Akar masalah dari persoalan udara yang tidak kunjung usai adalah kebijakan kapitalistik yang diterapkan negara. Niat mengurangi polusi akan selalu dikalahkan oleh kepentingan korporasi
Oleh. Novianti
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Kualitas udara di Jakarta kembali menjadi sorotan. Merujuk pada data aplikasi pemantau kualitas udara, IQAir, pada 16 Agustus 2024, indeks kualitas udara (AQI) Jakarta berada di angka 168. Kondisi ini menempatkan Jakarta pada posisi lima kota besar dengan udara terkotor di dunia. (tempo.co, 19-08-2024).
Ancaman Kesehatan
AQI adalah standar untuk mengukur tingkat pencemaran udara berdasarkan konsentrasi polutan seperti partikulat, ozon, sulfur dioksida, karbon monoksida, dan nitrogen dioksida. Skala AQI berkisar dari 0 hingga 500, semakin tinggi angkanya menunjukkan semakin parah tingkat pencemaran udaranya. Dengan angka 168 berarti kondisi udara di Jakarta tidak sehat terutama bagi kelompok yang sensitif.
Udara bersih merupakan kebutuhan paling vital karena dihirup manusia setiap detiknya. Bayangkan, jika udara yang terkontaminasi masuk ke dalam sekitar 10 juta tubuh penduduk Jakarta saat ini atau 3,79% dari total penduduk Indonesia, ancaman kesehatan dan risiko peningkatan penyakit pernafasan semakin nyata.
Dampak lain dari udara kotor yaitu mengurangi produktivitas dan kerugian biaya. Pemprov Jakarta pernah memberlakukan sistem bekerja dari rumah atau work from home bagi seluruh ASN pada 21 Agustus-21 Oktober 2023 akibat udara Jakarta yang buruk. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, dana pemerintah bagi pengobatan masyarakat akibat polusi udara sebesar Rp38 triliun.
Solusi Tidak Solutif
Demi menekan polusi udara di Jakarta, Luhut mengungkapkan rencana penutupan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya, di Cilegon, Banten. Dengan penutupan PLTU yang sudah berusia 40 tahun itu, diharapkan indeks kualitas bisa turun hingga di bawah seratus. Penggunaan kendaraan listrik dan penggunaan bahan bakar minyak rendah sulfur akan terus didorong. Sensor untuk mendeteksi jenis gas yang dilepaskan pabrik akan dipasang di sekitar pabrik di Jakarta.
Namun, setidaknya ada tiga alasan bahwa kebijakan tersebut tidak akan efektif.
Pertama, penutupan PLTU Suralaya sulit direalisasikan karena membutuhkan dana besar untuk pensiun dini bagi karyawannya yang mencapai sekitar seratus miliar dolar AS atau sekitar Rp1,52 kuadriliun. Belum jelas dari mana sumber dana yang bisa digunakan, sedang ruang fiskal negara sudah terbebani oleh pembayaran utang berikut bunganya.
Kedua, meski sejak Agustus 2023, pengoperasian PLTU Suralaya sudah dikurangi sebanyak 4 unit atau sebesar 1.600 Megawatt, polusi di Jakarta justru makin tinggi. Berarti ada faktor lain yang menyebabkan polusi bertambah parah.
Ketiga, belum ada alternatif lain yang dapat menyuplai energi yang dihasilkan PLTU Suralaya. Ada tujuh unit pembangkitnya yang menggunakan 35.000 ton batu bara setiap harinya untuk memenuhi kebutuhan listrik di Jawa-Bali. Batubara merupakan sumber energi termurah yang belum bisa tergantikan oleh Energi Baru Terbarukan (EBT).
Kebijakan Kapitalistik
Polusi tidak hanya merupakan problem di Jakarta, melainkan juga di kota-kota besar di negara lain seperti India, Pakistan, Cina, bahkan juga di Amerika Serikat. Ini terjadi karena polusi sangat erat kaitannya dengan industrialisasi yang menjadi kebijakan negara-negara kapitalis untuk mengejar angka pertumbuhan ekonomi.
Negara kapitalis yang selalu berorientasi pada keuntungan sebesar-besarnya, memicu produksi dan konsumsi, namun membutakan terhadap persoalan ekologi dan fakta bahwa sumber daya alam terbatas. Inovasi dan kreativitas yang menjadi salah satu andalan industri, tidak mampu memberikan solusi ketika dihadapkan pada kerusakan alam dan polusi.
