Ulama Dilirik Dananya, Dimusuhi Dakwahnya

Ulama dilirik dananya

Seyogianya para ulama tidak berhenti dalam melakukan amar makruf nahi mungkar, yaitu menunjukkan dengan tegas jika terjadi kesalahan dalam sendi-sendi kehidupan

Oleh. Erdiya Indrarini
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Dilansir dari wonosobokab.go.id (30-7-2024), Bupati Wonosobo Afif Nurhidayat menghadiri acara Sarasehan Ulama dan Umara, serta Penarikan Dana Yayasan Amal dan Kesejahteraan Umat Islam (Yakaumi) pada Selasa (30-7-2024), di Masjid Jolontoro, Sambek. Afif mengatakan bahwa pertemuan tersebut menjadi forum strategis sebagai upaya mempertemukan visi dan pemikiran seluruh elemen masyarakat dalam konteks penyelenggaraan pembangunan untuk mewujudkan Kabupaten Wonosobo yang religius dan harmonis. Afif juga mengatakan bahwa dukungan ulama sangat berperan dalam pembangunan dan berpartisipasi dalam menyelesaikan permasalahan kemiskinan di Kabupaten Wonosobo, serta membantu mewujudkan rahmatan lil‘alamin.

Senada dengan Bupati Afif, Kabag Kesejahteraan Rakyat (Kesra) Setda Wonosobo Slamet Faizi juga menyampaikan pentingnya saling membantu antarsesama. Salah satunya melalui pemberdayaan amal infak Yakaumi. Ia berharap Yakaumi mampu meningkatkan kinerjanya dengan menjaga amanah dari masyarakat, serta meningkatkan eksistensinya sehingga kemanfaatan pengelolaan amal dapat dirasakan lebih luas.

Terkait pentingnya pengelolaan zakat, infak, dan sedekah, Kabag Kesra menekankan bahwa diperlukan badan seperti Yakaumi. Hal ini sebagai wujud kebersamaan antara ulama dan umara, guna menghimpun dan mendayagunakan potensi umat Islam, serta meningkatkan pembangunan dan kesejahteraan umat Islam. Untuk menyikapi pertemuan ini, kita harus memahami tentang kedudukan dan peran ulama.

Kedudukan dan Peran Ulama

Ulama memiliki pengaruh yang besar. Keteguhan imannya berdampak pada mulianya kehidupan, tetapi jika terlena, ia hanya akan dimanfaatkan pihak-pihak yang berkepentingan. Ulama adalah hamba yang takut pada Sang Pencipta, yaitu Allah Swt. Kedudukan dan perannya tidak bisa diabaikan. Di samping sebagai orang bertakwa, ulama juga memiliki ilmu agama Islam yang sangat mumpuni. Wajar sebuah nas mengatakan bahwa ia bagaikan bintang di langit yang bisa memberi petunjuk bagi kehidupan manusia.

Oleh sebab itu, para ulama harus paham posisinya dan standar serta batasan dalam kiprahnya di masyarakat. Ulama bagaikan lentera di kegelapan yang akan menghilangkan kejahilan. Dengan demikian, seyogianya para ulama tidak berhenti dalam melakukan amar makruf nahi mungkar, yaitu menunjukkan dengan tegas jika ada atau terjadi kesalahan dalam sendi-sendi kehidupan, baik dalam bermasyarakat, berbangsa, maupun bernegara. Ia juga wajib mengungkapkan kebenaran-kebenaran syariat yang tersembunyi atau sengaja disembunyikan.

Kondisi Hari Ini

Namun, realitas saat ini tidaklah demikian. Banyak terlihat kezaliman dan kemaksiatan di masyarakat. Ulama yang harusnya menjadi corong kebenaran di hadapan pemerintah justru menjadi mitra kebatilan. Sebagian ulama malah merapat dalam pelukan mesra penguasa dan rela menjadi segel bagi pemerintahan kufur. Akhirnya, mereka yang seperti itu menjadi buta, bisu, dan tuli ketika hukum-hukum Allah dicampakkan. Akibatnya, kehidupan rakyat diliputi kebodohan dan kegelapan.

Yang demikian itu seperti diamnya para ulama ketika hukum-hukum syariat diserang, dihempaskan, di-bully, bahkan diganti dengan hukum konstitusi buatan manusia. Ulama juga diam ketika sumber daya alam yang merupakan harta kekayaan milik rakyat dikuasai oleh para pemilik modal, bahkan oleh organisasi masyarakat (ormas).

Parahnya, ulama seolah terhipnosis, mereka dengan sukarela menjadi kunci brankas ketika penguasa mengambil dana-dana milik umat Islam dengan dalih untuk mengentaskan kemiskinan atau pembangunan, padahal pembangunan adalah kebutuhan masyarakat dan merupakan kewajiban pemerintah untuk memenuhinya. Dengan demikian, dananya tentu tidak diambil dari pungutan zakat, infak, dan sedekah.

Ulama Su'u

Pada setiap zaman memang selalu ada ulama su'u. Rasulullah saw. mengatakan bahwa keburukan ulama su'u bagi agama lebih buruk daripada setan. Rasulullah juga mengatakan bahwa kebinasaan bagi umat datang dari ulama su’u. Mereka menjadikan ilmu sebagai barang dagangan yang mereka jual kepada para penguasa.

Banyaknya ulama su'u ini tidak lepas dari bercokolnya ideologi asing yang mencengkeram negeri ini. Pasalnya, negeri yang mayoritas berpenduduk Islam dan mengaku berideologi Pancasila ini malah menerapkan ideologi kapitalisme sekuler buatan Barat (penjajah). Ideologi kapitalisme yang mengagungkan nilai manfaat dan materi menjadikan ulama hanya dilirik dananya, tetapi mereka akan dimusuhi ketika mendakwahkan syariat.

Ditambah lagi, dengan paham sekularisme yang merupakan akidah dari ideologi kapitalisme, mengharuskan agama (syariat) dijauhkan dari aspek kehidupan kecuali hanya dalam ibadah-ibadah ritual (mahdhah). Walhasil, kehidupan rakyat seolah diliputi kegelapan karena dicengkeram oleh kebodohan, tidak paham syariat, dan tidak peduli halal haram.

Di sisi lain, para ulama menjadi banyak yang berpenyakit wahn, yaitu cinta dunia dan takut mati. Ulama yang harusnya didatangi penguasa, justru mendatangi tempat penguasa, bahkan berpeluk mesra dengan para pemangku jabatan. Jika sudah begitu, hilanglah muruah ulama sebagai bintang yang berkedudukan tinggi, indah, dan mampu memberi petunjuk pada kehidupan masyarakat.

Dikutip dari khazanah.repubika.co.id, sebuah riwayat dari Sufyan ats-Tsauri mengatakan bahwasanya Rasulullah saw. telah mengabarkan betapa ngeri tempat akhir hidup para ulama su'u, yaitu di sebuah lembah mengerikan yang disebut Jubb al-Hazn. “Sesungguhnya di Neraka Jahanam ada sebuah lembah, di mana Jahanam itu sendiri setiap hari memohon perlindungan dari-Nya (kepada Allah Swt.) sebanyak 70 kali. Lembah tersebut dihuni oleh para qurra’ yang gemar mengunjungi para penguasa."

Qurra' adalah jamak dari qari', secara bahasa berarti orang yang membaca. Sedangkan qurra' secara istilah artinya adalah seorang ulama atau imam yang terkenal mempunyai mazhab tertentu dalam suatu qiraah yang mutawatir.

Bagaimana Ulama yang Seharusnya?

Pada kondisi kehidupan yang demikian jauh dari syariat, mestinya para ulama duduk bersama dengan pemerintah hanya dalam rangka melakukan amar makruf nahi mungkar dan mengoreksi penguasa. Di samping itu, ulama tidak boleh lemah dalam menyerukan bahwa Islam adalah satu-satunya solusi bagi negeri ini.

Ulama juga harus mengingatkan kepada para penguasa bahwa penyebab krisis pembangunan, kesejahteraan, dan kemiskinan yang melanda negeri adalah karena syariat Islam tidak diterapkan dalam mengatur pemerintahan. Syariat sendiri merupakan peraturan kehidupan yang baku buatan Tuhan, Allah Swt., dan tidak akan pernah berubah sepanjang zaman. Rasulullah saw. bersabda,

أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ

“Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah).

Sedangkan untuk pembangunan dan peningkatan kesejahteraan ekonomi rakyat, negara tidak boleh menggantungkan pada dana zakat, infak, atau sedekah. Pos-pos tersebut tidak akan cukup untuk pembangunan seperti infrastruktur jalan, sarana dan prasarana pendidikan, maupun bidang kesehatan.

Pengelolaan zakat, infak, dan sedekah sudah ada pos penyalurannya yang semuanya tidak bisa digunakan untuk pembangunan. Dana zakat hanya bisa disalurkan pada orang-orang fakir, miskin, amil zakat, mualaf, untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang-orang yang berutang, untuk jihad di jalan Allah, dan untuk orang-orang yang sedang dalam perjalanan (yang memerlukan pertolongan).

https://narasipost.com/opini/03/2021/peran-strategis-ulama-perempuan/

Sedangkan untuk pembangunan, pemerintah seharusnya mengambil dari hasil pengelolaan sumber daya alam, baik yang terhampar di daratan, lautan, maupun yang terpendam di dalam bumi. Sumber daya alam merupakan kekayaan milik umat, bukan milik individu, swasta, apalagi asing. Oleh karena itu, peran dan kiprah ulama terhadap pemerintah seyogianya justru memberi nasihat berupa seruan untuk menerapkan syariat dalam pemerintahan, termasuk syariat dalam ekonomi maupun politik.

Sudah sewajarnya umat Islam merindukan para ulama akhirat, yaitu ulama selaku pewaris nabi (waratsat al-anbiyaa) yang menjadikan Islam sebagai urusan hidup dan mati. Ulama yang berani menyampaikan kebenaran, dan siap memimpin perjuangan umat dalam menegakkan sistem Islam dalam pemerintahan. Hanya sistem Islam kafah yang mampu menjadikan rahmat bagi seluruh alam dan menjamin terwujudnya kemuliaan dan keberkahan.

Sungguh seorang ulama tidak dipandang dari ketinggian ilmu dan banyaknya jemaah, tetapi dari ketakwaan dan keteguhannya dalam membela dan  menegakkan syariat. Wallahua'lam bishawab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Erdiya Indrarini Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Meniti Ilmu Menata Jalan Dakwah
Next
Mengarungi Samudra Hikmah dalam Tuntunan Al-Qur'an
5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram