”Perlu perubahan yang mendasar dan menyeluruh di tubuh institusi penegak hukum secara sistemis, termasuk sistem rekrutmennya. Aparat yang baik akan lahir dan didukung oleh sistem yang baik.”
Oleh. Lussy Deshanti Wulandari
(Kontributor Pemerhati Umat)
NarasiPost.Com-Wajah kepolisian semakin tercoreng gegara kasus pidana yang melibatkan internal aparat di dalamnya. Sampai saat ini drama maut kasus Ferdy Sambo belum semuanya terungkap. Malah semakin pelik layaknya episode panjang sinetron di televisi. Ibarat fenomena gunung es, kasus-kasus yang melibatkan aparat sebagai pelaku tindak pidana pun mulai bermunculan.
Baru-baru ini, terjadi peristiwa penembakan yang melibatkan sesama aparat di Lampung dengan motif dendam pribadi. Aida Ahmad Karnain, anggota Polsek Way Pengubuan Polres Lampung Tengah, ditembak rekan sesama bertugas, Aipda Rudy Suryanto pada Ahad (4/9) malam hingga korban meninggal dunia (Republika, 5/9/2022).
Lalu, kasus suap yang melibatkan oknum aparat, seperti penangkapan yang dilakukan oleh Polda Sulawesi Tengah kepada Briptu D atas dugaan suap penerimaan 18 calon siswa (casis) bintara Polri Rp4,4 miliar (Kompas, 17/8/2022).
Kemudian, kasus penangkapan Kapolsek Sukodono, Sidoarjo, AKP I Ketut Agus Wardana disusul stafnya yang berpangkat AIPTU terkait kasus penyalahgunaan narkotika jenis sabu-sabu (Inews, 23/8/2022).
Ini segelintir kasus yang terkuak baru-baru ini. Belum termasuk kasus-kasus lain yang terjadi sebelum kasus Sambo mencuat dan kemungkinan masih banyak lagi yang belum terungkap.
Sungguh miris, jika aparat hukum yang semestinya bertugas sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban di masyarakat, penegak hukum, memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan publik, justru malah memicu keraguan masyarakat terhadap kredibilitas mereka. Rakyat bisa apatis ketika aparat malah melanggar hukum.
Memang benar, tidak semua aparat demikian. Masih jauh lebih banyak yang memegang integritasnya sebagai penegak hukum. Namun, dari kasus Sambo yang pelik dan banyaknya kasus pidana yang melibatkan aparat selama ini, semestinya mendorong kepolisian untuk berbenah memperbaiki institusinya secara sistemis, tidak hanya sekadar pencopotan personel yang bermasalah.
Carut-marutnya kondisi internal institusi penegak hukum tak terlepas dari sistem yang diterapkan dalam mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yakni kapitalisme sekuler. Dalam sistem ini, aparat justru mudah melakukan kezaliman maupun tindak kriminal yang semestinya mereka tanggulangi. Bahkan, parahnya aparat menjadi jalan untuk membeli dan mengatur hukum. Alhasil, hukum dibeli dan diatur sesuka hati tergantung modal (kapital) yang digelontorkan untuk melobi.
Penegakan hukum dalam sistem saat ini pun masih jauh dari berkeadilan. Hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Jika rakyat kecil yang bersalah, dihukum tanpa ampun. Misalnya seorang ibu terpaksa membawa bayinya yang berusia 6 bulan ke rutan Lhoksukon, Aceh Utara setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus UU ITE.
Sedangkan, jika terhadap oknum aparat atau pejabat beserta keluarganya yang memiliki ‘pengaruh’, justru beda perlakuan. Seperti Putri Candrawathi, tersangka dalam kasus pembunuhan Brigadir J tak ditahan dengan alasan masalah kesehatan, kemanusiaan, dan memiliki balita. Padahal, ia terseret kasus yang lebih berat daripada kasus ibu di Aceh tadi.
Kepolisian dalam Islam
Prof. Dr. Raghib As-Sirjani dalam bukunya "Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia" menjelaskan bahwa asy-syurthah atau kepolisian merupakan salah satu tugas penting dalam pemerintahan Islam dan termasuk bagian dari ciri khas kehidupan sosial dan masyarakat. Kepolisian merupakan pasukan penjaga keamanan dalam negeri.
Sistem kepolisian sudah ada sejak masa Rasulullah saw. Imam Bukhari telah mengemukakan dalam sahihnya bahwasanya Qais bin Sa'ad yang berada di hadapan Rasulullah saw. berposisi sebagai kepala polisi keamanan dari penguasa.
Kepolisian berada di bawah Departemen Keamanan Dalam Negeri. Tugasnya menjaga keamanan dalam negeri dari hal-hal yang mengganggu, seperti bughat (pemberontakan atau keluar melepaskan diri dari negara), murtad, pembegalan di jalanan, menyerang orang-orang untuk merampas harta milik mereka dan mengancam nyawa mereka.
Termasuk juga menangani kejahatan pencurian, perampasan, perampokan, penggelapan, pemukulan, pencederaan, pembunuhan, qadzaf (tuduhan berzina), serta perlakuan terhadap orang-orang yang dikhawatirkan menimbulkan mudarat dan bahaya bagi negara.
Gambaran syurthah dalam Islam berbeda dengan aparat saat ini. Menurut Ibn Abi Ar-Rabi’ dalam Suluk Al-Malik fi Tadbir Al-Mamalik, yang layak menjadi kepala polisi (syahib as-syurthah) adalah orang yang sabar, berwibawa, tidak banyak bicara, berpikir panjang dan mendalam, tegas, cerdas, hidupnya bersih, tidak grasah-grusuh, sedikit senyum dan tidak mudah memberi ampun.
Para khalifah Bani Abbasiyah berupaya mengangkat para kepala kepolisian yang berkarakter keilmuan, memiliki ketakwaan dan wawasan tentang hukum-hukum Islam, dan tidak dicela dalam menerapkan sanksi-sanksi.
Dalam Tabshirah Al Hukkam, Ibnu Farhun menjelaskan ketegasan dan cara perlakuan kepala kepolisian, Ibrahim bin Husain bin Khalid dalam menjatuhkan sanksi bagi orang yang memberikan kesaksian palsu. Dia adalah orang yang memiliki keutamaan, terbaik, pakar hukum Islam, dan ahli tafsir.
Pada masa Khalifah Al-Ma’mun, ‘Abdullah bin Husain diangkat menjadi kepala kepolisian di ibu kota Khilafah, Baghdad. Dia diangkat karena kemampuan dan kelayakannya. Ini dua contoh kepala kepolisian yang diangkat pada masa Abbasiyah. Sebenarnya masih banyak lagi.
Dalam Islam, jabatan kepala kepolisian menjadi hal yang sangat penting. Kepemimpinan itu akan memberikan warna pada institusi. Jika baik pemimpin, baik juga ke bawahnya. Polisi dalam Islam adalah setiap kesatuan yang merupakan kesatuan terbaik. Mereka adalah prajurit-prajurit pilihan. Dikatakan bahwa mereka dinamakan syurthah (polisi) karena mereka memiliki ciri-ciri yang telah dikenal, baik dari pakaian maupun kemampuan geraknya.
Khatimah
Sepatutnya semua kasus yang melibatkan aparat penegak hukum ini, menjadi tamparan yang sangat keras bagi institusi penegak hukum, maupun bagi bangsa ini. Masalah-masalah yang timbul di institusi ini merupakan puncak gunung es dari beragam persoalan sistem yang akut juga kronis, yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan mengganti personel.
Perlu perubahan yang mendasar dan menyeluruh di tubuh institusi penegak hukum secara sistemis, termasuk sistem rekrutmennya. Aparat yang baik akan lahir dan didukung oleh sistem yang baik.
Ini akan terjadi jika negara menjadikan ideologi Islam sebagai landasan bermasyarakat dan bernegara. Dengan kata lain dengan menjadikan Islam sebagai sistem yang mengatur kehidupan yang akan memberi warna pada keseluruhan perangkat negara.
Wallahu a’lam bishowab.[]