Terkait EBT yang sudah sering dikampanyekan pun berjalan lambat. Jenis-jenis EBT seperti energi surya, energi angin, energi air, energi biomassa, dan energi panas bumi. Indonesia memiliki potensi besar di bidang EBT. Namun, lagi-lagi sumber EBT yang melimpah ini tetap dikelola asing atau swasta.
Sedangkan wacana mobil listrik, menurut juru kampanye polusi dan urban WALHI Nasional, Abdul Ghofar, adalah solusi yang tidak nyambung dengan situasi polusi udara. Kendaraan listrik perlu isi ulang daya kendaraan yang tentunya akan meningkatkan konsumsi listrik dan pembuatan baterai kendaraan listrik. Konsumsi listriknya tetap berasal dari PLTU yang menggunakan batu bara. Penambahan baterai artinya menambah beban di industri nikel.
Daya rusak industri nikel bagi lingkungan juga tidak main-main. Pertambangan nikel merupakan salah satu perusahaan yang mengambil alih fungsi lahan terbesar secara masif di Indonesia. Di Maluku Utara, selain kehilangan ribuan hektare hutan alam, pertambangan nikel menyebabkan pencemaran laut yang serius dan membunuh mata pencaharian nelayan. Para perempuannya terancam gangguan reproduksi, termasuk kanker serviks, dan kelainan pada janin akibat sering berinteraksi dengan tanah dan sumber air yang sudah tercemar.
Pun solusi pemasangan sensor di pabrik berpotensi bernasib sama dengan proyek lainnya, menjadi bancakan para pejabat dan pengusaha. Bukan hanya duit negara yang berisiko menguap begitu saja, polusi udara tetap menjadi bahaya di depan mata.
Solusi Islam
Jelaslah, akar masalah dari persoalan udara yang tidak kunjung usai adalah kebijakan kapitalistik yang diterapkan negara. Niat mengurangi polusi akan selalu dikalahkan oleh kepentingan korporasi. Kekuatan korporasi terus digandeng penguasa termasuk dalam upaya menggapai energi ramah lingkungan. Akhirnya, harapan menikmati udara bersih hanyalah ilusi karena jamaknya korporasi selalu berujung pada eksploitasi dan kerusakan lingkungan. Masyarakat hanya dijadikan sebagai konsumen untuk meraup keuntungan.
Berbeda dengan sistem Islam, mekanisme pengaturannya sejalan dengan penjagaan lingkungan. Penyelesaian permasalahan polusi dilakukan secara terintegrasi dan berkesinambungan.
Mekanismenya adalah sebagai berikut:
Pertama, Islam mengajarkan hidup sederhana sehingga tidak berkembang budaya konsumerisme. Industri gaya hidup seperti mal, industri fesyen dan kosmetik tidak akan tumbuh subur jika hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini otomatis akan mengurangi pemakaian energi sekaligus pencemaran udara.
Kedua, negara mengedukasi masyarakat untuk menerapkan gaya hidup sehat termasuk dalam mengonsumsi sayuran dan buah-buahan. Negara tidak memberikan izin pada industri junk food atau makanan minuman yang membahayakan kesehatan. Industri agraris yang padat karya akan berkembang.
Ketiga, negara mengelola SDA termasuk sumber energi secara mandiri. Hal ini bisa dilakukan karena negara memiliki banyak pemasukan untuk baitulmal. Negara mendorong para ahlinya untuk berinovasi dan menemukan energi yang ramah lingkungan.
Keempat, suasana ketakwaan dipelihara oleh negara dalam konteks yang luas. Penjagaan lingkungan dan kebersihannya adalah amal saleh yang bernilai pahala di sisi Allah, ini memudahkan negara dalam membuat regulasi untuk menciptakan lingkungan yang aman, nyaman, dan bersih bagi masyarakat.
Demikianlah penyelesaian masalah polusi udara dalam pandangan Islam. Penguasa akan menjalankan tupoksinya untuk melayani rakyat dengan penerapan sistem Islam kaffah. Siapa pun yang melanggar akan diberi sanksi tegas.
Semua menjalankan misinya sesuai tujuan penciptaan sebagaimana dijelaskan dalam surah Adz-Dzariyat ayat 56, ”Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” Allahu a’lam. []