"Pendidikan itu hak rakyat yang harus dijamin oleh negara. Namun faktanya rakyat miskin dilarang berpendidikan "
Oleh: Qaulan Karima
NarasiPost.Com-Mencerdaskan kehidupan bangsa, merupakan salah satu cita-cita utama berdirinya negara ini. Konsekuensi dari cita-cita tersebut adalah dengan menjamin hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan. Negara mewajibkan warga negara untuk memperoleh pendidikan dasar dan negara wajib membiayai pendidikan. Poin-poin tersebut terpapar jelas dalam Pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945 amandemen ke-4 sebagai sebuah mandat bagi siapa pun yang menjalankan roda pemerintahan di negara ini. Meskipun demikian, sampai saat ini negara belum menunjukkan komitmennya dalam menjalankan tanggung jawab yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar tersebut.
Berdasarkan data yang dipaparkan oleh Kementerian PPN/Bappenas pada tahun 2019 (dilansir dari medcom.id), sebanyak 4.336.503 siswa Indonesia putus sekolah. Potensi putus sekolah paling banyak terjadi di usia 15-16 tahun. Mereka tidak dapat melanjutkan sekolah karena permasalahan ekonomi keluarga. Anak-anak tersebut terpaksa putus sekolah untuk bekerja atau menikah agar dapat meringankan beban ekonomi keluarga karena biaya pendidikan yang tinggi. Keprihatinan bertambah saat pandemi melanda dunia, tidak terkecuali Indonesia.
UNICEF mencatat bahwa pada tahun 2020, hampir 694 anak dari 938 anak usia 7-18 tahun yang turut serta dalam survei, mengatakan alasan tidak sekolah di masa pandemi diakibatkan oleh tidak adanya biaya. (Jayani, 2021)
Baru-baru ini, Kepala Lembaga Beasiswa Baznas (dilansir dari jawapos.com), mengatakan bahwa sepanjang tahun 2020, angka putus kuliah di Indonesia mencapai 602.208 jiwa. Jumlah ini merupakan peningkatan sebesar 50% dari tahun sebelumnya. Melihat angka-angka pada data tersebut, kita dapat simpulkan bahwa pertama, kejadian anak putus sekolah terjadi di setiap jenjang pendidikan. Kedua, sebab terbesar dari tingginya angka putus sekolah yakni kondisi ekonomi keluarga yang terbebani dengan biaya pendidikan.
Kebijakan Pendidikan Tak Berpihak Pada Rakyat
Di tengah karut&marutnya pendidikan Indonesia, pemerintah justru mengeluarkan kebijakan-kebijakan kontroversial yang tidak berpihak pada rakyat. Jasa pendidikan atau sekolah yang sebelumnya merupakan jasa bebas pajak pertambahan nilai (PPN), beberapa bulan lalu diwacanakan akan dikenakan PPN. (dilansir dari viva.co.id)
Alih-alih membiayai pendidikan rakyat, pemerintah justru menarik pajak dari rakyatnya atas jasa pendidikan yang diterima rakyat. Kebijakan pendidikan kapitalistik lainnya, dapat kita lihat pada kebijakan yang terkesan memerdekakan, tampak inovatif namun ternyata hanya fatamorgana. Kebijakan tersebut memperluas komersialisasi pendidikan. Perguruan tinggi negeri didorong agar memiliki otonomi non-akademik dengan mempermudah pemberian status Perguruan Tinggi Berbadan Hukum (PTN BH). Status tersebut membuat negera perlahan-lahan mencabut subsidinya untuk PTN.
Dengan demikian, untuk menopang keberlangsungan operasional kampus, cara paling mudah untuk memperoleh pundi-pundi, yakni dengan membebankan biaya operasional pada peserta didik dengan istilah biaya kuliah. Perguruan tinggi negeri yang semula terkenal dengan biayanya yang terjangkau semua kalangan, saat ini tidak berbeda jauh dengan perguruan tinggi swasta. Akhirnya, kesenjangan akses pendidikan tinggi antara si miskin dan si kaya semakin luas.
Dua kebijakan tersebut hanya gambaran dari sekian banyak kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat. Negara menggunakan logika liberalis-kapitalis dalam menyusun kebijakan pendidikan. Logika tersebut berorientasi pada kebebasan seluas-luasnya untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya dari penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Demi mengejar keuntungan negara, rakyat diabaikan. Sungguh kita telah dikhianati oleh negara penganut sistem kufur.
Permasalahan pelik pendidikan di negara ini, perlu diselesaikan dengan sebuah sistem yang komprehensif dan solutif yakni sistem Islam agar tak ada lagi anak putus sekolah hanya karena kekurangan biaya.
Pembiayaan Pendidikan dalam Sistem Islam
Kita dapat belajar tentang pembiayaan pendidikan dari praktek baik pada masa kekhalifahan Umar bin Khathab. Pembiayaan pendidikan memiliki dua sumber pembiayaan berdasarkan jenis pendidikan, yakni pendidikan formal dan nonformal.
Pembiayaan pendidikan formal wajib menjadi tanggung jawab negara bersumber dari Baitul Mal. Sedangkan pembiayaan pendidikan nonformal bersumber dari wakaf para orang-kaya. Rakyat dijamin oleh negara untuk memperoleh pendidikan formal secara gratis. Demikian halnya dengan pendidikan nonformal, rakyat dapat memperolehnya secara gratis atau setidaknya dengan biaya yang terjangkau oleh semua kalangan.
Negara dengan sistem Islam kafah sangat mungkin untuk memberikan pelayanan pendidikan gratis karena negara benar-benar menguasai sumber daya alam di negaranya sebagai sumber pemasukan negara dari pos kepemilikan umum. Negara juga mampu menumbuhkan kesadaran para orang kaya untuk mewakafkan harta bendanya sebagai salah satu wujud ibadah kepada Allah subhanahu wa ta'ala.
Peran-peran negara seperti ini akan sulit diwujudkan ketika suatu negara masih menganut paham sekularisme, liberalisme, dan kapitalisme. Paham yang menjauhkan manusia dari agama dan hanya berorientasi pada keuntungan materiil duniawi dan hanya berpihak pada kepentingan segelintir orang para penguasa modal. Sudah saatnya negeri yang memiliki penduduk muslim terbanyak di dunia ini, dengan berbagai persoalan di dalamnya, mulai hijrah dengan sungguh-sungguh menerapkan Islam secara kafah dalam menjalankan roda pemerintahan. Apabila Islam kafah tegak di negeri ini sehingga menghadirkan keridaan Allah, bukan hal yang mustahil negeri ini dapat terbebas dari berbagai permasalahan pelik.
Allah Swt berfirman, “Dan di antara manusia ada yang mengorbankan dirinya untuk meraih keridhaan Allah. Dan Allah Maha Penyantun terhadap hamba-hamba-Nya." (Al-Baqarah: 207)
Wallahu a'lam bis-shawab.[]