Amukan si Jago Merah di Lapas Menguak Bobroknya Sistem Hukum ala Kapitalisme

"Mekanisme hukum di negeri yang menerapkan ideologi kapitalisme yang berasaskan sekularisme memang tidak tegas, bahkan tak sedikit yang menjadi komoditas yang bisa diperjualbelikan. Ketidakadilan kerap kali terjadi, hukum tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Sistem ini pun menstimulasi merebaknya kasus kriminalitas."

Oleh: Nurjamilah, S.Pd.I.
(Tim Redaksi NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Si jago merah kembali melumat salah satu lapas di negeri ini. Tak aneh, karena sudah berulang kali terjadi kegaduhan akibat overcrowding lapas yang dibiarkan tanpa solusi komprehensif. Peristiwa ini seakan membongkar buruknya sistem hukum peradilan dan pemeliharaan lembaga pemasyarakatan negeri ini.

Diwartakan dari www.cnnindonesia.com (12/09/2021), api telah melumat Lapas Kelas I Tangerang Blok C-2 yang berpenghuni 122 orang pada Rabu (8/9) pukul 01.45 dini hari. Api berhasil dipadamkan sekitar pukul 03.00. Kebakaran ini menelan korban jiwa sebanyak 45 orang dan ratusan orang terluka, baik ringan maupun berat. Diduga hubungan arus pendek listrik menjadi penyebab kebakaran ini. Diakui, instalasi listrik di Lapas Tangerang belum pernah dibenahi sejak dibangun pada 1972. Lantas, bagaimanakah kondisi riil lapas di Indonesia? Benarkah penjara menjadi satu-satunya vonis yang menimbulkan efek jera? Bagaimanakah Islam memandang dan mengatur mengenai sistem hukum yang solutif dan berkeadilan?

Tumpuan Tak Terurus

Indonesia merupakan salah satu negara hukum yang menjadikan lembaga pemasyarakatan (lapas) sebagai salah satu sub sistem peradilan pidana yang memegang peranan penting. Sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan bahwa lapas diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, tidak mengulangi kejahatannya lagi sehingga bisa diterima kembali oleh masyarakat sekitar.

Walau posisi lembaga pemasyarakatan menjadi tumpuan dari sistem peradilan pidana, namun kadang dianaktirikan dalam hal pengadaan fasilitasnya. Jika terjadi permasalahan pada sistem peradilan pidana, semisal membludaknya kasus kriminalitas dan kasus lain yang vonis hukumannya berujung bui, maka otomatis yang terdampak besar adalah lapas, yakni hadirnya tsunami narapidana baru yang semakin membuat sesak lapas. Sebagaimana dimaklumi, negeri ini masih menjadikan hukuman penjara sebagai primadona bagi vonis dari berbagai kasus kejahatan dan pelanggaran. Konsekuensinya, muncul masalah pelik yang belum teratasi hingga saat ini yakni overcrowding rumah tahanan (situasi krisis akibat penghuni lapas yang kelebihan kapasitas). Hal ini terbukti memantik permasalahan lain, seperti komersialisasi komoditas yang notabene kebutuhan mendasar (fasilitas kesehatan, makanan dan kamar rutan diperjualbelikan secara ilegal dengan harga yang fantastis), kaburnya narapidana dari rutan, aksi premanisme hingga berbuntut kerusuhan dan perusakan fasilitas umum, perdagangan gelap narkoba yang disetir dari dalam rutan, pungutan liar petugas lapas dan lain sebagainya.

Beban berat lapas, selain karena menampung narapidana kasus kriminal dan terpidana hukuman mati, ternyata diisi juga oleh pengguna dan pengedar narkoba serta para koruptor. Pada Maret 2020, jumlah penghuni lapas se-Indonesia mencapai 270.466 orang. Padahal, kapasitasnya hanya untuk 132.335 orang. Ini berarti bebannya mencapai titik ekstrem, yakni 204%.(www.icjr.or.id)

Hal ini mengundang terbitnya Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) No.11 tahun 2017 tentang Grand Design Penanganan Overcrowded pada Rumah Tahanan Negara dan Lembaga Pemasyarakatan. Isinya menyoroti budaya praktis aparat penegak hukum yang secara eksesif melakukan penahanan terhadap tersangka/terdakwa dalam masa persidangan. Tak hanya itu, pendekatan punitif, yang berfokus pada penahanan dalam bui, menjadi penyebab utama masalah sistem peradilan pidana.

Baca juga : https://narasipost.com/2021/09/01/kebiadaban-korupsi-diganjar-remisi-koruptor-suramnya-masa-depan-pemberantasan-korupsi/

Overcrowding lapas ini semakin tak terkendali karena pemerintah tidak mengimbanginya dengan pemberian fasilitas yang memadai. Bahkan, peneliti Imparsial, Hussein Ahmad, menyebut kondisi over kapasitas lapas merupakan pelanggaran hak narapidana. Ini merupakan perlakuan yang tidak manusiawi yang dilakukan pemerintah secara sistematis. (www.cnnindonesia.com, 13/09/2021)

(Bukan) Win-win Solution

Merespon masalah overcrowding ini pemerintah telah melakukan berbagai kebijakan, yakni pertama, rehabilitasi bangunan dan menambah bangunan baru dengan tujuan menambah daya tampung lapas. Namun, hal itu tak berdampak signifikan karena tingkat kriminalitas semakin meroket. Justru pemerintah semakin kewalahan dengan pembengkakan anggaran untuk bangunan dan bahan makanan warga binaan.

Kedua, pendekatan Restorative Justice, yakni pergeseran pemidanaan dari pemenjaraan kepada alternatif hukuman lain yang mengutamakan keadilan bagi korban dan pelaku tindak pidana. Konsep ini berkaitan erat dengan pemenuhan atas kerugian yang diderita oleh korban, sehingga kedamaian menjadi akhir dari proses panjang ini. Hanya saja, konsep ini tidak berarti melibas pidana penjara, untuk kasus-kasus tertentu yang menimbulkan kerugian secara massal dan pelenyapan nyawa seseorang tetap diganjar penjara. Adapun metode implementasinya berupa mediasi penal (pidana biasa) dan diversi (pidana anak). Aparat penegak hukum bertindak sebagai penengah proses mediasi antara pelaku dengan korban beserta keluarga (www.sulsel.kemenkumham.go.id)

Namun, ini pun sulit direalisasikan. Pasalnya, mediasi yang berujung perdamaian pada kasus kriminalitas, rehabilitasi untuk pecandu narkoba, dan penyitaan harta bagi para koruptor mampukah memberikan efek jera bagi para pelaku? Terlebih mencegah berulangnya kejahatan, karena masyarakat menganggap hukuman itu terlampau ringan, tak sebanding dengan pelanggaran yang dilakukan terdakwa.

Mekanisme hukum di negeri yang menerapkan ideologi kapitalisme yang berasaskan sekularisme memang tidak tegas, bahkan tak sedikit yang menjadi komoditas yang bisa diperjualbelikan. Ketidakadilan kerap kali terjadi, hukum tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Sistem ini pun menstimulasi merebaknya kasus kriminalitas. Tersebab kesulitan hidup, kebebasan yang kebablasan, tipisnya suasana keimanan, dan dangkalnya pemahaman terhadap Islam. Jadi, inti masalah dari overcrowding lapas bersifat sistemis, salah kaprah dalam penerapan sistem sekaligus ideologi yang diadopsi negeri ini.

Keunggulan Hukum dalam Islam

Hukum yang berlaku di dunia ini mengandung tiga aspek dalam penerapan sanksinya yakni preventif, represif, dan rehabilitatif. Aspek preventif bermakna mencegah seseorang melakukan apalagi mengulangi kejahatan. Sementara aspek represif yakni bentuk eksekusi pada pelaku kejahatan sesuai dengan supremasi hukum yang berlaku dan menjatuhkan vonis yang setimpal dengan kejahatan yang diperbuatnya, sedangkan aspek rehabilitatif merupakan upaya pembinaan pada pelaku kejahatan agar menyesali perbuatan dan tidak mengulanginya lagi (Khusnul Khotimah, E-Journal, Hukuman dan Tujuannya dalam Perspektif Hukum Islam).

Islam merupakan ideologi yang memiliki seperangkat aturan dalam mengatur berbagai lini kehidupan manusia, termasuk urusan hukum dan keamanan. Berbeda dengan ideologi kapitalisme, alih-alih memberi rasa aman dan nyaman pada rakyat, bahkan menjadi lahan gembur bagi aksi kejahatan manusia.
Adapun langkah preventif Islam dalam mencegah timbulnya aksi kejahatan dilakukan dengan cara: pertama, negara menanamkan keimanan yang kuat pada warga negara melalui pembinaan. Karena dengan berbekal keimanan, rasa takut dan malu kepada Allah untuk berbuat kejahatan senantiasa terjaga. Kedua, negara membudayakan rasa peduli dan amar makruf nahi mungkar di tengah masyarakat. Saling menolong jika mendapati tetangganya mengalami kesulitan, saling mengingatkan dan menasihati agar niat untuk melakukan aksi kejahatan urung dijalankan. Ketiga, penegak hukum dalam hal ini polisi siap siaga menjaga keamanan dengan melakukan patroli kapan pun dan di mana pun. Hukum akan ditegakkan tanpa pandang bulu. Semua kejahatan akan dibalas dengan hukuman setimpal di dunia sehingga lunas dalam penghisaban akhirat. Keempat, negara menjamin kebutuhan mendasar warga negara tanpa terkecuali, sehingga urusan perut tak lagi menjadi motif kejahatan yang terus berulang.

Jika semua langkah preventif telah dilakukan, namun masih terjadi kejahatan dan pelanggaran. Maka, negara akan menjatuhkan sanksi tegas sesuai dengan ketentuan dalam syariat Islam. Sanksi memiliki dua fungsi yakni jawabir (penebus dosa) dan jawazir (menimbulkan efek jera). Namun, tidak semua kejahatan diberikan sanksi pemenjaraan. Sebab, Islam telah membagi sistem sanksi dalam empat macam, yakni hudud, jinayah, takzir, dan mukhalafah.

Hudud adalah sanksi atas kemaksiatan yang kadar hukumannya sudah ditentukan Allah Swt. Kejahatan yang dihukumi hudud di antaranya: pencurian (potong tangan), berzina (cambuk atau rajam), qadzaf/menuduh wanita baik-baik berzina (rajam), liwath/homoseksual (hukuman mati), murtad (hukuman mati), dan lain-lain.

Jinayah merupakan tuntutan terhadap penganiayaan badan, sanksinya berupa qishash (balasan setimpal) dan diat (denda). Kejahatan yang dihukumi jinayah di antaranya: pembunuhan (qishash: nyawa bayar nyawa, kecuali keluarga korban memaafkan, diganti bayar diat), penganiayaan (membayar diat).

Takzir adalah sanksi yang bentuk hukumannya tidak ditentukan secara spesifik oleh Allah Swt., melainkan diserahkan kepada penguasa/hakim, boleh sama atau lebih ringan dari hudud dan jinayah, namun tak boleh melebihi keduanya. Kejahatan yang dihukumi takzir di antaranya: pelanggaran terhadap agama, kehormatan, akal, harta, keamanan, dan ketertiban masyarakat.
Mukhalafah berarti sanksi yang dijatuhkan oleh penguasa kepada orang yang menentang perintah penguasa dan rongrongannya dalam wilayah kekuasaan. Hukumannya ditentukan oleh hakim (qadhi).

Dengan pembagian sistem sanksi sedemikian rupa, maka penjara tak lagi jadi andalan peradilan. Ini berarti fenomena overcrowding sangat mungkin bisa dihindari dalam sistem hukum Islam. Ketika penghuni penjara tidak melebihi kapasitasnya, maka kelayakan tempat dan pemenuhan kebutuhan dasar narapidana akan didapati secara manusiawi. Setelah aspek represif telah dilakukan dan pelaku kejahatan masih hidup. Maka, akan diberlakukan aspek rehabilitatif. Negara akan melakukan pembinaan keimanan dan mendorong mereka agar melakukan taubatan nasuha. Dengan harapan akan kapok dan tidak akan mengulangi kejahatannya lagi. Dalam surah Al-Maidah ayat 39 Allah Swt. berfirman,
Maka barang siapa bertobat (diantara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Khilafah Pelaksana Hukum Islam

Segala keparipurnaan tadi akan mungkin terealisasi jika suatu negara menerapkan syariat Islam. Mengapa? Karena
segala pengaturan tadi tidak akan kita dapatkan dari ideologi dan sumber rujukan mana pun, selain dari Islam dengan Al-Qur’an dan As-Sunahnya. Oleh karena itu, kita membutuhkan suatu institusi negara yang berani dan mampu menerapkan Islam kafah. Kitab-kitab fikih memaparkan dan sejarah pun membuktikan, bahwa sistem yang kompatibel dengan Islam adalah Khilafah.

Selama 13 abad lamanya Khilafah mampu menghadirkan keamanan bagi seluruh warga negaranya, bahkan kasus kriminalitas yang terjadi hanya ratusan kasus selama ribuan tahun. Ini berarti, hanya Khilafah yang terbukti ampuh dalam menekan angka kriminalitas. Oleh karena itu, menegakkan Khilafah menjadi kewajiban sekaligus kebutuhan dunia, agar tercipta keadilan di muka bumi dengan memberikan hukuman yang setimpal pada para pelaku kejahatan. Allah Swt. menegaskan dalam surah Al-Maidah ayat 50: “Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini agamanya?
Wallahu’alam bi ash-shawwab[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Tim Redaksi NarasiPost.Com
Tsuwaibah Al-Aslamiyah Tim Redaksi NarasiPost.Com
Previous
Stop Menyalahkan Orang Lain!
Next
Apakah Syariat Islam Diterapkan bagi Nonmuslim?
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram