"Kapitalisme yang diterapkan hari ini menjadikan negara berlepas tangan terhadap pengurusan rakyatnya. Sebab sejatinya negara dalam bingkai kapitalisme menempatkan diri sekadar sebagai regulator, bukan pelayan rakyat. Lewat legislasi UU, negara juga memprivatisasi aneka sumber daya alam, memberi karpet merah kepada pihak swasta asing maupun lokal untuk menguasai SDA negeri ini, termasuk migas. Walhasil, rakyatlah yang menjadi korbannya. "
Oleh. Hana Annisa Afriliani, S.S
(RedPel NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com- Bagai musuh dalam selimut. Kiranya begitulah peribahasa yang tepat bagi pemerintah hari ini, seiring dengan bertubi-tubinya penderitaan yang dialami rakyat. Sudahlah rakyat masih berkubang dalam lumpur derita akibat pandemi Covid-19 yang bekepanjangan, pemerintah yang semestinya mampu menjadi pengayom dan pengurus rakyat malah ikut menambah derita rakyat.
Betapa tidak, berbagai kebijakan yang ditelurkan pemerintah seringkali tidak berpihak kepada rakyat, salah satunya kebijakan kenaikan harga BBM. Sebagaimana diberitakan oleh CnnIndonesia.com (29/08/2022) bahwa pemerintah berencana akan menaikkan harga BBM bersubsidi, yakni pertalite dan solar. Alasannya, telah terjadi pembengkakan subsidi BBM yang membebani APBN, yakni sebesar Rp502 triliun. Maka, rencananya subsidi tersebut akan dicabut. Efeknya tentu saja harga BBM akan naik.
Sebagai respons atas rencana tersebut, massa dari Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) menggelar demonstrasi di depan gedung MPR/DPR, Jakarta pada Ahad, 28 Agustus 2022. Menurut Ketua Umum PB HMI, Raihan Ariatama, kenaikan harga pertalite dan solar jelas akan membebani rakyat menengah ke bawah dan para pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). (CNNIndonesia.com, 29-08-2022)https://narasipost.com/2022/01/13/kebijakan-bbm-premium-kado-pahit-di-masa-sulit/
Aksi protes senada juga digelar oleh para driver ojek online (Ojol) di depan gedung DPR/MPR. Mereka berkumpul untuk menyuarakan penolakannya terhadap rencana kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) karena dinilai akan menyulitkan rakyat, khususnya para driver ojol yang mengaku khawatir pendapatannya akan berkurang dengan kenaikan harga BBM. (Tangerangnews.com/26-08-2022)
Secuplik gambaran tersebut mencerminkan betapa rakyat tak mendapat pemeliharaan negara sebagaimana mestinya. Maka, benarlah adanya jika negara hari ini tak ubahnya bagaikan musuh dalam selimut di hadapan rakyat.
BBM Urat Nadi Kehidupan Rakyat
Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi rakyat. Maka, jika harganya terlampau tinggi, tentu saja akan membebani rakyat dan berpengaruh kepada kualitas hidup mereka, khususnya kalangan menengah ke bawah.
Sebagaimana kita tahu, tingkat penjualan para pelaku UMKM akan sangat dipengaruhi oleh besaran modal yang dikeluarkan. Jika modalnya besar, karena harga bahan-bahan kebutuhan pokok mahal, ditambah BBM ikut naik, maka harga jual produk pun otomatis naik. Hal tersebut tentu saja berpengaruh pada daya beli konsumen. Bisa jadi konsumen akan mengurangi pembelian atau jika harga jual tetap, maka risikonya keuntungan berkurang atau bahkan merugi.
Begitu pun bagi ojek online dan pelaku usaha transportasi lainnya, kenaikan harga BBM tentu saja menjadi pukulan telak. Sudahlah pendapatan minim, harus ditambah pula dengan pengeluaran biaya operasional yang besar. Hal ini tentu merupakan sebuah kezaliman. Ibaratnya, sudah jatuh tertimpa tangga.
Demikianlah urgensi keberadaan BBM bagi roda perekonomian rakyat. Bagi masyarakat kalangan atas, mungkin kenaikan BBM Rp1000-Rp2000 per liternya tidak terlalu terasa. Tetapi, tidaklah bijak jika kita hanya memikirkan urusan kita sendiri. Hal tersebut hanyalah wujud matinya kepeduliaan terhadap sesama yang merupakan bagian dari sikap individualistik ala kapitalis.
Sejatinya, Islam mengajarkan umatnya untuk saling menyayangi dan memperhatikan lingkungan sekitarnya. Tidak bersikap apatis. Oleh karena itu, dalam Islam ada mekanisme amar makruf nahi mungkar yang wajib ditegakkan di tengah masyarakat, yakni dalam rangka meluruskan kesalahan yang terjadi dan memberikan hak yang terabaikan.
Ingatlah sabda Rasulullah saw:
“Salah seorang dari kalian belum (dikatakan) beriman (dengan sempurna) sampai dia mencintai untuk saudaranya, apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri.” (HR. Muttafaqun 'alaihi)
Dalam hadis lainnya, Rasulullah saw bersabda, "Bukanlah seorang mukmin; seseorang yang merasa kenyang, sementara tetangganya kelaparan.”
(sahih al-Adabul Mufrad, no. 82)
Salah Urus Kapitalisme
Kapitalisme yang diterapkan hari ini menjadikan negara berlepas tangan terhadap pengurusan rakyatnya. Sebab sejatinya negara dalam bingkai kapitalisme menempatkan diri sekadar sebagai regulator, bukan pelayan rakyat. Lewat legislasi UU, negara juga memprivatisasi aneka sumber daya alam, memberi karpet merah kepada pihak swasta asing maupun lokal untuk menguasai SDA negeri ini, termasuk migas. Walhasil, rakyatlah yang menjadi korbannya. Di tengah melimpahnya kekayaan migas di negeri ini, rakyat harus merogoh kocek dalam demi mendapatkannya. Inilah konsekuensi logis atas penguasaan SDA bukan oleh negara, melainkan oleh pihak swasta yang tentu saja berbasis bisnis. Ironis!
Selain itu, kapitalisme juga telah membentuk mental serakah atas nama kepentingan materi. Betapa banyak kita saksikan praktik penimbunan BBM di beberapa daerah. Sebagaimana yang baru-baru ini terkuak oleh pihak kepolisian, sebanyak 17 ton BBM jenis solar dan pertalite ditimbun oleh lima orang tersangka di Samarinda, Kalimantan Timur. (KompasTV)
Khilafah Menjamin Kebutuhan Rakyat
Subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) yang dianggap sebagai beban oleh negara merupakan salah satu konsep berpikir ala kapitalisme. Padahal hakikatnya sudah menjadi tugas negara dalam menjamin pemenuhan energi bagi rakyatnya. Hal tersebut merupakan bagian dari aktivitas ri'ayah su'unil ummah (pemeliharaan urusan rakyat) yang. menjadi kewajiban negara.
Namun sayangnya, di tengah penerapan sistem kapitalisme hari ini, pemberian subsidi malah dianggap sebagai beban. Inilah wajah buram sistem kapitalisme yang menciptakan krisis visi kepemimpinan sejati. Padahal hakikatnya rakyat adalah amanah, bukan beban.
Ketika seseorang telah mengemban status sebagai penguasa, maka sudah selayaknya ia mengabdikan diri secara totalitas sebagai pelayan rakyatnya, menjamin terpenuhinya segala kebutuhan mereka, yakni kebutuhan sandang, pangan, papan, serta pendidikan, kesehatan, keamanan, energi, dll. Rakyat berhak mendapatkan BBM yang murah bahkan gratis. Oleh karena itu, negara wajib mengelola kekayaan alam dalam negeri, termasuk migas secara mandiri, tidak menyerahkannya kepada pihak swasta, baik lokal maupun asing.https://narasipost.com/2022/01/02/liberalisasi-sektor-migas-di-balik-rencana-pengalihan-bbm/
Dalam pandangan syariat Islam, haram hukumnya memprivatisasi sumber daya alam yang depositnya melimpah, karena hal tersebut termasuk hajat hidup rakyat banyak. Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw ketika Abyad bin Hammal meminta tambang garam kepada Rasulullah, namun kemudian Rasul menarik kembali pemberiannya kepada Abyad setelah mengetahui tambang garam yang dimaksud depositnya melimpah.
Hal itu sejalan juga dengan hadis Rasulullah saw berikut:
"Kaum muslimin ini berserikat dalam tiga hal, yakni air, padang rumput, dan api." (HR. Abu Dawud)
Migas terkategori sebagai api (energi), haram hukumnya dikuasai oleh swasta. Karena migas, dalam konsep sistem ekonomi Islam terkategori sebagai harta kepemilikan umum (milkiyah ammah), yakni milik seluruh kaum muslimin. Maka, negaralah yang bertanggung jawab atas pengelolaannya. Nantinya hasil pengelolaan tersebut dikembalikan untuk kemalahatan kaum muslimin.
Negara juga akan menutup celah bagi praktik penimbunan (ihtikar), karena menimbun barang kebutuhan publik yang menyebabkan kelangkaan di pasar adalah haram hukumnya dalam kacamata syariat. Sebagaimana Rasulullah saw pernah bersabda kepada Abu Hurairah r.a, "Siapa menimbun barang dengan tujuan agar bisa lebih mahal jika dijual kepada umat Islam, maka dia telah berbuat salah."
Sistem Islam tidak akan memberi ruang bagi berkembangbiaknya para pelaku ihtikar, karena negara akan memberikan sanksi tegas, yakni takzir. Negara akan memaksa para muhtakir (pelaku penimbunan barang) untuk menjual barang yang ditimbunnya dengan harga pasar.
Demikianlah potret pengaturan negara dalam bingkai Khilafah. Tidak ada rakyat yang terzalimi, sebab negara benar-benar menjalankan fungsi dan perannya sesuai tuntunan syarak. Bukan berdasarkan visi bisnis dan kepentingan materi. Bagai bumi dengan langit jika dibandingkan dengan sistem hari ini. Oleh karena itu, masihkah kita mempertahankan sistem kapitalisme yang mencekik ini? Padahal ada sistem lain yang terbukti telah mampu menorehkan kegemilangannya dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat, yakni sistem Islam dalam bingkai Khilafah. Wallahu'alam bishawab.[]
Photo : Canva