HAM. Setidaknya ada beberapa poin yang disoroti, yakni:
Pertama, kultur kekerasan. Masih segar dalam ingatan kita rentetan kasus kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian pada rakyat sipil. Mengutip data KontraS, selama Juni 2020 hingga Mei 2021, tidak kurang dari 651 kasus yang terjadi dan diberitakan media. Entah berapa yang luput dari liputan berita. Jenis kekerasan yang dilakukan di antaranya: penembakan, pemukulan, pencambukan, pengancaman menggunakan senjata api, dan lainnya (Idntimes.com, 21/10/2021).
Kedua, kultur perlindungan terhadap maksiat. Siapa sangka praktik peredaran narkoba dan miras, judi, serta pelampiasan bahkan penyimpangan seksual yang seharusnya diberantas oleh institusi kepolisian, namun justru ikut dipraktikkan bahkan dilindungi oleh institusi keamanan dalam negeri ini. Bahkan, pelakunya bukan hanya anggota kepolisian biasa. Pun melibatkan para petingginya. Miris.https://narasipost.com/2021/10/22/kepercayaan-terkikis-akibat-penanganan-pragmatis/
Ketiga, kultur ketidakpatuhan hukum. Koalisi Reformasi Sektor Keamanan memiliki catatan panjang di tubuh Polri, mulai dari extra judicial killing, penundaan kasus hingga berlarut-larut, korupsi akut, rasuah dalam penerimaan peserta akademi kepolisian, abuse of power (penyalahgunaan wewenang), rangkap jabatan serta merangseknya anggota Polri dalam jabatan sipil, bahkan problema malaadministrasi. Hal ini diperkuat dengan adanya survei kepatuhan hukum yang dilakukan Ombudsman RI, hasilnya cukup mengejutkan ternyata tingkat kepatuhan Polri pada hukum relatif rendah. Bahkan, lembaga ini paling banyak dilaporkan masyarakat terkait malaadministrasi (Idntimes.com, 21/10/2021).
Keempat, kultur rekayasa kasus. Kasus pembunuhan Brigadir J oleh Sambo cs. menyibak tabir kebohongan dan rekayasa kasus di tubuh institusi Polri. Kedustaan demi kedustaan yang menjijikkan mulai terkuak satu demi satu. Parahnya, dosa itu dilakukan secara berkomplot yakni melibatkan banyak personel kepolisian, sungguh di luar nalar! Hal tersebut mendorong publik menuntut pengungkapan kembali kasus-kasus sebelumnya semisal kasus pembunuhan 6 laskar FPI di KM.50 dibuka dan dibongkar kepalsuannya, sebab diduga kuat terjadi rekayasa kasus di dalamnya.
Rentetan keberingasan aparat hukum di atas menunjukkan bahwa persoalan tersebut bukan sekadar masalah individu anggota polisi semata. Namun lebih dari itu, faktor kultural, struktural, instrumental, dan sistemis menjadi akar masalahnya.
Salah Habitat
“Tak ada asap jika tak ada api.” Itulah kiranya akar masalah yang perlu kita gali dari berbagai kultur negatif yang turut membesarkan institusi kepolisian di negeri ini. Lazim diketahui, sejak negeri ini dinyatakan merdeka, sistem yang menaunginya bukanlah Islam. Komunisme pernah mewarnai pemerintahan orde lama, selanjutnya kapitalisme dengan embel-embel demokrasinya menghiasi orde baru hingga rezim saat ini.
“Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih”. Tak bisa dimungkiri, Polri lahir dari rahim demokrasi. Mau tidak mau, akhirnya sepak terjang lembaga kepolisian negeri ini ada dalam asuhan sistem kapitalisme dan berdiam pada habitat sekularisme. Konsekuensinya, Polri tumbuh berkembang tanpa dikenalkan tentang hakikat kebenaran. Diperalat untuk memuluskan tindakan keji para mafia uang dan peradilan. Bukan lagi membela yang benar, namun justru membela yang bayar.
Wajar saja, toh hakikat kebenaran dalam kacamata demokrasi bersifat ambigu bahkan memiliki standar ganda, tergantung siapa yang punya dana. Siapa berduit, hukum dan peradilan dalam genggamannya. Di sinilah polisi turut berperan mematahkan tonggak keadilan bagi rakyat.
Betul, kita harus akui, bahwa mungkin saja masih ada individu-individu polisi yang jujur dan idealis di tubuh Polri. Namun, itu hanya segelintir saja, jika dibandingkan dengan yang pragmatis dan berlumpur dusta.
Jaminan Keamanan dalam Islam
Berbeda halnya dengan Islam, yang memandang segala sesuatu secara holistik, tidak parsial. Dalam persepsi Islam, keamanan dan stabilitas dalam negeri suatu negara memegang peranan sangat penting. Mustahil bisa berjalan dengan normal aktivitas ekonomi, politik, bahkan jihad jika kondisi keamanan dalam negeri terganggu. Oleh karena itu, diperlukan sebuah departemen dan organ fungsionalnya yang berkonsentrasi pada stabilitas keamanan dalam negeri yakni Departemen Keamanan Dalam Negeri (Depkamdagri).
Depkamdagri adalah suatu departemen yang menangani semua bentuk ancaman dan gangguan keamanan sekaligus penjagaan keamanan dalam negeri melalui satuan kepolisian. Kapan pun departemen ini memerlukan, kepolisian harus sigap untuk mengeksekusi. Jika departemen ini merasa kondisi cukup darurat dan memerlukan bantuan militer lain, maka wajib menyampaikan perkara ini dan memohon restu sang khalifah (sebutan bagi kepala negara dalam Islam). Permintaan ini tak bersifat mengikat, khalifah boleh mengabulkan ataupun menolaknya.
Polisi Lurus dan Berwibawa dalam Naungan Khilafah
Kepolisian merupakan organ fungsional dari departemen keamanan dalam negeri yang bertugas menjaga keamanan dan stabilitas dalam negeri dari ragam gangguan dan ancaman. Anggota satuan kepolisian itu laki-laki juga perempuan yang telah balig serta mengantongi kewarganegaraan Khilafah (sebutan bagi institusi negara yang menerapkan Islam kaffah). Polisi laki-laki menangani tugas secara umum, sedangkan polisi perempuan melaksanakan tugas-tugas khusus kewanitaan yang berkelindan dengan keamanan dalam negeri.
Adapun terkait kesatuan kepolisian, dibagi menjadi dua jenis yakni polisi militer serta polisi yang ada di bawah perintah dan pengawasan penguasa. Satuan ini dilengkapi seragam dengan ciri-ciri khusus saat bertugas menjaga keamanan.
Polisi atau syurthoh adalah kesatuan terbaik yang terjun dalam perang dan siap mati. Dinamai demikian, sebab melekat tanda-tanda yang sudah dikenal luas. Adapun polisi militer merupakan bagian dari tentara yang memiliki tanda-tanda yang lebih menonjol daripada pasukan lainnya untuk mendisiplinkan urusan-urusan pasukan. Berada di bawah Departemen Perang, tepatnya Amirul Jihad. Sedangkan polisi yang selalu bersiaga di samping penguasa, maka dia ada di bawah Depkamdagri.
Imam Tirmizi telah meriwayatkan dari Anas bin Malik: ”Sesungguhnya Qais bin Sa’ad (bin ‘Ubadah Al-Anshati Al-Khazraji) di sisi Nabi saw. memiliki posisi sebagai kepala polisi dan ia termasuk di antara para amir. Al-Anshari berkata: ‘Yaitu orang yang menangani urusan-urusan polisi.’”
Berdasarkan hadis ini ditarik kesimpulan bahwa kepolisian berada di sisi penguasa untuk menjaga keamanan, di bawah Depkamdagri sebagai struktur yang berdiri sendiri dan berada di bawah instruksi khalifah secara langsung, sebagaimana struktur-struktur negara yang lain.
Mengingat posisi polisi sebagai alat kekuasaan, tugas dan fungsinya jelas untuk menjaga keamanan dalam negeri dengan cara menegakkan kemakrufan dan mencegah kemungkaran. Dengan begitu, kepolisian tak memberikan ruang bagi permainan kepentingan yang disetir kelompok, partai, atau pihak tertentu. Sebab, dia bekerja untuk sistem, bukan person, kelompok, apalagi kroni.
Oleh karena itu, dalam menjalankan tugas mulia itu polisi wajib memiliki karakter yang khas dan unik yakni keikhlasan tanpa batas, taat, tawadhu, jauh dari sifat sombong dan arogan, berkasih sayang namun tiada belas kasih bagi pelanggar syariat, pandai menjauhi perkara syubhat, bijak, berani, berlapang dada, jujur, amanah, menjaga lisan dan perilaku, berwibawa, dan tegas.
Tak berlebihan jika Khalifah Muawiyah telah menetapkan standar karakter yang harus mendarah daging pada diri seorang kepala polisi. Ziad bin Abih berkata: ”Kepala kepolisian hendaklah memiliki kecakapan dan kuat, tidak mudah lupa, dan bagi pengawal pribadi hendaklah yang telah berumur dan dapat menjaga kesucian diri, serta tidak memiliki catatan kriminal.” (Tarikh Al-Ya’qubi”)
Sebaliknya, jika seorang kepala atau petinggi kepolisian melakukan penyelewengan seperti memberikan sanksi yang tidak sesuai putusan hukumnya atau tidak mengedepankan bukti-bukti dalam penyelidikan, maka sang khalifah tidak akan segan untuk langsung memecatnya dengan tidak hormat. Ini pernah terjadi pada masa Bani Abbasiyah, pada saat itu Khalifah Al-Muqtadir pernah memberikan secara tidak hormat seorang kepala polisi di Baghdad yakni Muhammad bin Yaqut. Tak berhenti sampai sana, Khalifah pun melarang dia memegang jabatan apa pun dalam pemerintahan karena perilakunya yang buruk dan menyimpang. Jika anggota bahkan petinggi kepolisian melakukan tindak kejahatan, maka akan diberikan sanksi berat yang menjerakan tanpa berbelit-belit dan tak ada tawar menawar (Bidayah dan Nihayah, Ibnu Katsir).
Khatimah
Inilah saatnya institusi kepolisian bertobat, perbaiki kinerja dan wibawa demi kembalikan kepercayaan masyarakat. Ingatlah, setiap kita akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Posisikan kembali peran polisi sebagai pengayom masyarakat sekaligus menegakkan kebenaran hakiki yakni beramar makruf nahi mungkar. Bukan menjadi pelaku atau pelindung kemaksiatan.
Wallahu a’lam bi ash-shawwab.[]
Itulah dalam sistem yang salah menghasilkan pribadi yang salah juga. penegak hukum seharusnya menjadi garda terdepan dalam memberantas kemaksiatan bukan malah menjadi pelaku kejahatan