Papua Merana dalam Asuhan Kapitalisme

"Selain PT Freeport, faktanya banyak lagi perusahaan yang berebut lahan tambang dan perkebunan di sana, seperti perusahaan Korea yang berinvestasi di perkebunan sawit. Pun anak-anak perusahaan yang dimiliki para pejabat di pusat kekuasaan tidak mau kalah untuk mengambil “jatah” dari bongkahan gunung emas Papua"

Oleh: Maman El Hakiem

NarasiPost.Com-Kepulauan besar dengan kekayaan alam yang melimpah, itulah Papua. Provinsi paling timur dari bentangan nusantara tercinta ini, laksana ratna mutu manikam. Namun, nasionalisme telah menjadikan garis imajiner manusia membatasi dirinya, sehingga mereka seperti saudara asing. Adanya perbedaan suku, ras dan warna kulit sering menjadi isu disintegrasi. Padahal, sebenarnya manusia memiliki akar yang sama, terlebih Islam telah menjadikan ikatan akidah sebagai pemersatu manusia untuk berkasih sayang. Hanya saja, catatan sejarah Papua selalu dipolitisasi kekuasaan yang membuatnya seolah terpencil dan terkucilkan.

Banyaknya suku bangsa dan ragam budaya menjadikan bumi cenderawasih tersebut memiliki karakter tersendiri. Luas wilayahnya 785,753 km2, secara geografis merupakan daerah pegunungan yang terkenal dengan hutan hujan tropisnya. Hutan yang menjadi rumah bagi puluhan ribu jenis flora dan ribuan tumbuhan endemik. Berbagai hewan eksotis juga bisa ditemui di pulau ini, di antaranya burung cenderawasih, kasuari, kuskus, dan lainnya.
Bukan hanya keragaman hayati, juga ditambah kekayaan tambangnya, menjadikan Papua terkenal hingga ke mancanegara. PT Freeport Indonesia sebagai perusahaan asing terbesar yang mengantongi izin pemerintah untuk mengelola tambang di Kabupaten Mimika, telah lama mengeruk galian tembaga, emas, dan perak. Bahkan, kawasan Grasberg adalah salah satu deposit tambang emas dan tembaga terbesar di dunia.

Kontrak PT Freeport selalu diperpanjang tentu dengan alasan politis , bukan hanya karena potensi emas, tembaga dan bahan tambang lainnya. Berdasarkan analisis tim riset CNBC Indonesia, meskipun telah diteken kesepakatan penguasaan saham 51 persen oleh pemerintah, namun di lapangan potensi kekayaan alam yang dikuasainya ditaksir bernilai Rp2.400 triliun. Terdiri dari kekayaan alam 38,6 miliar pound tembaga, 33,8 juta ounce emas, dan 156,2 juta ounce perak. (CNBC Indonesia, 22/12/2018)

Keadaaan tersebut sangat ironis dengan nasib masyarakat Papuanya sendiri yang masih hidup di bawah jurang kemiskinan. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka kemiskinan di 16 daerah masih tinggi dan menempatkan Papua di tempat teratas, disusul dengan anak provinsinya, yaitu Papua Barat. "Papua masih memiliki persentase kemiskinan yang tertinggi di mana persentase kemiskinannya 26,55 persen. Disusul oleh Papua Barat (21,51 persen)," ujar Kepala BPS, Suhariyanto, dalam konferensi pers, seperti dilansir CNN Indonesia, 15/01/2020.

Kemiskinan yang dialami masyarakat Papua bukanlah karena keterbelakangan budaya yang sering dianggap “marginal”, melainkan kemiskinan struktural karena diasuh oleh sistem kapitalisme. Kenyataan pahit tersebut sungguh sangat beralasan, kapitalisme menjadi biang keroknya karena memandang segala potensi alam itu sebagai kekayaan alam yang boleh dikuasai siapa saja, asalkan memiliki kemampuan modal dan mau bekerja sama dengan kekuasaan. Dibukanya investor asing di lahan yang sangat molek membuat siapa pun menjadi kaya raya. Tidak aneh, jika ada petinggi negara yang dibuat gusar atas pencatutan anak perusahaannya yang disebut-sebut telah bermain mata terhadap beberapa proyek di Papua.

Baca juga :https://narasipost.com/2021/09/10/desiran-peluru-berhamburan-dalam-monopoli-konsesi-tambang-emas-papua/

Jika merunut akar masalahnya, inilah buah busuk kapitalisme yang telah menjadikan kekayaan alam yang sejatinya milik rakyat secara umum telah menjadi milik pribadi, swasta, bahkan asing. Negara seolah tidak berdaya karena kehilangan wibawanya dalam mengatur potensi alam tersebut untuk menyejahterakan rakyatnya secara keseluruhan. Negara dalam kapitalisme hanyalah corong para pemilik modal yang telah menanamakan investasinya. Inilah sistem kekuasaan yang bermain di belakang para pemilik modal. Berpuluh-puluh tahun eksotisme kekayaan alam dikeruk orang-orang yang kemaruk harta dan tahta dengan menelantarkan rakyat yang semakin nestapa.

Selain PT Freeport, faktanya banyak lagi perusahaan yang berebut lahan tambang dan perkebunan di sana, seperti perusahaan Korea yang berinvestasi di perkebunan sawit. Pun anak-anak perusahaan yang dimiliki para pejabat di pusat kekuasaan tidak mau kalah untuk mengambil “jatah” dari bongkahan gunung emas Papua. Adanya kesalahan paradigma memandang kepemilikan alam yang boleh dikelola asing telah membuat Papua selalu merana. Kesalahannya bukan pada siapa yang memimpinnya, melainkan sistem aturan yang diterapkannya.

Kapitalisme telah jelas-jelas hanya berprinsip pada asas manfaat atas kesepakatan bersama melalui suara mayoritas, meskipun faktanya tidak selalu berdasarkan mayoritas suara rakyat. Bukti kegagalan sistem kapitalisme dan kezaliman penguasa kepada rakyatnya adalah adanya ketimpangan kondisi sosial rakyat yang semakin terpuruk di jurang kemiskinan. Pengelolaan alam yang diserahkan kepada pihak asing telah menjadikan negeri ini terjajah, meskipun merasa telah merdeka.

Dengan demikian, hanya aturan Islam saja yang mampu memberikan solusi, yaitu dengan memosisikan kembali pengelolaan sumber daya alam kepemilikannya tetap pada rakyat, sedangkan negara hanya mendapat amanah mengelolanya, tidak menyerahkannya kepada swasta apalagi asing. Karena barang tambang tersebut termasuk dalam kategori harta yang sifat pembentukannya menghalangi dimiliki secara individu, sebagaimana sabda Rasulullah saw.:

ثَلَاثٌ لَا يُمْنَعْنَ الْمَاءُ وَالْكَلَأُ وَالنَّارُ

“Tiga hal yang tidak boleh dimonopoli, yaitu air, rumput dan api.” (HR Ibnu Majah)

Jika negara tidak mampu mengelolanya sendiri, boleh mengupah tenaga ahli dari swasta atau asing. Namun, sebatas akad ijaroh (sewa upah) bukan syirkah, apalagi akad jual beli. Karena akad jual beli harta yang sifatnya umum tersebut akan menjadikan pemindahan kepemilikan, dari kepemilikan umum menjadi kepemilikan individu atau golongan.
Wallahu’alam bish Shawwab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com
Maman El Hakiem Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Fenomena ‘Kutu Loncat’ Parpol, Isyarat Politik Demokrasi Penuh Kepentingan?
Next
Intervensi AS: Kekangan bagi Taliban
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram