"Ironi sekali. Lagi-lagi publik menyaksikan perjalanan pemberantasan korupsi era demokrasi penuh dengan kepentingan politik. Tidak memberi efek jera bagi para pelakunya, justru semakin meningkat setiap tahunnya. Kalau begini adanya, masihkah mempercayai sistem demokrasi dan penguasanya mampu memberantas korupsi?"
Oleh. Rindyanti Septiana, S.H.I.
(Pemerhati Sosial dan Politik)
NarasiPost.Com-Kita patut berduka dengan sikap pemerintah dalam memberantas korupsi. Konon katanya harus bertindak tegas tanpa pandang bulu. Namun, faktanya pemberantasan korupsi menemui jalan buntu.
Kejahatan korupsi makin susah diberantas, intrik politik kerap kali mengitari dalam menyelesaikan setiap perkara. Bahkan, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Lalola Easter menyatakan sejarah akan mencatat, betapa hancurnya pemberantasan korupsi dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo (cnnindonesia.com, 14/9/2021).
Lola menambahkan, ada beberapa indikator terkait mandeknya kinerja pemerintah dalam memberantas korupsi. Pertama, kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengendur, dalam dua tahun terakhir terlihat penurunannya. KPK masih banyak utang menyelesaikan berbagai kasus korupsi. Kedua, adanya dugaan pelanggaran etik yang serius oleh salah satu komisioner. Ketiga, KPK lebih mengedepankan citra daripada kinerja pemberantasan korupsi.
Dari semua indikator di atas, tampaknya KPK memang tak bertaring lagi terhadap para koruptor. Apalagi, sejak direvisi kembali UU KPK makin menunjukkan ada kepentingan tertentu di dalamnya. Pemberantasan korupsi hanya angan-angan, tidak bisa diwujudkan.
TWK Menjegal Pemberantas Korupsi?
Buntut dari pemecatan terhadap 57 pegawai yang tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) menurunkan kepercayaan rakyat terhadap lembaga anti korupsi bernama KPK. Penyidik senior KPK, Novel Baswedan tak menduga pimpinan KPK melakukan pemecatan tersebut. Padahal, mereka yang tak lulus TWK telah lama berjuang melawan korupsi dengan segala risikonya (kumparan.com, 15/9/2021).
Publik pun menjadi bertanya-tanya, benarkah TWK menjegal pemberantas korupsi? Meski publik mengetahui hasil putusan mahkamah agung (MA) yang menyatakan tindak lanjut hasil TWK ada di tangan pemerintah bukan KPK. Seperti diketahui, telah diumumkan bahwa pemecatan 57 pegawai KPK akan dilakukan pada Kamis (30/9/2021).
Setelah merevisi UU KPK, lalu saat ini memberlakukan TWK pada pegawai KPK, menunjukkan pada publik bahwa keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi hanya isapan jempol. Tidak sungguh-sungguh, cenderung tebang pilih dan tetap melindungi para koruptor yang menjalin hubungan “baik” dengan pemangku kebijakan yaitu penguasa.
Ironi sekali. Lagi-lagi publik menyaksikan perjalanan pemberantasan korupsi era demokrasi penuh dengan kepentingan politik. Tidak memberi efek jera bagi para pelakunya, justru semakin meningkat setiap tahunnya. Kalau begini adanya, masihkah mempercayai sistem demokrasi dan penguasanya mampu memberantas korupsi?
Memberantas Malah Diberantas
Berantas korupsi berat, lawannya banyak. Kita bisa membayangkan, mesin sistem demokrasi selalu memproduksi para koruptor. Mulai dari kelas teri hingga kelas kakap. Ada yang tertangkap, ada pula yang lepas dari tangkapan.
Kalimat yang menyatakan, “Kami tidak main-main terhadap koruptor, bahkan tak memberi ampun bagi mereka yang menyelewengkan amanah jabatannya dengan mengambil uang rakyat dan negara. Akan segera kami tindak.” Kalimat pernyataan ini sering kita dengar dalam pidato yang disampaikan pucuk pimpinan negeri. Namun, itu hanyalah pidato kosong, kerap kali berbeda dengan pelaksanaannya.
Hendak memberantas korupsi justru malah diberantas. Saat dilakukan survei di tengah publik pada tahun lalu, penegakan hukum dan penegakan korupsi masuk dalam kategori tingkat kepuasan terendah. (nasional.tempo.co, 14/2/2020).
Jangan bertanya, bagaimana sikap dari pucuk pimpinan negeri? Karena minim tanggapan, justru mengembalikan masalah ini kepada mereka yang berwenang. Padahal, para pegawai yang dipecat sedang mengurusi kasus-kasus besar. Disinyalir pemecatan dilakukan dengan alasan tak lulus TWK cara untuk “mendiamkan” kasus-kasus besar yang sedang ditangani. Maka, layak mendapatkan rapor merah dalam memberantas korupsi.
Islam Memberantas Korupsi hingga ke Akarnya
Dalam Islam, koruptor dikenai hukuman ta’zir berupa tasyhir atau pewartaan (dahulu dengan diarak keliling kota, sekarang bisa ditayangkan di televisi seperti yang pernah dilakukan), penyitaan harta dan hukuman kurungan, bahkan sampai hukuman mati. Pejabat publik pun tidak diperkenankan menerima hadiah dan suap.
Rasulullah saw. bersabda, “Laknat Allah terhadap penyuap dan penerima suap.” (HR Abu Dawud). Memberikan hadiah kepada aparat pemerintah, Rasul pun mengingatkan, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur.” (HR Imam Ahmad)
Khalifah juga menetapkan kebijakan perhitungan kekayaan para pejabat sebelum dan setelah menjabat. Jika ada selisih yang tidak masuk akal, maka Negara Islam bisa mengambilnya. Melarang para pejabat berbisnis, agar tidak ada konflik kepentingan.
Kemudian menetapkan hukuman yang keras bagi para koruptor untuk memberi efek jera. Menjatuhi sanksi dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati. Inilah cara yang dilakukan oleh Islam untuk memberantas korupsi hingga ke akarnya.[]