"Kebijakan impor sebagai kebijakan jangka pendek agar memenuhi kebutuhan masyarakat merupakan salah satu penjajahan neoliberal. Hal ini berdampak besar bagi para petani dimana harga yang ada di pasaran akan bersaing dengan harga cabai impor."
Oleh : Ira Rahmatia
(Aktivis Dakwah Nisa Morowali)
NarasiPost.Com-Petani lagi-lagi menjerit di tengah pandemi yang tak berkesudahan. Mereka harus menerima kenyataan bahwa saat mereka panen, harga jual cabainya turun jauh di bawah harga normal.
Dilansir dari RCTI.com, baru-baru ini beredar video yang memperlihatkan seorang petani marah hingga mengamuk dan merusak kebun cabai miliknya. Hal ini diduga akibat harga cabai di pasaran turun. Petani tersebut juga kesal hingga menginjak-injak tanaman cabai milknya.
Hempri Suyatna sebagai salah satu Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Yogyakarta menyayangkan kebijakan adanya impor cabai yang dilakukan pemerintah Indonesia pada saat pandemi. (Ayoyogya.com, 29/8/2021)
Berdasarkan data yang dihimpunnya, pada bulan Januari-Juni 2021 ini, Indonesia melakukan impor cabai yang mencapai 27.851,98 ton atau senilai Rp8,58 triliun. Hal ini tentu berbanding terbalik dengan harapan petani yang menginginkan agar tidak ada saingan harga di pasaran yang justru bisa memicu anjloknya harga cabai lokal.
Akibat impor ini, harga cabai merah keriting yang awalnya Rp25.0000-Rp30.000 turun menjadi Rp2.000-Rp3.000 per kilogram. Adapun harga cabai rawit yang awalnya Rp35.000 per kg anjlok menjadi Rp8.000 per kg. Begitupun dengan jenis cabai lainnya yang turut mengalami penurunan di bawah harga standar.
Slamet sebagai salah satu Anggota Komisi IV DPR RI mengemukakan bahwa hal ini menunjukkan pemerintah tidak berpihak pada petani Indonesia. Lebih lanjut, ia mengimbau agar pemerintah perlu melihat kembali kebijakan pangan yang menjadi landasan kerja dalam era Kabinet Indonesia Maju. Seperti diketahui kebijakan pangan yang ditetapkan merujuk pada peningkatan kesejahteraan para petani.
Ironi Kesejahteraan Petani di Negeri Pangagung Demokrasi
Demokrasi yang telah di agung-agungkan dalam beberapa dekade terakhir nyatanya tak memihak pada kesejahteraan rakyat. Buktinya para pemimpin negeri hanya sibuk untuk mengembalikan modal politik dan mempertahankan kursi jabatan. Walau tak bisa dimungkiri bahwa anjloknya harga cabai disebabkan juga karena sepinya pasar akibat PPKM yang terus berlanjut. Juga impor komoditas cabai yang sudah dilegalkan pemerintah. Dalih pemerintah, bahwa impor untuk menstabilkan harga hanya alasan untuk lepas tanggung jawab mengurusi petani.
Selama memegang kendali, para penguasa terus berusaha mengembalikan modal yang diperolehnya dari para kapitalis yang telah membiayai proses pemilihannya. Sehingga tak heran ketika kebijakan yang diambil banyak yang diputuskan dengan pertimbangan bahwa berbagai kepentingan para kapitalis harus lebih diutamakan daripada kepentingan rakyat atau mayoritas rakyat. Dengan kata lain, penguasa dalam sistem sekuler kapitalis menghalalkan segala cara agar dapat merebut kursi kekuasaan juga mempertahankan kedudukannya dengan berpeluk erat dengan para pengusaha yang telah mengusungnya. Tak hanya itu, banyak pula yang menduduki kursi kekuasaan dengan berperan ganda sebagai penguasa dan pengusaha.
Anjloknya harga komoditas ini bukan hanya sering terjadi pada cabai, namun juga selalu berulang pada komoditas lainnya. Para penguasa juga berdalih bahwa turunnya harga ini juga disebabkan karena surplusnya hasil pertanian. Lalu, mengapa seringkali mengimpor pada saat petani lokal memiliki hasil pertanian yang cukup?
Kebijakan impor sebagai kebijakan jangka pendek agar memenuhi kebutuhan masyarakat merupakan salah satu penjajahan neoliberal. Hal ini berdampak besar bagi para petani dimana harga yang ada di pasaran akan bersaing dengan harga cabai impor.
Tentu saja, hal ini menyebabkan petani-petani lokal kalah dan hasil panennya tak terbeli. Untuk itu kebijakan ini sangat berbahaya karena tak hanya melemahkan sektor pertanian dalam negeri, namun juga dapat mematikan sumber ekonomi petani. Jika kebijakan impor ini terus berlanjut, otomatis menguntungkan petani luar negeri dan merugikan petani lokal. Dampak lainnya ialah pengeluaran devisa negara semakin besar dan tentu saja memengaruhi keuangan negara yang semakin seret di tengah pandemi.
Demikianlah potret penguasa dalam sistem demokrasi. Mereka gagal mengurus pemenuhan kebutuhan rakyat karena lebih berorientasi untuk mengembalikan modal politik dan mempertahankan kursi. Berbeda dengan penguasa dalam sistem Islam. Mereka terpilih untuk menunaikan amanah yang diberikan umat. Dengan kecerdasan dan keimanannya mampu mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mampu menyejahterakan rakyat.
Pandemi yang merupakan persoalan utama harus segera ditangani sesuai syariat. Tak dibiarkan berlarut dengan kebijakan yang setengah-setengah.
Hal ini untuk mempersingkat masa karantina wilayah dan masyarakat bisa segera beraktivitas dengan normal kembali untuk termasuk melindungi jalannya perekonomian rakyat agar terus menyejahterahkan.
Pemilihan kepemimpinan dalam Islam yang terbebas dari intervensi kapitalis juga membuat Sang Khalifah mampu mengatur negara secara mandiri, bukan disetir oleh para kapitalis. Sang Khalifah hanyalah berharap rida Allah Swt dengan menerapkan hukum-hukum Allah karena ia yakin amanahnya akan di mintai pertanggungjawaban di akhirat. Sehingga jelaslah dalam kepemimpinannya yang menginginkan kesejahteraan rakyat dapat tercapai.
Maka salah satu cara menghentikan rintihan petani di tengah pandemi, yakni memutus ketergantungan pada pangan impor. Sehingga untuk terlaksananya hal itu dibutuhkan negara yang punya visi jelas dan jajaran pemerintah yang dengan tulus untuk menyejahterahkan rakyatnya, berperan sebagai pelayan rakyat, bukan pebisnis yang pro kapitalis.
Dalam Islam, negara berkewajiban untuk melindungi kepentingan warga negaranya dan mencegah ketergantungan kepada pihak asing. Hanya sistem Islamlah yang mampu menjalankan roda perekonomian dalam kesejahteraan hakiki di bawah naungan Khilafah Islamiyah.[]