"Anggaran negara yang besar justru tak dialokasikan untuk pendidikan atau pun menyejahterakan guru. Para pembuat kebijakan lebih fokus pada memperkaya diri dan kelompoknya. Ya, inilah fakta pahit di negara sekuler."
Oleh: Rochma Ambarwati, A.Md
NarasiPost.Com-Belakangan ini, jagat maya dipenuhi dengan berita pilu dan curhat menyayat hati mengenai tes PPPK (Pengawai Pemerintahan dengan Perjanjian Kerja) yang diikuti oleh sejumlah guru honerer di sebagian wilayah tanah air.
Sebelumnya, kebijakan Menteri Pendidikan Nadiem Makarim menyelenggarakan tes seleksi PPPK seakan memberikan harapan dan asa baru bagi para guru honerer yang selama ini sangat terpinggirkan. Aturan seleksi yang diberikan seakan memudahkan dan memberikan kesempatan bagi mereka untuk menjadi PNS atau paling tidak mendapatkan penghidupan yang lebih layak.
Sang menteri mengkabarkan bahwa setiap guru honerer di mana pun dan dengan usia di atas 35 tahun pun akan diperbolehkan mengikuti tes seleksi. Bahkan, jika ada kegagalan di tes pertama, akan ada kesempatan di tes kedua dan ketiga. Tentu saja harapan para guru honerer pun membuncah. Mereka bersemangat dan antusias mendaftarkan diri untuk tes ini serta menyiapkannya.
Cerita Pilu Tes PPPK
Ternyata, harapan hanyalah tinggal harapan. Justru, cerita pilu dan curhat menyayat hatilah yang akan kita temukan bersliweran di media sosial belakangan ini.
Bagaimana tidak? Sebagian peserta tes PPPK sudah berusia lanjut dengan masa pengabdian sebagai guru honerer yang sudah sangat lama. Mereka harus dihadapkan dengan soal tes sembari mengoperasikan komputer yang tak mudah bagi sebagiannya karena mata sudah tua. Soal yang diberikan juga dirasa tidak banyak berkaitan langsung dengan pekerjaan di sekolah. Terlebih, jawaban untuk soal-soal yang ada cukup panjang, semakin menyakitkan mata. Tak hanya itu, yang paling memilukan dari drama PPPK ini adalah hasil yang tak sesuai harapan. Mereka kecewa, sungguh.
Mengikuti tes ini tidak semudah membalikan telapak tangan. Ada perjuangan menuju lokasi tes. Ada pengorbanan biaya, tenaga dan harapan untuk dinyatakan layak mengikuti tes. Seakan semua pengabdian yang telah dibuktikan puluhan tahun tak ada pengaruhnya di mata penguasa pembuat kebijakan.
Padahal, tes ini seakan menjadi angin segar didapatkannya kesejahteraan yang selama ini sangat jauh dari kenyataan untuk didapatkan. Gaji ratusan ribu sebulan untuk guru honorer yang dirasa sangat tak pantas seakan dapat dinaikan dengan harapan bisa lulus dari seleksi ini. Guru yang sakit, guru yang sudah tua, guru yang minim biaya untuk mengikuti tes, semua menggantungkan harapan pada tes ini.
Guru Honerer Minim Apresiasi
Seperti yang banyak diketahui, apresiasi negara terhadap guru honerer di negeri kita sangatlah minim. Gaji dalam sebulan yang diterima oleh seorang guru honorer biasanya hanya berjumlah ratusan ribu saja. Gaji ini berdasarkan akumulasi banyaknya jam mengajar dalam sepekan. Hitungan per pekan inilah yang dijadikan dasar penggajian bulanan. Sebenarnya sungguh tak adil.
Kecilnya gaji yang diterima guru honerer tentu saja tak sebanding dengan kerja keras dan pengabdian yang selama ini sudah diberikan, terlebih untuk para guru di daerah pedalaman. Tentu beban kerja lebih banyak dengan tanggung jawab yang besar.
Perhatian negara pun juga amatlah minim. Ini terbukti dari tak berubahnya nasib guru honerer sejak bertahun-tahun. Setiap ganti kepala negeri, ada saja harapan baru akan perubahan nasib mereka. Namun, tetap saja kekecewaan yang dirasakan.
Setiap ganti menteri pendidikan, kebijakan yang lebih memperhatikan nasib mereka juga tetap saja diberikan walau hasil akhir tetap sama. Nasib mereka tak berubah. Gaji ratusan ribu per bulan tak pernah mengalami kenaikan.
Anggaran negara yang besar justru tak dialokasikan untuk pendidikan atau pun menyejahterakan guru. Para pembuat kebijakan lebih fokus pada memperkaya diri dan kelompoknya. Ya, inilah fakta pahit di negara sekuler. Nilai-nilai agama tak menjadi ruh dalam menjalankan amanah rakyat. Justru saat menjadi penguasa, itulah kesempatan emas untuk menumpuk kekayaan pribadi sehingga amanah rakyat pun terabaikan, termasuk memperhatikan bagaimana nasib guru-guru honerer dengan gaji yang sangat tak layak.
Guru Mulia dan Sejahtera dalam Naungan Islam
Miris dan pilunya nasib guru ini tentu tak akan pernah ditemukan dalam Islam. Islam memberikan perhatian yang begitu besar pada pendidikan. Dengan pendidikan inilah akan diraih individu-individu muslim yang berkualitas.
Wujud kepedulian negara pada pendidikan dibuktikan dengan apresiasi yang tinggi kepada guru di mana guru dipandang sebagai ujung tombak dalam mendidik umat. Guru harus diberikan rewards yang sepadan dengan tugas berat mereka dalam mencerdaskan generasi.
Sangat masyhur bagaimana pada masa Khalifah Umar bin Khattab, gaji pengajar adalah 15 dinar/bulan atau sekitar Rp36.350.250,- ( 1 dinar = 4,25 gram. Dan jika 1 gram= Rp570.200).
Bukti lain ditemukan pada zaman Shalahuddin al Ayyubi. Gaji guru malah lebih besar lagi. Di dua madrasah yang didirikannya, yaitu Madrasah Suyufiah dan Madrasah Shalahiyyah, gaji guru berkisar antara 11 dinar sampai dengan 40 dinar! Artinya, gaji guru bila di kurs dengan nilai saat ini adalah Rp26.656.850,- sampai Rp96.934.000,-. (Muslimahnews.com)
Tentu angka yang sangat fantastis! Jauh sekali berbeda dengan keadaan sekarang. Guru memang seharusnya dihargai, diberikan apresiasi yang sebanding dengan kerja keras mereka dan juga diberikan derajat yang tinggi di masyarakat.
Status guru pun juga tak akan dibedakan. Tak ada diferensiasi antara guru honorer dan guru PNS. Selama seseorang memiliki peran menjadi guru dengan tugas memberikan pemahaman pada generasi, tentu statusnya adalah guru yang menjadi kewajiban bagi negara untuk menyejahterakannya.
Namun sayang, saat ini keadaan guru masih sangat jauh dari kata layak. Tugas berat dan pengabdian yang dijalankan tak sebanding dengan minimnya pundi-pundi rupiah yang diberikan negara sebagai balas jasa. Negara seakan lupa bahwa nasib bangsa ada di tangan generasi. Dan guru juga memiliki peran sentral dalam membangun generasi. Inilah potret pilu nasib guru honerer yang minim apresiasi.[]