Intervensi AS: Kekangan bagi Taliban

"Kunci utama untuk menyelamatkan Afghanistan ialah asas yang hakiki, yakni Islam yang diterapkan dalam sistem pemerintahan dan lainnya. Inilah alat yang sangat penting untuk dapat mengatur masyarakat Afghanistan."

Oleh: Atik Hermawati

NarasiPost.Com-Secara de facto Taliban berhasil menaklukan istana kepresidenan Afghanistan dan Ibu Kota Kabul. Dilansir dari Reuters (15/08/2021), Presiden Afghanistan, Ashraf Ghani, kabur dari negara tersebut. Ribuan tentara dari AS dan Inggris diterbangkan untuk mengamankan bandara, personel, juga kedutaan besar mereka.

Namun, AS belum juga mengakui Taliban sebagai pemerintah Afganistan yang baru. Sejumlah syarat dilemparkan jika Taliban ingin didukung dan diakui AS. Adapun syaratnya yakni berkaitan dengan inklusifitas. Juru bicara Luar Negeri AS, Ned Price, dalam keterangan persnya meminta Taliban untuk bersikap inklusif dengan menghormati hak asasi manusia, tak terkecuali hak perempuan, tidak memelihara teroris, juga harus demokratis. (Tempo.co, 17/08/2021)

Wajah Terkini Afghanistan

Tahun 1996 menjadi sejarah bagi Taliban yang mulai menaklukan Kabul, hingga tahun 2001 jatuh pada invasi Amerika Serikat. Kini, setelah tersingkir 20 tahun lamanya. Taliban menempati posisi itu kembali. Pasukan yang diperhitungkan Barat setelah Al Qaeda.

Namun demikian, Kabul yang berhasil dikuasai Taliban, tidak secara otomatis menjadikan kekuasaan dan arah Afghanistan secara penuh dijalankannya. Masa transisi ialah wajah Afghanistan kini. Banyak persoalan yang tidak mudah yang harus dihadapi. Yakni bagaimana Taliban akan mengurusi urusan masyarakat untuk terpenuhi kebutuhan dasar mereka, melakukan konsolidasi nasional dalam menyatukan elemen-elemen Afghanistan, serta bagaimana Taliban memosisikan terhadap hubungan dengan luar negeri terutama dengan negara regional di sekitarnya. Dimana saat ini tekanan internasional begitu kuat memaksakan Afghanistan untuk diselesaikan sesuai pandangan Barat. Amerika Serikat, Eropa, Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan negara-negara di kawasan bekerja sama dengan sejumlah partai politik untuk terjun dalam mengatasi Taliban.

AS hengkang dari wilayah tersebut pun dengan proses negosiasi yang panjang dan cukup lama bahkan sejak pemerintahan Donald Trump. Hingga akhirnya Joe Biden memutuskan untuk menarik total pasukan dari Afghanistan kini. Putusan itu tak terlepas dari kesepakatan di Doha, Qatar yang ditandatangani AS dan Taliban 2020 lalu. Dimana poin kesepakatan lainnya ialah AS meminta agar Taliban tidak memberikan ruang bagi Al Qaeda atau teroris lainnya dan pihak-pihak yang mengancam kepentingan AS, juga harus menerapkan pemerintahan yang demokratis.

Hingga Kamis (19/08/3021), Juru Bicara Taliban, Zabihullah Mujahid, mendeklarasikan Emirat Islam Afghanistan melalui Twitter-nya. Dengan deklarasi bahwa telah mengalahkan AS. (Republika.co.id, 20/08/2021). Kemudian Taliban berjanji membuat pemerintah inklusif di Afghanistan. (Kompas TV, 19/08/2021)

Strategi AS Mempertahankan Intervensi

Poin tidak memelihara 'teroris' (dalam kacamata AS ialah Islam yang membahayakan kepentingan AS) dan menerapkan pemerintahan demokratis, menjadi senjata AS untuk tetap melakukan campur tangan. Hal itu bisa dijadikan alasan dan senjata balik untuk menghilangkan kekuasaan Taliban sesungguhnya. Bahkan mereka bisa diperalat dalam memantik perang saudara atas nama WoT.

Direktur Forum on Islamic World Studies, Farid Wadjdi, mengatakan AS melakukan beberapa exit strategy untuk tetap mempertahankan kepentingannya di Afghanistan. Melalui pemerintah boneka dan negosiasi atas nama perdamaian dinilai telah gagal. Lalu memanfaatkan negara-negara regional di sekitar Afghanistan yang di bawah pengaruhnya atau membiarkan Afghanistan dalam kekacauan namun tetap memperhatikan kepentingan vitalnya seperti skenario di Irak. Skenario ini dinilai Farid akan ditempuh sebab sudah tampak berbagai provokasi yang dilakukan AS atas nama pertahanan sipil untuk melawan 'terorisme' yang mengarah pada Taliban. Akibatnya terjadi suplai senjata-senjata kepada masyarakat sipil. (Mediaumat.news, 03/072021)

Bagaimanapun AS ialah negara imperialis, aksi busuk selalu hadir di setiap strategi dan kesepakatannya. Biaya triliunan dolar dan ribuan tentara yang terbunuh menjadi beban besar bagi AS. Pemimpin-pemimpin boneka di Afghanistan yang gagal menarik simpati rakyat, membuat Amerika kewalahan mengendalikan Afghanistan, sejak Presiden Hamid Karzai maupun Ashraf Ghani banyak melakukan korupsi di tengah kemiskinan rakyatnya dan tidak bisa menjamin keamanan. Akhirnya dilakukanlah negosiasi sebagai langkah menyelamatkan muka AS dari kegagalan melawan pasukan Taliban. Negosiasi ini pula sebagai langkah untuk mengikat Afghanistan meskipun AS telah keluar secara raganya. Melalui negara-negara regional di bawah pengaruhnya seperti Pakistan, AS memainkan agar kepentingannya di Afghanistan tetap berjalan.

Baca juga di : https://narasipost.com/2021/09/05/antara-taliban-dan-afganistan/

Tujuan berbagai negosiasi itu bagi AS tak lain ialah untuk kepentingan politik di Afghanistan yakni membendung kebangkitan sistem Islam yang sahih, juga menghambat Cina untuk menguasai. Selanjutnya, untuk kepentingan ekonomi, pipa gas TAPI yang membentang sepanjang 1.814 kilometer dari Turkmenistan dan menyalurkan gas ke Afghanistan, Pakistan, dan India menjadi bidikan utama di tengah eksploitasi lainnya. Juga kepentingan-kepentingan lainnya. Bagaimanapun menjajah ialah metode baku bagi AS walaupun dikemas dalam perjanjian perdamaian.

Belajarlah dari Kekalahan

Ulama besar, Syekh ‘Atha bin Khalil Abu ar-Rasytah menasihati saudara yang jujur ​​dan tulus di Taliban agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Kejadian silam saat Afghanistan jatuh pada Amerika ialah tidak lain karena diplomasi. Masalah utama umat ialah ketiadaan Khilafah, sedangkan partisipasi dalam sekularisme tidak diterima oleh Allah Swt. Beliau kemudian menekankan hanya dengan kebenaran, maka Taliban, negara, rakyat, dan semua muslim akan diselamatkan. Allah Swt berfirman, "Jadi tidak ada setelah kebenaran itu melainkan kesesatan (QS. Yunus: 32)." (Muslimahnews.com, 19/08/2021)

Ya, kunci utama untuk menyelamatkan Afghanistan ialah asas yang hakiki, yakni Islam yang diterapkan dalam sistem pemerintahan dan lainnya. Inilah alat yang sangat penting untuk dapat mengatur masyarakat Afghanistan. Berkompromi dan berpartisipasi dalam sekularisasi yang diagendakan Barat akan memperlemah, bukan memperkuat. Kompromi dengan nilai-nilai sekuler seperti demokrasi telah terbukti menghancurkan sendi kaum muslimin seperti saat kepemimpinan Mursi di Mesir maupun An-Nahdhah di Tunisia.

Negara-negara yang dihadapi Afghanistan saat ini ialah negara-negara yang berkekuatan global, untuk itu diperlukan kekuatan global pula. Membatasi pada Emirat Islam Afghanistan dengan kesepakatan perdamaian versi Barat, justru akan memudahkan penjajahan kembali lagi. Hanya dengan sistem Khilafah sesuai manhaj Rasul saw., Afghanistan akan menghimpun kekuatan yang satu dan superpower bersama negeri-negeri muslim lainnya. Berkali-kali dinyatakan bahwa Khilafah ialah ancaman bagi Barat dan mereka melabeli dengan perang dunia melawan teroris. Padahal teroris yang dimaksud dan dilarang oleh mereka ialah kaum muslimin yang ingin mengembalikan kekuatan Islam secara total dan mencabut cengkeraman penjajah hingga akarnya.

Baca juga di :https://narasipost.com/2021/09/08/taliban-berkuasa-islamofobia-menggejala/

Taliban tidak boleh membentuk hubungan sama sekali dengan Barat maupun Cina yang jelas memusuhi Islam dan umatnya. Segala antek dan intelejen mereka harus diusir secara menyeluruh. Sebab dengan jelas Islam melarang kerja sama dengan pihak yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya. Allah Swt berfirman, "Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya,…" (QS. Al-Fath: 29).

Berkompromi dengan penjajah akan menjauhkan pertolongan Allah Swt. Firman-Nya: "Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolong pun selain Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan." (QS. Hud: 113).

Dengan demikian, bukan hanya harapan masyarakat Afghanistan, melainkan seluruh kaum mukminin untuk hidup dalam naungan sistem yang adil yakni sistem Khilafah ala minhaj an-nubuwwah. Dengan penerapan syariat Islam secara kafah tanpa embel-embel penjajah, negeri-negeri muslim akan bersatu mengembalikan izzah dan kekuatannya di dunia meninggikan untuk kalimat tauhid. Kekalahan masa silam sudah semestinya menjadi pelajaran dan tak berulang.
Wallahu a'lam bishshawab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Atik Hermawati Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Papua Merana dalam Asuhan Kapitalisme
Next
Pemuda Menyongsong Visi Mulia
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram