Penghapusan Mural, Bentuk Pembungkaman Kritik (?)

"Sebuah kenyataan hidup di negara dengan sistem demokrasi kapitalisme (baca: Indonesia) bahwa hak-hak rakyat tidak terpenuhi dengan semestinya. Rakyat terus dizalimi dan suaranya dibungkam dengan aneka kebijakan dan undang-undang yang dibuat peguasa. Penguasa mengubah hukum sesuai kepentingan mereka sendiri dan untuk kelanggengan kekuasaannya, bukanlah hal yang mengejutkan."

Oleh. Dianita
(Mahasiswi di Malang)

NarasiPost.Com-Sempat viral mural dengan gambar wajah yang diduga mirip Presiden Joko Widodo dengan mata tertutup tanda merah bertulis "404: Not Found". Konon mural ini berada di dinding terowongan inspeksi Tol Kunciran-Bandara Soekarno Hatta di Batuceper, Kota Tangerang, Banten. Namun, kini gambarnya sudah tidak jelas lagi bentuknya. Adapula mural di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur bergambar dua karakter kartun dengan tulisan "Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit" yang kini juga tergantikan dengan tembok polos bercat kuning.
Penghapusan juga terjadi pada mural yang bertuliskan "Tuhan Aku Lapar!" di Tangerang, Banten. Kini di mural tersebut diblok dengan warna hitam, dan tulisannya menjadi tidak terbaca.

Karya seni seperti mural ini harusnya bukan sesuatu yang tergolong membahayakan. Ini adalah salah satu bentuk penyaluran aspirasi masyarakat. Dimana mungkin ini juga bentuk penyaluran kebuntuan teriakan masyarakat yang tidak didengar oleh penguasa. Alih-alih mendengarkan, memahami keluh kesah raknyatnya, dan mengoreksi diri, pemerintah malah menghapus mural-mural ini dan mencari si pembuat mural. Hal ini malah mencitrakan pemerintahan yang paranoid terhadap kritik. Pakar sosiologi politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun, menyebut respons pemerintah dan aparat berlebihan. "Aparat berlebihan atau paranoid terhadap kritik. Apalagi kritiknya sekadar lukisan, kata-kata, melalui mural." (bbc.com, 16/08/2021)

Respon pemerintah dan aparat yang seperti ini justru memberikan citra akan pemerintahan yang otoriter. Penghapusan mural menunjukan adanya upaya pembungkaman kritik publik terhadap kekuasaan yang sedang berdiri. Selain itu, tindakan ini juga menunjukan ketakutan pemerintah bahwa apa yang disuarakan adalah fakta yang berusaha untuk ditutupi.

Democracy was Dead

Dalam segala konsep demokrasi di mana pun berada, bahkan sejak kemunculannya pada abad ke-18 di Eropa saat itu, bahwa demokrasi muncul sebagai reaksi atas otorisasi model kerajaan (monarki absolut) yang telah sekian lamanya berkuasa. Menurut Aristoteles bahwa prinsip demokrasi adalah kebebasan, karena hanya melalui kebebasanlah setiap warna negara bisa saling berbagi kekuasaan di dalam negaranya. Dalam buku berjudul Nidzomul Islam karya ulama terkemuka dunia, Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, setidaknya ada empat kebebasan yang dijamin dalam sistem demokrasi, di antaranya kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, kebebasan bertingkah laku, dan kebebasan berkepemilikan. Bahkan karena dalih kebebasan berpendapat ini, menjadikan demokrasi kelu di hadapan oknum-oknum yang melecehkan Islam dan syariatnya.

Kebebasan berpendapat juga dijamin dalam konstitusi Republik Indonesia, yaitu UUD 1945 pasal 28 yang berbunyi setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Namun, ketika melihat realita di lapangan, untuk sekadar menulis mural saja tidak diakomodasi dengan tepat oleh kekuasaan. Bahkan tidak jarang berakhir dengan dikejar-kejar oleh aparat berseragam karena dianggap makar dan menganggu ketertiban umum. Apakah ini menjadi tanda bahwa democracy was dead? Ataukah memang demokrasi sudah mati sejak dilahirkan akibat dari hipokritnya konsep demokrasi. Pada faktanya justru suara-suara kritis publik harus mendapatkan tindakan otoriter dari penguasa setempat. Padahal konon menurut Presiden Federal Jerman, Cristian Wuff, saat menyampaikan kuliah umum di Universitas Indonesia pada 1 Desember 2011 silam, bahwa Indonesia adalah negara terbesar yang berhasil melaksanakan demokrasi, sebagai negara muslim terbanyak di dunia. (nasional.tempo.co, 2/12/2011)

Sebuah kenyataan hidup di negara dengan sistem demokrasi kapitalisme (baca: Indonesia) bahwa hak-hak rakyat tidak terpenuhi dengan semestinya. Rakyat terus dizalimi dan suaranya dibungkam dengan aneka kebijakan dan undang-undang yang dibuat peguasa. Penguasa mengubah hukum sesuai kepentingan mereka sendiri dan untuk kelanggengan kekuasaannya, bukanlah hal yang mengejutkan. Karena demokrasi lahir dari asas hidup sekulerisme yang meniadakan peran Tuhan dalam mengatur kehidupan. Menetapkan benar dan salah berdasar pada siapa yang berkuasa, bukan kepada benar dan salah menurut Tuhan dalam kitab suciNya.

Islam menjamin kritik dan muhasabah dari rakyat

Islam diturunkan Allah SWT sebagai agama sempurna dan paripurna yang didalamnya berisi seperangkat aturan kehidupan yang komplit dan menyeluruh. Islam menjadikan akidah islam sebagai dasar menjadi seorang muslim dan syariat islam sebagai peta hidupnya. Oleh karena itu, nafas islam dan muslim adalah taat kepada aturan Tuhan, bukan nafas sekulerisme yang memisahkan aturan Tuhan dalam kehidupan. Terlebih lagi bahwa sekulerisme bukan berasal dari rahim islam, namun berasal dari antitesa kekuasaan monarki absolut bermodus suara raja adalah suara Tuhan

Kekuasaan islam adalah kekuasaan basyariyah dimana kepemimpinan negara dijalankan oleh manusia biasa, bukan nabi dan rasul. Sehingga mengandung konsekuensi berupa adanya kekhilafan ketika penguasa menjalankan roda pemerintahan bersama rakyatnya. Kekhilafan ini menimbulkan kemudharatan dan kedzaliman yang besar terhadap rakyat. Untuk itu, hukum syariat menjadi rambu-rambu penguasa dalam mengurusi rakyat. Menjalankan syariat islam sepenuh hati dan kemampuan agar keridhoan Allah SWT didapat oleh penguasa maupun rakyat yang dipimpin.

Islam menetapkan bahwa relasi antara penguasa dengan rakyat selayaknya relasi antara ibu dan anak, dimana penguasa bertanggung jawab atas urusan rakyat. Relasi yang dibentuk adalah amar ma’ruf nahi mungkar yang dilakukan kedua belah pihak. Penguasa menerapkan syariat islam secara kaffah, sedangkan rakyat melakukan aktifitas dakwah berupa kritik dan muhasabah terhadap setiap kebijakan yang ditetapkan penguasa. Penguasa islam bukanlah penguasa yang antikritik dan muhasabah. Penguasa islam adalah cerminan dari penerapan syariat islam yang rahmatan lil’alamin. Mekanisme seperti ini akan menghalangi seseorang penguasa bisa bertindak arogan, bebal dan diktator sebagaimana yang mampu dilahirkan oleh sistem demokrasi sekulerisme seperti sekarang ini.

Tidak hanya rakyat secara individu yang bisa menyampaikan kritik dan muhasabah, akan tetapi kelompok/partai dan struktur negara islam lain seperti Majelis Umat juga dijamin dalam penyampaian aspirasi rakyat dibawah. Semua elemen berjibaku mengontrol kekuasaan penguasa demi terlaksananya penerapan syariat islam secara kaffah dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Semua manusia berlomba-lomba menjadi yang terbaik di hadapan Tuhan Semesta Alam. Berharap pada balasan Allah SWT berupa pahala dan surga, siapa yang tidak mau?[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Dianita Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Antara Taliban dan Afganistan
Next
Khilafah, Penjaga Utama Agama
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram