"Sudah dipahami bahwa demokrasi kita memang mahal. Untuk bisa melenggang pada kursi kekuasaan, dibutuhkan dana yang besar dan dukungan yang kuat. Maju seorang diri tanpa bekal tersebut hanyalah kenekatan yang naif, meskipun punya kapabilitas yang mumpuni. Kekuasaan dalam demokrasi adalah bertumpu pada materi. Tak ada uang, jangan berharap menang!"
Oleh. Deena Noor
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Korupsi dan suap-menyuap seolah menjadi tabiat pejabat di sistem demokrasi kapitalisme sekuler. Ia menjadi penyakit bawaan sistem cacat ini yang susah untuk disembuhkan. Bisa dikatakan bahwa mustahil untuk menghilangkannya, kecuali bila sistemnya yang diberantas.
Penyalahgunaan jabatan dan tindakan melanggar hukum yang dilakukan oleh pejabat negeri ini seolah tiada pernah berhenti. Penangkapan Wakil Ketua DPR, Azis Syamsuddin, menjadi bukti ke sekian kalinya. Dia ditangkap oleh KPK karena kasus suap penanganan perkara dana alokasi khusus (DAK) di Lampung Tengah. Azis kini ditahan di rutan Polres Jakarta Selatan selama 20 hari ke depan, yakni hingga 13 Oktober 2021. (newsdetik.com, 25/9/2021)
Azis Syamsuddin ditangkap karena menyuap eks penyidik KPK, Stepanus Robin Patuju, dalam kasus jual beli jabatan yang melibatkan Wali Kota Tanjung Balai, M. Syahrial. Penyuapan tersebut agar penyelidikan terhadap dugaan korupsi yang terjadi di pemerintahan kota (Pemkot) Tanjung Balai tidak dilanjutkan tingkatannya oleh KPK. (liputan6.com, 25/9/2021)
Sistem Rawan Penyelewengan
Penangkapan Wakil Ketua DPR, Azis Syamsuddin, kembali menunjukkan bopengnya wajah demokrasi yang dibanggakan dan dipertahankan selama ini. Wakil rakyat yang harusnya menjadi penerus suara dan aspirasi rakyat, justru bermain curang demi kepentingan korporat. Suap-menyuap, korupsi dan jual beli jabatan saling berkelindan dalam lingkaran kekuasaan. Mereka tak mampu memberikan contoh yang baik, apalagi mengurusi rakyat dengan benar.
Demokrasi yang menisbahkan rakyat sebagai penguasa, nyatanya justru membuat rakyat sebagai objek penderita. Jargon “Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” kian jauh dari kebenaran dan malah dimanfaatkan untuk melanggengkan kekuasaan kapitalisme. Berdalih untuk kepentingan rakyat, pejabat dalam sistem ini seenaknya saja bermain mata dengan kepentingan kapitalis. Bisa ditebak, nasib rakyat kian termarginalkan.
Sudah dipahami bahwa demokrasi kita memang mahal. Untuk bisa melenggang pada kursi kekuasaan dibutuhkan dana yang besar dan dukungan yang kuat. Maju seorang diri tanpa bekal tersebut hanyalah kenekatan yang naif, meskipun punya kapabilitas yang mumpuni. Kekuasaan dalam demokrasi adalah bertumpu pada materi. Tak ada uang, jangan berharap menang!
Ditambah lagi sistem hukum yang lemah membuat tindak korupsi dan sejenisnya kian menggurita. Hukum telah tunduk pada kekuatan kapital. Pembentukan lembaga antirasuah pun tak mempan menghentikan tindakan tak terpuji ini. Logikanya, dengan adanya lembaga semacam KPK seharusnya korupsi bisa dikurangi atau berhenti. Namun, fakta yang ada malah memperlihatkan sebaliknya, korupsi justru kian tak terkendali.
Demokrasi yang menjanjikan kebebasan berpendapat pun juga tak terbukti. Bersuara sedikit saja akan ditebas bila tak sejalan dengan penguasa. Mereka yang mengkritik kebijakan pemerintah dianggap musuh dan dihukum. Padahal, mereka menyuarakan apa yang menjadi hak dan keadilan bagi rakyat banyak. Akhirnya menambah derita rakyat semakin berlipat. Sudahlah perut mereka lapar, keadilan pun buyar.
Sistem Antisuap
Hal berbanding terbalik terjadi dalam sistem Islam. Dalam negara yang menerapkan syariat Islam, segala penyelewengan dan pengabaian amanah kekuasaan oleh pejabat negara tidak akan dibiarkan. Sekali muncul indikasi yang mengarah kepada pelanggaran, akan segera dihentikan. Islam melarang pemberian suap dan hadiah untuk aparat pemerintah. Tujuan dari suap biasanya agar yang memberi suap mendapat keuntungan. Sedangkan suap yang berkaitan dengan kasus hukum adalah agar mereka yang terlibat bisa lolos dari jeratan atau diperingan hukumannya. Tindakan semacam ini hukumnya adalah haram sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah dalam hadis riwayat Abu dawud: “Laknat Allah kepada penyuap dan penerima suap.”
Suap adalah suatu bentuk kecurangan dalam kebatilan. Betapa berlipat dosanya. Sudah curang, batil pula. Sedangkan berkenaan hadiah kepada pejabat, sama halnya dengan suap, juga memiliki maksud tersembunyi yang diharapkan oleh si pemberinya. Hadiah kepada pejabat negara hukumnya adalah haram sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad berikut: “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kekufuran.”
Kriminalitas semacam itu termasuk kategori ta’zir sanksinya dalam Islam, yakni hakim yang akan menentukan hukumannya. Besarnya sanksi yang diberikan bergantung pada berat ringannya pelanggaran yang dilakukan. Hukuman tersebut bisa berupa pewartaan di tengah masyarakat, penyitaan harta bendanya, hukuman penjara, bahkan hukuman mati. Hukum tersebut tegas tidak memandang siapa pelakunya.
Selain memberi hukuman pada pelaku pelanggaran atau kriminalitas, Islam juga mengupayakan pencegahannya agar tidak terjadi. Syariat memberikan panduan untuk menghindarkan tindakan kecurangan yang mungkin dilakukan oleh pejabat pemerintahan. Penggajian yang layak, pengawasan yang melekat, perhitungan kekayaan, keteladanan pimpinan, ketakwaan yang senantiasa terjaga dan seperangkat sanksi yang tegas adalah upaya preventif untuk menutup celah terjadinya penyelewengan amanah jabatan.
Kepemimpinan yang Kuat
Dalam Islam, kepemimpinan menjadi hal yang sangat penting agar pemerintahan berjalan dengan baik. Pemimpin harus mampu memberi contoh untuk seluruh rakyatnya. Dialah orang pertama yang harus memberikan teladan dalam mematuhi aturan yang ada. Bawahan cenderung mengikuti bagaimana kepalanya.
Pemimpin atau khalifah adalah komando. Di tangan seorang pemimpin, bagaimana jalannya kekuasaan amat ditentukan. Pemimpin menjadi yang terdepan dalam menerapkan aturan Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bukan hanya memerintahkan dan menyerukan saja, tetapi ia juga melaksanakan dengan sungguh-sungguh. Pemimpin tidak hanya memiliki kapabilitas, tetapi juga harus bertakwa. Pemimpin tidak hanya mampu memimpin dengan baik, tetapi juga sosok pribadi yang taat pada aturan Allah Swt. Pemimpin yang bertakwa akan senantiasa menjadikan hukum Allah sebagai patokan. Dia tidak akan berani menyimpang darinya sedikit pun.
Dengan kepemimpinan yang berlandaskan akidah Islam, khalifah akan memastikan seluruh pejabat negara mematuhinya dalam menunaikan amanah. Tindakan tegas akan diambil bila terjadi pelanggaran. Tanpa memandang jabatan atau kedudukan, penyelewengan dari syariat akan mendapatkan sanksinya secara adil. Sebagaimana dulu pernah dicontohkan oleh khalifah Umar bin Khaththab yang menyita seekor unta gemuk milik putranya sendiri. Abdullah bin Umar menggembalakan untanya bersama sejumlah unta lain di padang rumput milik Baitul Mal. Menurut sang Amirul Mukminin, tindakan ini termasuk penyalahgunaan kekuasaan negara.
Khalifah Umar bin Khaththab juga menerapkan pengawasan harta pejabat dengan ketat. Beliau membuat kebijakan agar harta para pejabat dihitung sebelum dan setelah menjabat. Bila terjadi kenaikan yang tidak wajar, apalagi hasil korupsi, maka segera diberhentikan dan diberikan sanksi tegas. Inilah bentuk kepemimpinan yang kuat dengan bersandar pada sistem kuat dan terbaik, yakni syariat Islam. Saat ini kita membutuhkan pemimpin yang tegas, cerdas dan bertakwa, bukan seperti yang sekarang. Pemimpin yang lemah dari sisi kemampuan dan ketakwaannya, hanya akan membuat para kapitalis semena-mena mengendalikan kekuasaan, hingga rakyatlah yang menanggung penderitaan.
Wakil rakyat yang melakukan pelanggaran harusnya ditindak secara tegas dan berat karena telah melalaikan tanggung jawabnya. Dia harus dihukum berat sebab perbuatannya telah mengkhianati dan merugikan rakyat. Tiada layak pejabat yang khianat terhadap amanah untuk diberi tempat. Sebagaimana tidak layak pula sistem cacat ini dipertahankan terus-menerus karena ia hanya akan menghasilkan bermacam kerusakan dan kesengsaraan. Solusi terbaik adalah meninggalkan sistem sekularisme kapitalisme dan beralih kepada Islam. Tiada solusi selain itu yang layak dipertimbangkan sebab sistem yang ada telah terbukti gagal dan rusak. Sementara Islam pernah berjaya selama berabad-abad lamanya dalam menciptakan kehidupan yang diliputi penuh kebaikan.
Wallahu a’lam bish-shawwab[]