Oposisi Makin Mini Ketika Koalisi Makin Meneguhkan Posisi

"Jika fakta sistem demokrasi hanya bisa menjual janji tanpa pernah direalisasikan, sementara rakyat tak pernah menjadi perhatian utama dalam setiap kebijakannya, mengapa masih kita pertahankan?"

Oleh: Ummu Zha

NarasiPost.Com-Partai koalisi pemerintah bertambah lagi dengan masuknya PAN ke dalam gerbong koalisi. Hal ini ditandai dengan hadirnya Ketum PAN, zulkifli Hasan, dan Sekjen PAN, Eddy Soeparno, dalam Rakernas II yang dihadiri oleh presiden dan pimpinan partai pendukungnya, pada Rabu 25 Agustus 2021. Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno, memprediksi bergabungnya PAN ke koalisi pemerintahan Jokowi ini menandai akan terjadinya reshuffle kabinet dalam waktu dekat, dan PAN akan mendapatkan kursi menteri, kata Adi. (Tempo.co, 22-08-2021)

Bergabungnya PAN ke koalisi bukanlah hal mengagetkan, karena sejak 2019 ketum PAN sudah menyatakan mendukung pemerintahan Jokowi meski belum masuk dalam koalisi. Partai pindah posisi dari oposisi ke koalisi dalam sistem demokrasi bukanlah hal yang aneh, karena dalam politik sistem ini tak ada kawan dan lawan yang abadi. Hari ini saling mencaci maki besok cipika cipiki, hari ini saling menyebutkan kebobrokan, besok saling berpelukan menjadi hal yang lumrah dalam sistem demokrasi.

Partai Amankan Posisi Demi Meraih Kursi

Bertambahnya partai koalisi membuat partai oposisi makin mini, bahkan banyak pihak mengkhawatirkan dengan komposisi koalisi dan oposisi saat ini maka tidak akan ada lagi check and balance dalam politik demokrasi. Partai koalisi saat ini mencapai 82%, yang artinya menguasai 471 kursi dari 575 kursi yang ada di DPR, 104 kursi yang tersisa milik oposisi yang kini tinggal PKS dan Demokrat. Seperti yang sudah dipahami bersama bahwa partai yang memosisikan diri sebagai partai oposisi tak akan mendapat jatah kursi dalam pemerintahan. Karena jabatan dalam sistem demokrasi hanya diberikan kepada mereka-mereka yang punya peran dalam pemenangan perebutan kursi atau kepada mereka yang selalu berada di sisi penguasa melakukan puja puji atas setiap kebijakan yang dihasilkan, tanpa bersikap objektif apakah kebijakan yang dikeluarkan menyejahterakan atau justru menyengsarakan. Maka, mereka -mereka yang punya kontribusi akan mendapatkan jatah kursi dari penguasa. Bagi mereka yang tak punya kontribusi, maka jangan berharap akan mendapatkan kursi meski mereka memiliki kemampuan yang mumpuni untuk memangku jabatan tersebut. Maka bergabung dalam koalisi atau dalam barisan para pemuja penguasa adalah jaminan mendapatkan jabatan meski harus menanggalkan idealisme partai dan tak lagi mendengar keluhan rakyat.

Demokrasi Miskin Empati

Inilah realitas politik dalam demokrasi, politik transaksional yang berasaskan manfaat dan kepentingan. Jargon dari rakyat,oleh rakyat, dan untuk rakyat tak mewujud secara hakiki meski pemimpin telah silih berganti. Narasi kesejahteraan untuk rakyat seringkali terucap ketika memikat hati rakyat, tapi yang terjadi adalah kesejahteraan hanya bagi mereka yang menjabat. Fakta yang selalu kita lihat adalah wakil rakyat hanya merapat ketika hendak menjabat dan mulai menjaga jarak ketika sudah menjabat. Rakyat hanya dibutuhkan suaranya ketika pemilihan wakil rakyat digelar dan tak lagi didengar apalagi dijadikan pertimbangan ketika mereka membuat kebijakan. Bahkan suara rakyat pun kini seolah dibungkam, bersuara lewat medsos terkena UU ITE, bersuara lewat mural pun akan segera dihapus.Tak ada kebebasan bersuara karena yang mereka butuhkan hanya pilihanmu di kertas suara, setelah itu janganlah terlalu menggantungkan asa pada mereka karena akan sia-sia belaka.

Apalagi saat ini ketika koalisi sudah menguasai parlemen, dimana hampir semua kebijakan diambil berdasarkan suara terbanyak, maka bisa dipastikan semua keinginan penguasa, partai pendukung, dan pengusaha di balik penguasa akan mudah untuk diketok palu. Lalu bagaimana dengan nasib rakyat? Rakyat akan kembali berjuang sendiri dalam memenuhi semua kebutuhan sehari-hari tanpa mampu menikmati janji manis para politisi ketika dulu mereka didekati. Kesejahteraan yang mereka janjikan selalu hanya menjadi angan-angan.

Banyak fakta yang bisa kita cermati bahwa dalam sistem demokrasi, rakyat tak pernah jadi prioritas. Lihat saja saat ini ketika pandemi masih belum teratasi, politisi sibuk mempersiapkan diri jelang pemilu nanti. Dari mulai pemasangan baliho para elit partai sampai sibuk mengamankan posisi, padahal pemilu masih tiga tahun lagi sedangkan pandemi di depan mata tak jua teratasi.Mereka tak lagi punya hati untuk bisa memahami derita rakyat akibat pandemi. Yang rakyat inginkan dalam waktu dekat adalah pandemi segera berakhir agar mereka bisa kembali mencari sesuap nasi. Tapi bukan solusi yang mereka dapatkan, dari hari ke hari rakyat diperlihatkan tingkah para politisi yang tertangkap korupsi, manis dalam bernarasi, pasang baliho sana-sini, semua hal yang dilakukan tak ada manfaat sama sekali yang bisa dinikamti oleh rakyat bahkan menyakiti.

Kekuasaan dalam Islam

Islam adalah agama yang sempurna dan menyeluruh. Semua aspek kehidupan ada tuntunanya di dalam Islam, termasuk kekuasaan. Pentingnya kekuasaan dalam Islam tercermin dalam ungkapan Imam Al Ghazali berikut, “Sesungguhnya dunia adalah ladang bagi akhirat, tidaklah sempurna agama kecuali dengan dunia. Kekuasaan dan agama adalah saudara kembar, agama merupakan pondasi dan penguasa adalah penjaganya. Apa saja yang tidak memiliki pondasi akan hancur, dan apa saja yang tidak memiliki penjaga akan hilang. Dan tidaklah sempurna kekuasaan dan hukum kecuali dengan adanya pemimpin." (Ihya ‘Ulumuddin,1/17)

Karena kekuasaan adalah hal yang penting agar mampu mengurus seluruh urusan rakyat dan menjamin semua kebutuhan rakyat bisa diakses dengan mudah, maka dalam memilih penguasa pun Islam menetapkan syarat-syarat tertentu. Di antara syarat pemimpin yang harus dipenuhi adalah muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka, dan mampu. Maka seorang pemimpin di dalam Islam haruslah memiliki kemampuan untuk mengemban urusan umat, bukan sibuk mengemban urusan pribadi, partai, dan para pemodalnya.

Pemimpin juga harus mampu berbuat adil kepada semua rakyatnya, baik yang mendukung atau tidak. Bukan hanya bermanis muka dengan para pendukung dan zalim ke yang bukan pendukung dan kepada yang sering memberikan kritikan terhadap kebijakan yang zalim. Pemimpin juga haruslah orang yang merdeka dalam mengambil setiap keputusan tanpa tekanan dari partai pengusung, pengusaha, dan negara-negara asing. Tapi dalam sistem demokrasi yang membutuhkan biaya mahal untuk ikut dalam kompetisi perebutan kursi, tampaknya menemukan sosok pemimpin sejati akan mustahil didapati, karena penguasa harus balas budi kepada mereka yang punya kontribusi.

Khatimah

Jika fakta sistem demokrasi hanya bisa menjual janji tanpa pernah direalisasikan, sementara rakyat tak pernah menjadi perhatian utama dalam setiap kebijakannya, mengapa masih kita pertahankan? masihkah kita berharap tahun 2024 akan mendapati sosok mumpuni dalam memimpin negeri dalam sistem demokrasi?
Marilah kita berpikir jernih, sebaik apa pun sosok yang dicalonkan, ketika sistem yang dijalankan rusak dan merusak maka hasilnya pun tak akan pernah baik. Layaknya mobil yang sudah bobrok, sehebat apa pun sopir yang mengendarainya tak akan mampu membuat kualitas mobil menjadi prima. Kita tidak hanya butuh sosok pemimpin yang mumpuni saja tapi kita juga butuh sistem yang baik yang datang dari Zat Yang Mahabaik, Allah Swt.

“Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" (QS Al Maidah :50)

Saatnya beralih ke konstitusi buatan Illahi yang akan membawa keberkahan bagi seluruh negeri.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Ummu Zha Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Mempersiapkan Bekal Pulang Terbaik
Next
Riak Asa (part 1 )
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram