Tiada Kata Gratis dalam Sistem Kapitalis

Keselamatan masyarakat dinomorsatukan daripada ekonomi. Negara menjadi operator langsung untuk mengurus masyarakat. Rasul saw. bersabda, "Hilangnya dunia lebih ringan bagi Allah, dibandingkan terbunuhnya seorang mukmin tanpa haq." (HR. At-Tirmidzi)

Oleh: Atik Hermawati

NarasiPost.Com-Beli 100 ikat bayam lebih murah daripada 10 ikat saja. Itulah kiasan yang disampaikan dalam cuitan netizen dr.Tompi dalam akun Twitter-nya. "Harga PCR atau swab harus semurah-murahnya!!! Negara harus hadir memastikan ini. Kenapa negara lain bisa lebih murah dari kita saat ini? Bukankah beli bayam 100 selalu lebih murah dari beli bayam 10. Ayolah Bisa! Mohon kendalinya Pak @Jokowi", tulisnya (11/08/2021).

Cuitan di atas merupakan salah satu dari banyaknya kritikan masyarakat terhadap mahalnya harga PCR selama ini, meski pada akhirnya pemerintah memutuskan untuk menurunkan harga tes polymerase chain reaction tersebut. Melalui kanal YouTube Setpres, Minggu (15/08/2021), Presiden Joko Widodo memerintahkan agar biaya tes PCR di kisaran Rp450 ribu hingga Rp 550 ribu. Putusan itu disampaikan pada Kementerian Kesehatan, dengan harga awalnya ialah Rp900 ribu.

Namun di satu sisi, negara juga mengevaluasi atau mengaudit lembaga-lembaga penyelenggara tes agar tetap memberi pemasukan bagi negara. Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengeluarkan beleid anyar yang berbentuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 104/PMK.02/2021 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Layanan Uji Validitas Rapid Diagnostic Test Antigen yang Berlaku pada Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Tarif yang ditetapkan pada uji validitas rapid diagnostic test antigen ialah sebesar Rp694.000. Selanjutnya tarif atas jenis penerimaan PNPB ditetapkan nol persen atau nol rupiah. Namun, besaran, tata cara, dan persyaratan pengenaan tarif sampai nol rupiah atau nol persen tersebut harus terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri Keuangan. PMK itu sendiri mulai diterapkan pada 18 Agustus. (Merdeka.com, 13/08/2021)

Bisnis ialah Watak Kapitalis

Tes PCR merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam masa wabah Covid-19 saat ini. Dengan tes tersebut akan diketahui yang positif terinfeksi atau negatif. Upaya memisahkan yang sehat dan sakit ialah satu rangkaian untuk menangani pandemi. Sudah seharusnya berbagai hal dalam proses itu harus dimudahkan bagi masyarakat dan bebas biaya, sehingga tes secara merata dapat terlaksana.

Penurunan harga yang telah ditentukan belumlah menyelesaikan persoalan. Harga sebesar itu masih terlalu mahal untuk masyarakat umumnya. Sebelum pandemi saja sangat banyak rakyat papa, apalagi kini kemiskinan semakin bertambah jumlahnya. Harapan agar banyak yang dites, akhirnya menjadi isapan jempol belaka. Bila satu keluarga yang terjangkit, ratusan ribu itu menjelma menjadi jutaan rupiah untuk sekali tes saja. Apalagi di tengah pandemi yang semakin menggila, tes tersebut harus dilakukan berkali-kali.

Belum lagi dukungan pemerintah terhadap fasilitas kesehatan, seperti laboratorium dan diagnostik sangatlah minim. Tidak mengusahakan untuk memberikan jaminan suplay dan finansial secara memadai. Keuntungan dalam pengadaan barang selalu diperhitungkan.

Subsidi tak nyata, kelancaran penyediaan alat tes dan penunjang lainnya pun masih dipertanyakan. Para mafia yang bermain di dalamnya tak bisa dielakkan. Hingga akhirnya akan selalu memengaruhi kestabilan harga. Tradisi kelangkaan barang penting di negeri ini sudah bukan rahasia lagi. Tidak berlebihan jika masyarakat memandang pemerintah saat ini tidak mengurus masyarakatnya dengan sepenuh hati.

Ya, sistem kapitalis-sekuler yang berlaku di negeri ini telah meniscayakan itu terjadi. Bisnis ialah watak bawaan kapitalisme. Kapitalisasi berbagai bidang, termasuk kesehatan, menjadi target dan tujuan. Pelayanan kesehatan menjadi lembaga bisnis yang bersifat otonom. Liberalisasi masif diberbagai sektor vital oleh para kapital, membuat pemerintah tak mempunyai daya selain memungut pajak dan biaya dari masyarakatnya sendiri.

Negara pun akhirnya hanya bertindak sebagai regulator, bukan operator dalam menjamin kebutuhan asasi masyarakat, termasuk kesehatan. Pemimpin atau pemerintah hanya berpikir bagaimana meraup untung dari masyarakat yang sudah terkatung-katung. Bukan mengurusi masyarakat dengan penuh tanggung jawab dan amanah. Akhirnya upaya menanggulangi wabah didominasi dengan bisnis dan juga korupsi.

Berbagai kemasan pemerintah yang dinamakan seolah itu jaminan kesehatan, juga sejatinya ialah pengalihan tanggung jawab negara kepada individu-individu masyarakat. Masyarakat dituntut membiayai sendiri jika ingin mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak. Bahkan di masa mencekam seperti ini, bidang kesehatan selalu menjadi objek mengambil laba. Lalu bagaimana dengan kaum papa? Tidak ada kata gratis dalam sistem kapitalis.

Kesehatan Dijamin dalam Sistem Islam

Lockdown serta pemisahan yang sakit dan sehat ialah rangkaian wajib yang ditempuh selama pandemi. Penanganan wabah seperti itu telah disabdakan Rasulullah saw. Juga masyhur sekali saat Khalifah Umar bin Khaththab ra. memimpin. Dalam hal ini pengadaan tes PCR sudah seyogianya mudah dan cuma-cuma.

Pelayanan kesehatan, baik saat pandemi ataupun tidak, ialah salah satu kebutuhan dasar masyarakat di samping sandang, pangan, dan papan. Dimana hal ini menjadi kewajiban bagi negara untuk memenuhinya. Seorang khalifah dalam sistem Khilafah akan menyadari bahwa tugasnya ialah mengurusi urusan masyarakat berdasarkan syariat. Rasulullah saw. bersabda, "Pemimpin adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang diurusnya. " (HR. al-Bukhari).

Keselamatan masyarakat dinomorsatukan daripada ekonomi. Negara menjadi operator langsung untuk mengurus masyarakat. Rasul saw. bersabda, "Hilangnya dunia lebih ringan bagi Allah, dibandingkan terbunuhnya seorang mukmin tanpa haq." (HR. At-Tirmidzi)

Laboratorium, diagnostik, klinik, rumah sakit, dan fasilitas lainnya yang lazim diperuntukkan bagi masyarakat ialah sarana yang dibangun negara, ditujukan gratis dan memadai secara kualitas dan kuantitas. Hal ini untuk memelihara urusan dan hak masyarakat akan jaminan kesehatan. Dalam kitab Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, Syaikh Abdul Qadir Zallum mengatakan bahwa negara dalam hal pengadaan sarana-sarana tersebut tidak mendapat pendapatan sedikit pun atau tidak diperbolehkan melakukan pungutan dari masyarakat. Yang ada justru subsidi yang terus-menerus. Sehingga dikatakan bahwa jaminan kesehatan dalam sistem Islam ialah gratis untuk seluruh masyarakat, tanpa membedakan kelas ataupun memperhatikan tingkat ekonominya. Kemudian mudah diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Juga pelayanan yang mengikuti kebutuhan medis secara riil, bukan plafon subsidi yang disediakan pemerintah seperti sekarang.

Selain itu, SDM yang berhubungan dengan kesehatan pun diberdayakan dengan dukungan yang penuh dari Khilafah. Melalui sistem pendidikan yang sahih, para ahli yang bertakwa lahir untuk berkontribusi pada umat. Dalam riwayat Muslim, Rasulullah saw. pernah menyediakan dokter gratis untuk Ubay. Saat beliau mendapatkan hadiah seorang dokter dari Raja Mesir Muqauqis, beliau menjadikan dokter tersebut sebagai dokter umum bagi masyarakat.

Semua itu selaras dan terwujud dengan sistem keuangan Daulah Islam yang rapi dan ditentukan syariah. Anfal, ghanimah, fai, khumus, kharaj, jizyah, harta milik umum (SDA), harta milik negara, usyur, zakat, dan lainnya sangat cukup untuk memberikan pelayanan kesehatan untuk masyarakat secara layak dan tanpa biaya. Kekuatan industri juga politik dalam dan luar negerinya menjadikan Khilafah mampu melakukan riset dan upaya penanganan wabah yang cepat dan tepat tanpa bergantung pada pihak asing yang membahayakan. Semua itu hanya dapat terlaksana dengan sistem Khilafah yang menerapkan syariat Islam secara kafah. Memberikan jaminan kesehatan dengan sebenarnya. Menyelesaikan pandemi dengan semestinya. Dengan landasan perintah Allah dan Rasul-Nya, bukan hitungan laba bagi penguasa dan pengusaha.
Wallahu a'lam bishshawab.

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Atik Hermawati Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Taliban Berkuasa, Islamofobia Menggejala
Next
Penistaan Agama Merajalela, di manakah Peran Negara?
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram