Desiran Peluru Berhamburan dalam Monopoli Konsesi Tambang Emas Papua

"Sumber daya alam Papua menjadi bancakan korporasi dan penguasa. Aroma korporatokrasi sangat menyengat terendus dalam kasus ini. Lagi-lagi rakyatlah yang kembali menjadi tumbal dalam ambisi keserakahan oligarki."

Oleh: Nurjamilah, S.Pd.I.
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Kembali, pejabat negeri ini melempar somasi pada rakyat yang sekadar membeberkan data demi mengungkap suatu kebenaran. Alih-alih membalas data dengan data. Luapan emosi justru yang menyeruak. Konsesi tambang emas Papua memang menyimpan sejuta misteri. Tanah emas, namun rakyat terkulai lemas. Rupanya korporasi sedang bermain mata dengan penguasa. Tak ayal, urusan militer dan politik ikut terseret dalam pusaran ekonomi.

Diwartakan dari www.bisnis.tempo.co (29/08/2021) bahwa Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, telah melayangkan somasi pada Haris Azhar dan Koordinator KontraS, Fatia Maulida, atas terbit dan viralnya video wawancara mengenai konsesi tambang emas di Blok Wabu, Intan Jaya, Papua. Tak disangka, sejumlah pejabat dan jenderal ikut terseret namanya, di antaranya Luhut dan PT Toba Sejahtera.
Namun, hal itu ditanggapi lain oleh Wakil Ketua I Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Papua, Filep Wamafma, seharusnya Luhut membuka data ke publik soal tudingan itu, data dilawan dengan data. Sehingga, publik bisa menilai dan menelisik kebenarannya. Somasi menjadi pilihan yang emosional dan childish untuk urusan sebesar ini. (www.cnnindonesia.com)

Tak ada asap, kalau tak ada api. Tudingan yang muncul, bukan sentimen belaka. Namun, ditunjang dengan data valid. Akankah kasus ini menguak perselingkuhan antara penguasa dengan pengusaha dalam konsesi tambang emas? Bagai tikus mati di atas lumbung padi, adilkah ini bagi rakyat? mereka tetap hidup miskin dan memprihatinkan di tengah keberlimpahan emas? Lantas, bagaimana cara pengelolaan tambang emas yang benar dan adil?

Korporasi Gondol Emas Papua

Indonesia, negeri zamrud khatulistiwa yang memiliki kekayaan alam yang berlimpah, termasuk tambang emas. Sehingga, menjadikan Indonesia menempati peringkat ke-7 sebagai negara penghasil emas terbesar dunia. Tahun 2020, emas yang diproduksi mencapai 130 ton. (www.m.bisnis.com, 15/02/2021)

Setidaknya, ada 8 tambang emas terbesar yang menyumbang produksi emas nasional dan dunia, yakni: Grasberg di Papua dikelola oleh PT Freeport Indonesia Tbk (PTFI), Gunung Dompu di Nusa Tenggara Barat dikelola oleh PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC), Gunung Pongkor di Jawa Barat dikelola oleh PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), Martabe di Sumatera Utara dikelola oleh PT United Tractors Tbk (UNTR), tambang Onto di Sumbawa dikelola PT Sumbawa Timur Mining Tbk (STM), tambang Wetar di Maluku Barat dikelola PT Merdeka Chopper Gold Tbk (MDKA), PT Renuka Coalindo Tbk (SQMI) di Jawa Barat, dan tambang Poboya di Palu Sulawesi dikelola oleh PT Bumi Resources Mineral Tbk (BRMS), anak usaha grup Bakrie. (www.cnnindonesia.com, 23/02/2020)

Perusahaan pengelola tambang emas itu bukanlah BUMN, melainkan swasta. Bahkan, didominasi swasta asing. Sehingga wajar, muncul anggapan bahwa hampir 90% kekayaan alam negeri ini dikelola asing dengan berlindung di bawah istilah Penanaman Modal Asing (PMA). Ini diawali sejak tahun 1967, saat rezim Orde Baru mulai meliberalisasi perekonomian nasional dengan mengeluarkan UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing hingga sekarang.

Persekongkolan Penguasa dan Pengusaha (Korporatokrasi)

Papua sebagai penghasil emas terbesar. Siapa sangka, penambangan emas di sana tak hanya terkait masalah ekonomi, namun juga melibatkan kekuatan politik-militer. Ini terkuak dari laporan “Ekonomi Politik Penempatan Militer di Papua, Kasus Intan Jaya” yang dirilis oleh YLBHI, WALHI Eksekutif Nasional, Pusaka Bentala Rakyat, WALHI Papua, LBH Papua, KontraS, JATAM, Greenpeace Indonesia, Trend Asia, bersama#BersihkanIndonesia. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa operasi militer ilegal Papua ditunggangi kepentingan ekonomi-politik. Diduga kuat, ada relasi antara konsesi perusahaan/korporasi dengan pengerahan pasukan militer di Papua, kasus Intan Jaya ini menjadi salah satu sampelnya.

Sebagaimana kita ketahui, dalam tiga tahun terakhir penerjunan kekuatan militer di kawasan pegunungan tengah Provinsi Papua telah memantik eskalasi konflik bersenjata antara TNI-POLRI-TPNPB juga kekerasan serta teror terhadap masyarakat sipil, khususnya di Kabupaten Intan Jaya. Mengingat, posisi pos militer dan kepolisian berada di sekitar konsesi tambang yang teridentifikasi berafiliasi dengan sejumlah jenderal. Terlebih sejak RI resmi melabeli Organisasi Papua Merdeka (OPM) menjadi teroris, ini menjadi pintu masuk legalisasi operasi militer dan penambahan pasukan ke daerah itu.

Hal ini menjadikan masyarakat sipil sebagai korban konflik, dan memaksa mereka untuk pergi meninggalkan tanah leluhur. Sekitar 1.200-an penduduk asli Intan Jaya terdata sebagai pengungsi, termasuk perempuan dan anak-anak. Mereka terpaksa melarikan diri, khawatir menjadi korban salah tembak. Mirisnya, bantuan dari pemerintah sangat minim bahkan cenderung mengabaikan para pengungsi. Setelah wilayah ini steril dari penduduk, tentu saja akan lebih mudah untuk mengeksplorasi sekaligus mengeksploitasi tanah emas ini. Ada empat perusahaan/korporasi yang teridentifikasi dalam laporan ini, yakni PT Freeport Indonesia, PT Madinah Qurrata ‘Ain, PT Nusapati Satria, dan PT Kotabara Miratama. Dua diantaranya merupakan konsesi tambang emas yang diduga kuat terhubung dengan militer/polisi. Tak kepalang, sejumlah purnawirawan TNI dan pejabat aktif termasuk Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan ikut terseret namanya dalam pusaran ini. (www.walhi.or.id, 12/08/2021)

Data itu menunjukkan secara riil adanya praktik bisnis militer di Papua. Sumber daya alam Papua menjadi bancakan korporasi dan penguasa. Aroma korporatokrasi sangat menyengat terendus dalam kasus ini. Lagi-lagi rakyatlah yang kembali menjadi tumbal dalam ambisi keserakahan oligarki.

Salah Kaprah Penanganan Papua

Kesenjangan permasalahan akses kebutuhan primer, kerusakan lingkungan dan sumber daya alam, serta kebebasan masyarakat sipil selalu saja disolusikan dengan aksi militer. Padahal, hal itu sama sekali tak menyelesaikan problem sistemis di Papua. Menurut Nur Hidayati dari WALHI Eknas, akar masalah dari konflik Papua ada empat.

Pertama, ketiadaan pengakuan atas masyarakat Papua yang berujung diskriminasi, tampak dari masuknya beragam proyek ekstraktif ke Papua tanpa persetujuan warga setempat.

Kedua, pendekatan proyek pembangunan mercusuar terbukti gagal memenuhi kebutuhan primer masyarakat Papua, yakni pendidikan, kesehatan, keamanan, dan ekonomi warga. Proyek Trans Papua sejatinya menguntungkan para korporasi dalam hal mobilitas, sedangkan rakyat hanya bisa gigit jari.

Ketiga, kontradiksi sejarah dan konstruksi identitas politik.

Keempat, rezim tak belajar dari pengalaman sebelumnya bahwa pendekatan kekerasan tak ada guna. Namun, mereka kembali jatuh di lubang yang sama.

Kegagalan pemerintah dalam menilik akar masalah berujung pada kegagalan menyolusikannya. Hal ini wajar, mengingat paradigma dan ideologi yang menjadi pijakan negeri ini memang telah keliru. Sejak Indonesia mengadopsi sistem kapitalisme-liberalisme dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, ambisi dan keserakahan korporasi menyetir berbagai ranah kehidupan. Tak lagi pandang halal-haram dalam kacamata agama, bahkan kebutuhan dan keselamatan rakyat tak jadi prioritas. Parahnya, ini didukung penguasa tamak yang tak lagi berhati nurani.

Korporatokrasi yakni persekongkolan antara pengusaha dan penguasa menjadi suatu hal yang niscaya. Hubungan mutualisme di antara keduanya, terbukti menjadi biang keladi atas penderitaan dan kerugian yang dialami rakyat selama ini.

Cara Islam Kelola Tambang Emas

Berbeda halnya dengan kapitalisme-liberalisme, Islam memiliki pandangan yang khas berkaitan dengan pengurusan rakyat dan pengelolaan sumber daya alam. Islam, it’s not only religion but also ideology. Oleh karena itu, Islam memiliki perangkat aturan andal nan komprehensif. Termasuk masalah pengelolaan tambang emas, diatur sedemikian rupa.
Dalam Islam, kepemilikan dibagi menjadi tiga yakni kepemilikan individu, umum, dan negara. Tambang emas terkategori harta kepemilikan umum, berikut uraiannya.

Harta milik umum terdiri dari tiga kategori. Pertama, sarana umum yang dipergunakan dalam kebutuhan sehari-hari, misalnya air. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. yang diriwayatkan Imam Bukhari, “Kaum muslim bersekutu (dalam kepemilikan) atas tiga hal yakni: air, padang rumput, dan api." Kedua, harta yang asal pembentukannya tidak diperkenankan dimiliki pribadi, misalnya jalan umum. Ketiga, barang tambang yang jumlahnya unlimited.

Pengelolaan harta milik umum oleh negara dilakukan dengan dua cara yakni pemanfaatan secara langsung oleh masyarakat, seperti air, jalan umum, padang rumput, sungai, dan lain-lain serta pemanfaatan di bawah pengelolaan negara. Untuk harta milik umum yang jumlahnya melimpah ruah dan butuh keahlian, teknologi, waktu, dan biaya yang tidak sedikit dalam pengelolaannya, seperti tambang minyak bumi, emas, gas alam, dan sebagainya sepenuhnya dikelola negara. Namun, hasilnya secara keseluruhan diserahkan untuk membiayai kebutuhan primer masyarakat berupa sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan dengan mekanisme yang berbeda.

Berbekal paradigma itu, Islam akan secara tegas melakukan penanganan konflik di Papua sebagai berikut: melakukan pembatalan pada saham kepemilikan individu atau swasta, baik asing atau domestik, dengan membayar biaya pokok dengan harga normal atas saham yang telah dibeli dan investasi yang telah ditanam. Kemudian, membubarkan perusahaan terbatas (perseroan saham) yang berkecimpung dalam pengelolaan harta milik umum. Setelah itu, negara akan mengambil alih seluruh kepemilikan umum dengan pengelolaan langsung, atau mengontrak perusahaan swasta lokal dengan akad ijarah layaknya majikan-karyawan.

Perusahaan swasta bukan sebagai pemilik atau pemegang konsesi. Tak lupa, menindak tegas oknum-oknum pejabat yang bersekongkol dengan korporasi, melalui mekanisme pemecatan dan penjatuhan sanksi hukum. Agar menimbulkan efek jera, karena telah mengkhianati kepercayaan rakyat demi kesenangan sesaat. Tak kalah penting, mengembalikan kekayaan Papua agar bisa dinikmati warga setempat dengan sistem pendistribusiannya yang adil.

Khilafah Wujudkan Kemandirian Tambang

Solusi paripurna dari Islam terkait penanganan Papua tadi mustahil terwujud jika kerangka berpikir dan ideologi yang dipijak masih kapitalisme-liberalisme, karena sistem ini tidak support hal tersebut. Oleh karena itu, marilah kita uninstall kapitalisme, kemudian reinstall Islam.
Ideologi Islam hanya mungkin diterapkan dalam suatu institusi khas, yang dinamakan Khilafah. Pijakannya jelas, institusi model ini telah dicontohkan Rasulullah saw., para sahabat, dan para khalifah setelahnya.

Khilafah akan mendorong perkembangan teknologi dalam negeri demi pengelolaan sumber daya alam yang optimal, namun tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. Sehingga, tidak menimbulkan kerusakan, baik di daratan maupun lautan. Khilafah akan mengatur produksi dan distribusi aset-aset tersebut untuk rakyat. Sehingga kekayaan tidak hanya berputar pada segelintir orang saja. Allah Swt. telah menegaskan dalam surah Al-Hasyr ayat 7: "…supaya harta kekayaan itu jangan beredar saja diantara orang-orang kaya saja di antara kamu…”

Demikianlah ketangguhan dan kesempurnaan Islam dalam menyolusikan berbagai persoalan. Sungguh, Khilafah akan mampu mewujudkan kemandirian tambang dengan penerapan langkah-langkah di atas. It’s time to back to Islam and Khilafah. Allahu Akbar!!!
Wallahu’alam bi ash-shawwab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Tim Redaksi NarasiPost.Com
Tsuwaibah Al-Aslamiyah Tim Redaksi NarasiPost.Com
Previous
Hijrah Tak Sekadar Jargon
Next
Amalmu, Goresan Pena Kehidupanmu
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram