"Pendidikan merupakan salah satu ornamen kehidupan yang vital demi terciptanya generasi berkualitas pembangun peradaban. Tanpa pendidikan yang memadai, generasi akan tumbuh ala kadarnya, tanpa kemilau intelektual yang mampu membawa negeri ini ke puncak kemajuan. Maka, negara semestinya menjamin terpenuhinya pendidikan berkualitas bagi seluruh masyarakatnya, tanpa terkecuali."
Oleh. Hana Annisa Afriliani, S.S
( RedPel NarasiPost.Com )
NarasiPost.Com-Sejak awal masuknya pandemi Covid-19 ke negeri ini, tatanan kehidupan pun berubah drastis, termasuk dunia pendidikan. Proses pembelajaran tak lagi tatap muka, melainkan via online alias daring. Semua peserta didik, termasuk para orang tua siswa, 'dipaksa' berlari menuju digitalisasi. Meski praktiknya tak semudah membalikkan telapak tangan, sebab banyak kendala mengemuka di lapangan, misalnya masih banyaknya siswa bahkan orang tua yang gagap teknologi, ketiadaan peralatan yang menunjang pembelajaran daring seperti smartphone atau laptop, kesulitan sinyal, kesulitan membeli kuota internet, dan lain sebagainya.
Belum lagi kendala dalam teknis pembelajaran, banyak guru yang kesulitan menyampaikan materi pembelajaran via daring, sebab keterbatasan kemampuan dalam membuat bahan ajar. Maka, tak heran jika banyak sekolah yang akhirnya kehilangan ruh pembelajaran karena minim efektivitas dalam proses belajar mengajar. Wajar pula, jika para orang tua mengeluh atas pembelajaran daring ini, sebab anak didik sulit menangkap materi dan orang tua harus dibebani untuk mengajar ulang anak-anak mereka di rumah. Akhirnya beberapa orang tua berharap pembelajaran tatap muka (PTM) kembali dibuka, demi efektifitas pembelajaran serta demi meringankan beban orang tua yang terpaksa menjadi 'guru' di rumah.
Polemik di Balik PTM
Demi menjawab kegalauan siswa dan para orang tua terkait ketidakefektifan pembelajaran daring, akhirnya Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemenbud Ristek) mengeluarkan kebijakan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas di sekolah yang berada pada daerah yang menerapkan PPKM level 1-3. Pembukaan PTM tersebut juga sesuai dengan instruksi Mendagri Nomor 35, 36, dan 37 Tahun 2021 terkait pelaksanaan PPKM.
Sejak tanggal 22 Agustus 2021, PTM mulai diberlakukan di 261.040 sekolah yang tersebar di berbagai penjuru Indonesia. Menurut, Wiku Adisasmito selaku Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19, pelaksanaan PTM di masa pandemi ini dilakukan secara ketat dengan menerapkan protokol kesehatan serta durasi belajar yang terbatas. (Kompas.com/27-08-2021)
Namun, kebijakan tersebut akhirnya menuai kontroversi. Pasalnya, Nadiem mengizinkan PTM terbatas tetap berlangsung meski peserta didik belum seluruhnya melakukan vaksinasi. Sebagaimana diberitakan oleh Radarbogor.id (26-08-2021) bahwa Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) sangat menyayangkan pernyataan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makarim tersebut. Sebab memang sejauh ini vaksinasi anak usia 12-17 secara nasional dinilai masih lambat. Berdasarkan data Kementrian Kesehatan tercatat bahwa vaksinasi anak baru mencapai 9,34 persen atau 2.494.621 untuk dosis pertama. Sementara vaksin dosis kedua sudah 1.432.264 atau 5,36 persen. Adapu dari jumlah tersebut, sasaran vaksinasi anak usia 12-17 tahun sebanyak 26.705.490 orang.
Sebagaimana kita tahu, bahwa vaksinasi untuk anak di bawah usia 12 tahun belum tersedia. Sementara peserta didik untuk level TK dan SD tentu saja berada di usia yang belum mendapatkan vaksinasi tersebut.
Di sisi lain, vaksinasi sendiri masih memunculkan polemik di tengah masyarakat, mulai dari beredarnya isu soal kandungan vaksin yang berbahaya sehingga membuat masyarakat menjadi takut divaksin, sampai karut-marut birokrasi untuk mendapatkan vaksin yang sulit dan berbelit-belit, khususnya untuk masyarakat yang jauh dari perkotaan.
Urgensi Pendidikan dan Peran Negara
Pendidikan hakikatnya adalah kebutuhan dasar masyarakat yang wajib diselenggarakan oleh negara. Sebab, pendidikan merupakan salah satu ornamen kehidupan yang vital demi terciptanya generasi berkualitas pembangun peradaban. Tanpa pendidikan yang memadai, generasi akan tumbuh ala kadarnya, tanpa kemilau intelektual yang mampu membawa negeri ini ke puncak kemajuan. Maka, negara semestinya menjamin terpenuhinya pendidikan berkualitas bagi seluruh masyarakatnya, tanpa terkecuali.
Di masa pandemi, saat kegiatan masyarakat secara offline serba terbatas, penyelenggaraan pendidikan via daring memang sudah merupakan kebijakan yang tepat. Hal tersebut sejalan dengan kebijakan memutus rantai penularan Covid-19. Namun, jika akhirnya menimbulkan banyak permasalahan, maka pemerintah wajib mengurai dan membenahi permasalahan tersebut.
Jika yang banyak dikeluhkan oleh orang tua adalah soal sinyal, kuota, dan gadget, tentu saja pemerintah perlu menjamin terpenuhinya semua hal tersebut. Karena ketiganya merupakan penopang utama kelancaran pembelajaran via daring. Pemerintah perlu memastikan bahwa sinyal internet telah menjangkau ke seluruh wilayah di Indonesia, termasuk daerah-daerah terpencil. Gadget dan kuota pun perlu di support oleh pemerintah, terutama siswa dari keluarga kurang mampu. Karena hal tersebut sebagai bagian dari ri'ayah negara terhadap rakyatnya.
Dalam pandangan Islam, pendidikan berkualitas wajib dijamin oleh negara. Karena sejatinya, tujuan pendidikan dalam Islam adalah untuk membentuk generasi berkualitas yang tak hanya unggul dalam penguasaan sains dan teknologi, tetapi juga memiliki kepribadian Islam yang mapan. Maka, sistem pendidikan Islam akan berupaya menerapkan kurikulum pendidikan berbasis akidah Islam yang pada praktiknya akan menegakkan proses belajar yang menancap di jiwa dan membangkitkan pemikiran.
Dalam sistem Islam, baik di masa pandemi atau tidak, pendidikan berkualitas akan selalu diupayakan oleh negara, sehingga rakyat dapat memperoleh haknya. Sungguh berbeda dengan sistem kapitalisme hari ini, negara seolah ala kadarnya menyediakan layanan pendidikan bagi rakyatnya. Alokasi dana untuk pendidikan tidak lebih besar dari dana untuk membayar utang dan pembangunan infrastruktur. Akhirnya wajar jika sektor pendidikan kian megap-megap menghadapi tsunami pandemi.
Dalam sistem Islam, pembiayaan pendidikan akan diambil dana di Baitul Mal, sehingga tidak dibebankan kepada rakyat, seperti halnya dalam sistem hari ini. Negara dalam sistem Islam akan membiayai pendidikan, sehingga rakyat mampu mengakses pendidikan berkualitas dengan murah bahkan gratis, terlebih di masa pandemi.
Pun dalam Islam, sektor pendidikan takkan dikomersialisasi demi kepentingan korporasi, melainkan negara akan sepenuhnya memegang kendali. Sistem Islam sangat meresapi prinsip bahwasannya output generasi berkualitas hanyalah akan terlahir dari sistem pendidikan yang berkualitas pula. Maka tentu saja, sistem pendidikan harus bebas dari intervensi pihak mana pun yang bisa jadi akan mendikte arah pendidikan generasi. Sistem pendidikan Islam haruslah independen. Berjalan sesuai visi misi Islam dalam mencetak generasi cerdas, bertakwa, dan visioner, bukan generasi bermental kerdil pemburu materi demi kepentingan industri, seperti halnya yang terpotret dalam sistem pendidikan hari ini.
Akhirnya kita memahami bahwa segala kebijakan pemerintah hari ini senantiasa tak mampu menyolusi, sebaliknya hanya tambal sulam yang masih menyisakan problematika. Sistem kehidupan hari ini tak berkiblat pada aturan Sang Pencipta, maka aneka regulasi yang terlahir darinya pun kerap tumpang tindih. Lantas, tidakkah kita terdorong untuk beralih pada penerapan sistem Islam yang mampu menghadirkan solusi bagi negeri? Tunggu apa lagi, saatnya kita berjuang demi tegaknya sistem Islam kafah dalam naungan Khilafah.[]