"Indonesia sangat membutuhkan sistem pemerintahan yang bukan hanya melindungi dan menjaga kehormatan wanita dan anak-anak, tetapi melindungi seluruh mahluk ciptaan Allah Swt. Sistem pemerintahan yang mampu menyelesaikan dan mengatasi problematika kehidupan, termasuk masalah kekerasan seksual."
Oleh. Nur Hajrah MS.
(Aktivis Dakwah Nisa Morowali)
NarasiPost.Com-Badan Legislasi (Baleg) DPR RI kembali membahas Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Namun, pembahasan tersebut bukan untuk segera mengesahkan RUU PKS, melainkan mengubah draf RUU PKS dan judulnya diganti menjadi Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Sebelumnya, RUU PKS merupakan salah satu Program Legislasi Nasional prioritas 2020, namun RUU PKS ini tidak kunjung disahkan padahal telah memasuki Prolegnas 2021. (cnnindonesia.com 07/09/2021)
Berubahnya draf RUU PKS menjadi RUU TPKS tentu saja menuai kritik dari kelompok masyarakat, pasalnya keputusan Baleg bukan hanya mengubah judul draf dari RUU PKS menjadi RUU TPKS, melainkan juga menghapus 85 pasal dan 5 jenis kekerasan seksual yang terdapat dalam RUU PKS. Sebelumnya ada 9 jenis kekerasan seksual yang tercantum di RUU PKS, yaitu:
- Pelecehan seksual
- Perkosaan
- Pemaksaan perkawinan
- Pemaksaan kontrasepsi
- Pemaksaan pelacuran
- Pemaksaan aborsi
- Penyiksaan seksual
- Perbudakan seksual, dan
- Eksploitasi seksual
Sedangkan dalam RUU TPKS hanya ada 4 jenis kekerasan seksual, yaitu:
- Pelecehan seksual fisik dan nonfisik
- Pemaksaan kontrasepsi
- Pemaksaan hubungan seksual, dan
- Eksploitasi seksual
Tidak hanya itu, di dalam RUU TPKS juga menghapus jaminan hak pemulihan, perlindungan, dan keadilan secara umum terhadap korban kekerasan seksual yang sebelumnya tercantum di dalam RUU PKS.
Tujuan diubahnya judul RUU tersebut oleh Badan Legislatif adalah agar para aparat penegak hukum dapat lebih mudah menegakkan hukum atas kasus kekerasan seksual. Willy Aditya selaku wakil ketua Baleg DPR mengatakan pergantian judul draf tersebut sudah melalui diskusi yang melibatkan berbagai elemen masyarakat, termasuk Komnas Perempuan dan juga MUI. (cnnindonesia.com 10/09/2021)
Menurut World Health Organization (WHO), kekerasan seksual adalah perilaku yang dilakukan menyasar pada organ seksual seseorang dengan unsur paksaan atau ancaman. Kekerasan seksual adalah salah satu tindakan kejahatan yang jumlah kasusnya cukup tinggi di Indonesia. Dilansir dari Antaranews.com, pada tahun 2020 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak mencapai 7.191 kasus. Sedangkan di tahun 2021, melalui pencatatan data terakhir dari sistem informasi daring perlindungan perempuan dan anak, mencatat jumlah kasus kekerasan seksual sampai Juni 2021 mencapai 1.902 kasus.
Angka ini bisa saja terus bertambah jika pemerintah tidak serius dalam mengatasi kasus kekerasan seksual. Apalagi di saat pandemi seperti saat ini, tidak sedikit relasi hubungan keluarga menjadi terguncang, suami istri tidak lagi harmonis menjalankan rumah tangganya dan berakhir pada perceraian, sehingga anak-anak pun menjadi korbannya. Kondisi ini juga diperparah dengan terkikisnya peran agama dalam mengatur aspek kehidupan.
RUU PKS maupun RUU TPKS yang dianggap solusi atas permasalahan kekerasan seksual hanyalah sebatas teori yang sulit untuk diterapkan, buktinya RUU PKS Prolegnas 2020 tidak kunjung disahkan, di tahun 2021 malah berujung perubahan draf menjadi RUU TPKS yang berujung kekecewaan masyarakat. Belum lagi jenis hukumannya, tidaklah memberikan efek jera terhadap pelaku. Bahkan di beberapa kasus kekerasan seksual, hukuman yang diberikan terhadap pelaku tidak setimpal atas perbuatannya. Dan untuk korban hanya diberikan sebatas perlindungan hukum, tetapi melupakan bagaimana dampak dari kekerasan seksual yang dialaminya. Tidak ada jaminan pemulihan kesehatan, baik secara fisik maupun mental.
Sehingga dapat disimpulkan apa pun nama undang-undangnya, berapa banyak pun pasalnya, dan apa pun bentuk hukumannya, selama paham sekularisme meracuni sistem pemerintahan di negeri ini, dimana peran agama tersingkirkan dari berbagai espek kehidupan bahkan bernegara, maka itu semua bukanlah menjadi solusi atas permasalahan kekerasan seksual yang terjadi di negeri ini.
Sistem Pemerintahan Islam Solusinya
Lain halnya dengan sistem pemerintahan Islam, setiap permasalahan akan diselesaikan sampai ke akar-akarnya, termasuk persoalan kekerasan seksual. Diceritakan dalam ar-Rahiq al-Makthum oleh Syaikh Shafiyurrahman, suatu ketika ada seorang wanita Arab yang datang ke pasar kaum Yahudi Bani Qainuqa dan ia duduk di dekat pengrajin perhiasan. Tanpa diketahui oleh muslimah tersebut, ternyata ujung jilbabnya diikat oleh pengrajin perhiasan, sehingga saat ia berdiri tersingkaplah auratnya. Spontan muslimah itu berteriak dan didengar oleh seorang pemuda muslim yang juga berada dipasar itu. Dia menolong muslimah itu dan membunuh pengrajin perhiasan tersebut. Orang-orang Yahudi pun membalas perbuatan pemuda muslim, mereka mengikat dan membunuhnya.
Kejadian tersebut sampai kepada Rasulullah saw, akhirnya bersama pasukannya Rasulullah saw mengepung Bani Qainuqa dengan ketat. Bani Qainuqa akhirnya menyerah setelah dikepung selama 15 hari. Hampir seluruh kaum pria Bani Qainuqa dihukum mati oleh Rasulullah saw. Tetapi Abdullah bin Ubay memohon kepada Rasulullah agar memaafkan mereka. Rasulullah saw bermurah hati dan memaafkan mereka, tetapi Bani Qainuqa diperintahkan Rasulullah untuk pergi sejauh-jauhnya dan tidak boleh lagi tinggal di Madinah.
Kisah tersebut adalah salah satu potret bagaimana Islam begitu melindungi kehormatan wanita. Selain itu, Islam juga memberikan solusi dan cara penanggulangan kekerasan seksual.
Pertama, Islam mengatur interaksi antara kaum wanita dan pria, baik dalam ranah sosial maupun pribadi. Akidah Islam adalah dasarnya, setiap muslimah diwajibkan untuk menutup auratnya. Sebab munculnya kekerasan seksual bisa terjadi karena adanya rangsangan dari luar atau Ghariza Nau'. Dalam ranah sosial, interaksi antara wanita dan pria hanya dibolehkan dalam ranah yang betul-betul membutuhkan interaksi seperti dalam lingkup pendidikan (sekolah), kesehatan (rumah sakit), ekonomi (pasar).
Kedua, hukuman yang diberikan dalam Islam sangat tegas dan memberikan efek jera bagi setiap pelakunya bahkan orang yang melihat hukuman tersebut akan takut untuk melakukan perbuatan yang sama. Contohnya, jika pelaku belum menikah maka pelaku akan dihukum cambuk 100 kali dan diasingkan.
Mekanisme ini hanya mampu diterapkan oleh sistem pemerintahan daulah khilafah Islamiyyah. Sistem pemerintahan yang bukan hanya melindungi dan menjaga kehormatan wanita dan anak-anak, tetapi melindungi seluruh mahluk ciptaan Allah Swt. Sistem pemerintahan yang mampu menyelesaikan dan mengatasi problematika kehidupan, termasuk masalah kekerasan seksual.
Wallahu a'lam bish-shawab.[]