Selama kebijakan yang diambil hanya di tataran teknis, masalah polusi udara di Jakarta tidak akan pernah selesai secara tuntas.
Oleh. Mariyah Zawawi
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan bahwa pemerintah akan memasang sensor untuk mendeteksi jenis gas yang dilepaskan oleh pabrik-pabrik di sekitar Jakarta Selatan. Dengan melakukan pendeteksian ini akan diketahui apakah zat yang dikeluarkan itu berbahaya atau tidak. Langkah ini dilakukan untuk mengurangi polusi udara di Jakarta.
Luhut juga mengatakan bahwa pemasangan sensor itu merupakan tanggung jawab pemerintah dalam menjaga kualitas udara serta kesehatan masyarakat. Namun, menurut Luhut, tanggung jawab menjaga kualitas udara serta kesehatan juga berada di tangan seluruh elemen masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah meminta kepada masyarakat untuk memberikan masukan yang bersifat konstruktif kepada pemerintah. (cnnindonesia.com, 16-08-2024)
Solusi Selain Sensor
Rencana pemasangan sensor pendeteksi gas itu dipandang penting karena kualitas udara di Jakarta makin buruk. Saat ini indeks kualitas udara di Jakarta berkisar antara 170–200. Sementara itu, indeks udara yang paling bagus adalah antara 0–50.
Selain rencana pemasangan sensor tersebut, pemerintah juga akan mendorong dipercepatnya penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) dan mempercepat penggunaan bahan bakar minyak (BBM) yang rendah sulfur. Pemerintah juga berencana untuk menutup Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya di Cilegon, Banten yang sudah beroperasi lebih dari 40 tahun. Berbagai rencana itu diharapkan dapat memperbaiki kualitas udara di Jakarta sehingga indeks kualitas udaranya berada di bawah 100.
Menakar Efektivitas Langkah-Langkah Pemerintah
Polusi telah lama menjadi masalah di Jakarta. Sebagai kota metropolitan, Jakarta menjadi tujuan banyak orang. Setiap hari berbagai kendaraan bermotor berlalu-lalang melintasi kota ini. Selain itu, banyak industri yang didirikan di sekitarnya. Oleh karena itu, polusi di Jakarta terutama disebabkan oleh banyaknya emisi atau gas buang yang berasal dari kendaraan bermotor dan industri.
Di antaranya adalah emisi karbon monoksida (CO) dan sulfur dioksida (SO2). Menurut Menteri KLHK Siti Nurbaya, penghasil emisi CO terbesar adalah kendaraan bermotor, baik kendaraan roda dua atau empat. Alat transportasi ini menyumbang 96,36% dari total emisi CO di Jakarta. Disusul oleh pembangkit listrik dan industri yang masing-masing menyumbang 1,76% dan 1,25%.
Sementara itu, penyumbang emisi sulfur dioksida (SO2) terbesar adalah sektor industri manufaktur yang menyumbang 61,9% dari total emisi SO2. Adapun industri energi berada di peringkat kedua dengan menyumbang 25,17% emisi SO2, sedangkan kendaraan bermotor menjadi penyumbang ketiga, yaitu sebesar 11%. (liputan6.com, 18-05-2024)
Berdasarkan fakta itulah, pemerintah menjalankan beberapa rencana di atas. Berbagai rencana itu diharapkan dapat mengurangi indeks polusi udara di Jakarta. Namun, langkah-langkah tersebut tampaknya belum benar-benar efektif. Pasalnya, solusi yang diambil baru menyentuh bagian luar, belum ke akarnya.
Akar Masalah Polusi Udara
Akar permasalahan polusi di Jakarta dan kota-kota lain di dunia adalah penerapan sistem kapitalisme. Dalam sistem ini, orientasi dalam setiap usaha yang dilakukan adalah mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan modal atau usaha yang sekecil-kecilnya. Oleh karena itu, para kapitalis akan menggunakan bahan bakar yang murah meskipun hal itu akan menyebabkan kerusakan lingkungan, seperti batu bara. Penggunaan batu bara dalam industri akan menghasilkan SO2 dan CO yang berbahaya bagi kesehatan manusia.
Ketakpedulian para pengusaha terhadap kerusakan lingkungan ini diperparah dengan aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah, yaitu UU Ciptaker. Dalam undang-undang ini, mereka yang hendak membuka usaha tidak perlu lagi membuat analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Akibatnya, kerusakan lingkungan makin parah. Selain itu, kapitalisme juga membuat orang menjadi rakus. Asas kebebasan kepemilikan membuat orang akan terus memburu harta. Demikian pula dengan para pengusaha. Mereka akan menggenjot produksi barang untuk meraih banyak keuntungan.
Selain itu, sistem kapitalisme juga mengukur kekayaan suatu negara berdasarkan produk nasional bruto (PNB). PNB merupakan nilai dari seluruh produk barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu negara dalam masa tertentu. Agar menjadi negara yang kaya, harus dilakukan produksi besar-besaran. Oleh karena itu, pabrik-pabrik terus memproduksi barang siang dan malam.
https://narasipost.com/opini/09/2023/mampukah-indonesia-meminimalisasi-polusi/
Sistem kapitalisme juga menciptakan budaya konsumerisme. Para kapitalis berusaha merayu masyarakat melalui iklan untuk menarik minat masyarakat. Melalui iklan itu, mereka dapat mengubah pandangan masyarakat terhadap suatu barang dari sekadar keinginan menjadi sebuah kebutuhan. Misalnya, kebutuhan untuk selalu mengikuti tren mode, menongkrong di kafe, dan sebagainya.
Inilah yang menjadi akar persoalan terjadinya polusi udara. Bukan hanya di Jakarta, tetapi juga di berbagai kota di seluruh dunia. Oleh karena itu, selama kebijakan yang diambil hanya di tataran teknis, masalah polusi udara di Jakarta tidak akan pernah selesai secara tuntas.
Cara Islam Mengatasi Polusi Udara
Dalam Islam, semua kebijakan negara bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan umat. Kemaslahatan ini akan terwujud jika negara menggunakan syariat Islam sebagai asas kebijakannya, termasuk dalam mengatasi polusi. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal ini. Pertama, negara harus membangun infrastruktur publik, seperti transportasi umum yang aman dan nyaman. Membangun transportasi umum merupakan salah satu tanggung jawab negara. Transportasi umum yang aman dan nyaman akan membuat masyarakat memilih menggunakan transportasi umum saat bepergian. Dengan demikian, penggunaan kendaraan bermotor dapat dikurangi.
Kedua, negara juga akan menanamkan pola hidup sehat serta cinta lingkungan pada masyarakat. Salah satunya adalah mendorong masyarakat untuk menanam pohon di sekitar tempat tinggalnya. Rasulullah saw. juga menganjurkan kepada kaum muslim untuk menanam pohon. Dalam HR. Ahmad disebutkan,
مَا مِنْ رَجُلٍ يَغْرِسُ غَرْسًا إلَّا كَتَبَ اللّٰهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُ مِنَ الْأجْرِ قَدْرَ مَا يَخْرُجُ مِنْ ثَمَرِ ذٰلِكَ الْغَرْسِ
Artinya: “Tidaklah seseorang yang menanam pohon, kecuali Allah ‘azza wa jalla akan mencatat pahala baginya sebanyak buah yang dihasilkan pohon tersebut.”
Menanam pohon merupakan amal baik yang dapat mendatangkan pahala sekaligus mengurangi polusi. Ketiga, negara akan mengatur agar industri yang berdiri menggunakan sistem produksi yang bersih dan ramah lingkungan. Selain itu, negara akan mendorong industri untuk memperhatikan kelestarian lingkungan, bukan hanya memikirkan keuntungan.
Keempat, negara juga menerapkan sistem pendidikan berbasis akidah Islam yang akan melahirkan SDM unggul. Mereka inilah yang nantinya akan melakukan pengelolaan terhadap sumber daya alam berdasarkan aturan Islam. Pengelolaan yang tepat dan memperhatikan kelestarian lingkungan akan menjaga ketersediaan sumber daya alam bagi generasi berikutnya. SDM unggul ini juga diharapkan akan melakukan berbagai riset untuk menghasilkan energi yang ramah lingkungan serta menemukan inovasi dalam pengolahan limbah. Dengan demikian, lingkungan akan terus terjaga kelestariannya. Tentu saja, semua ini hanya dapat dilakukan oleh negara yang menerapkan sistem Islam secara kaffah.
Khatimah
Demikianlah, menyelesaikan masalah polusi udara tidak cukup dengan pemasangan sensor untuk mendeteksi gas yang dihasilkan oleh pabrik. Hal itu karena langkah ini hanya menyelesaikan secara parsial, sedangkan akar masalahnya tidak tersentuh. Sebaliknya, penyelesaian masalah ini hanya dapat dilakukan dengan menerapkan sistem Islam secara kaffah.
Wallahua’lam bishawab. []
Itulah gaya khas pemerintahan kapitalistik, solusi yang ditawarkan pun sekadar di tataran teknis, tidak mengakar.
Aromanya bakal jadi proyek bancakan. Udara tetap kotor, uang rakyat menguap. Ya Allah, kejamnya sistem kapitalis.
Barakallah fiik Mbak Mariyah.
Bener Mbak. Pemerintah hanya kasih solusi parsial, pasang sensor tapi penyebab utamanya dibendung ya percuma saja.