Hingga di ujung senja kepemimpinan Jokowi, harapan rakyat seperti tak bertepi. Nawacita itu tak tahu bagaimana rimbanya.
Oleh. Arum Indah
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Ingatkah kita dengan nawacita atau sembilan janji Jokowi yang sempat ia ucapkan saat kampanye pemilihan presiden 2014 silam? Sudahkah nawacita itu terealisasi di senja kepemimpinan Jokowi? Mengingat pada Oktober mendatang, Jokowi akan resmi pensiun dari jabatan Presiden Republik Indonesia. Berbagai pihak pun mulai bersuara untuk menagih nawacita itu.
Adapun nawacita yang pernah disampaikan oleh Jokowi, di antaranya:
- Mengembalikan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara.
- Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.
- Memperteguh kebinekaan dengan memperkuat restorasi sosial Indonesia.
- Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan tepercaya.
- Membuat pemerintah tidak absen membangun tata kelola pemerintah yang bersih, efektif, demokratis, dan tepercaya.
- Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia.
- Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.
- Melakukan revolusi karakter bangsa.
- Meningkatkan produktivitas masyarakat dan daya saing di pasar internasional. (Tempo.co, 26-7-2024)
Dengan jargon “Jokowi adalah kita” dan tesis “orang baik akan memilih orang baik”, Jokowi berhasil membius masyarakat yang berharap akan perubahan negeri. Karakter yang dibangunnya memang sangat berbeda dengan pemimpin-pemimpin sebelumnya. Image merakyat dan bersatu dengan rakyat yang melekat padanya membuat Jokowi mampu mendulang suara mayoritas. Nawacita yang diucapkannya, makin membius harapan masyarakat yang berharap perubahan dari kepemimpinannya.
Sayangnya, hingga di ujung senja kepemimpinan Jokowi, harapan rakyat seperti tak bertepi. Nawacita itu tak tahu bagaimana rimbanya. Rakyat makin terombang-ambing di tengah laut kehidupan. Beban hidup makin terasa berat, padahal katanya pendapatan negara makin meningkat. Hidup terasa makin sempit, padahal katanya kondisi negara ini melaju pesat.
Apa yang sebenarnya tengah terjadi? Bukankah berbagai karakter pemimpin pernah dimiliki negeri ini? Akan tetapi, kondisi tak pernah berubah, oligarki makin berkuasa, kondisi rakyat makin menderita.
Nawacita yang Menjadi Nawadosa
Nawacita itu tampaknya telah menjadi nawadosa bagi pemerintahan Jokowi, sebab dari sembilan janji yang ia sebutkan, semuanya masih jauh dari realisasi.
Banyak kebijakan-kebijakan yang tidak prorakyat justru lahir di pemerintahan ini. Amnesty Internasional Indonesia mengatakan banyak hak-hak rakyat yang tergadai di era pemerintahan Jokowi. Presiden tampak lebih berpihak pada asing daripada rakyatnya sendiri.
Contohnya kasus penolakan rencana PSN (Proyek Strategis Negara) yakni pembangunan petrokimia dan kilang minyak di Nagara Air Bangis, Sumatra Barat, PSN ini mengambil konsesi 30.000 hektare lahan yang menyerobot lahan warga. Unjuk rasa warga dan mahasiswa pun tak terhindarkan. Namun, justru ditangani represif oleh rezim dengan mengerahkan kekuatan pasukan keamanan untuk pembubaran paksa, diiringi dengan penangkapan terhadap warga, mahasiswa, dan aktivis yang disertai intimidasi dan kekerasan.
Selanjutnya kasus masyarakat Pulau Rempang, Batam, yang mengalami kekerasan dari aparat Polda Kepulauan Riau hanya karena mereka menolak pembangunan Rempang Eco City. Kasus ini pun mengakibatkan terusirnya warga dari pemukiman mereka, tertangkapnya enam warga dan puluhan lainnya luka-luka. Bahkan ratusan murid sekolah harus berlari menyelamatkan diri dari tembakan gas air mata oleh aparat.
Di tengah itu semua, pemerintah juga mengesahkan UU Omnibus Law Cipta Kerja.
Belum lagi kasus rakyat yang terjerat hukum karena mereka mengkritik pemerintah, padahal harusnya pemerintah bersifat terbuka atas kritik rakyat. Pada periode pertama pemerintahan Jokowi tercatat 203 kasus, sedangkan pada periode kedua meningkat menjadi 328 kasus dengan korban sebanyak 834 orang yang mengalami intimidasi dan serangan dari aktor negara dan nonnegara.
Ditambah lagi konflik Papua yang tak kunjung selesai dan telah memakan banyak korban. Juga pesimisme masyarakat terhadap proyek unggulan presiden, IKN. Kabar terbaru, presiden justru memboyong para pesohor untuk memoles citra IKN.
Itu semua belum termasuk kasus Novel Baswedan, kilometer 50 yang menewaskan beberapa anggota FPI, kasus Ferdy Sambo, dan lain-lain.
Nawacita hanya Retorika dalam Kapitalisme
Nawacita yang sempat digaungkan oleh Jokowi tampaknya hanya akan menjadi sebuah retorika belaka dalam sistem kapitalisme. Nawacita itu akan berakhir seperti sebuah dongeng yang tak akan pernah terealisasi. Sistem kapitalisme yang diterapkan negeri ini telah terbukti menyengsarakan rakyat. Sistem ini telah meniscayakan keberpihakan dan ketundukan pemerintah terhadap asing. Jika dulu para penjajah yang mengambil kekayaan negeri ini diusir, maka hari ini para penjajah justru diundang dengan dalih investasi. Asing berbondong-bondong menguasai sumber daya alam di Indonesia, sedangkan rakyatnya tak mampu berbuat apa-apa karena aktivitas itu dilindungi oleh undang-undang.
Sistem kapitalisme ini juga yang menyebabkan kerusakan hampir di seluruh sendi kehidupan. Kesehatan, pendidikan, hukum, sosial, ekonomi, pergaulan, politik, bahkan keluarga sebagai benteng pertahanan terakhir juga dirusak oleh kapitalisme.
Sistem kapitalisme yang berakidah sekuler menyerahkan pembuatan hukum kepada manusia dan abai terhadap hukum Allah. Inilah yang menjadi sumber segala masalah yang ada di alam kapitalisme, di seluruh dunia dan juga di Indonesia
Selayaknya firman Allah dalam surah Taha ayat 124 menjadi pengingat bagi kita:
وَمَنْ اَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِيْ فَاِنَّ لَهٗ مَعِيْشَةً ضَنْكًا وَّنَحْشُرُهٗ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اَعْمٰى
Artinya: “Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh, ia akan menjalani kehidupan yang sempit, dan kami akan mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.”
Perlu Sinkronisasi Rezim dan Sistem
Berbagai karakter dan latar belakang pemimpin pernah dimiliki negeri ini. Sayangnya, kondisi tetap tak berubah.
Pergantian rezim yang rutin dilakukan negeri ini, sebenarnya tak dapat memberikan solusi tuntas bila sistem negara tak diubah, sebab sistemlah yang menjadi kunci utama jalannya pemerintahan negara.
Sebaik apa pun individu yang memegang amanah, semuanya akan zonk saat sistem yang diterapkan adalah sistem yang rusak. Ibarat sebuah mobil, pengendara sehebat apa pun, tak akan pernah mampu menjalankan mobil rusak dengan baik.
Satu-satunya sistem yang menjamin kebaikan adalah sistem yang berasal dari Sang Khalik, yakni sistem Islam. Penerapan sistem Islam telah terbukti selama 13 abad memberikan kesejahteraan dan keamanan bagi rakyat Daulah Khilafah.
https://narasipost.com/opini/02/2024/mitos-narasi-netral-dalam-demokrasi/
Khilafah telah memberi jaminan kemaslahatan dalam lima perkara, yakni agama, nyawa, harta, akal, dan keturunan.
Untuk rezim, syariat Islam telah menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi seseorang untuk menjadi khalifah, mu’awin (pembantu khalifah), qadhi, wali, amil, anggota departemen-departemen yang ada dalam Khilafah, polisi, tentara, dan anggota majelis umat.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka syariat Islam telah menjamin sinkronisasi antara rezim dan sistem. Meski tak dimungkiri akan adanya rezim yang berulah, tetapi selama penerapan syariat Islam masih berlangsung, kemaslahatan rakyat akan tetap terjaga.
Khatimah
Dengan penerapan Islam, pemerintah tak perlu mengumbar segudang janji sebagaimana Jokowi menyampaikan nawacita itu, sebab penerapan Islam hanya akan membawa kebaikan untuk seluruh rakyat.
Perubahan yang hakiki pun juga hanya akan terwujud ketika negeri ini mau menerapkan Islam secara kaffah dalam naungan Khilafah Islamiah.
Wallahu’alam bishowab. []
Sudah gak heran dalam sistem sekarang, penguasa banyak janji di awal. Kalau sudah menjabat lain cerita, ada yang diwujudkan, ada juga tidak jadi. Terserah maunya sendiri deh.
Kita tidak butuh janji, tp bukti..
Janji yg tidak ditepati, kelak akan ditagih..
Janji tinggal janji.. entah kapan terealisasi..
Jazakillah khoir tim NarasiPost..
Nawa cita yang menjadi nawa dosa. Mudahnya tebar janji, mudah pula tuk mengingkari.
Lho, kayak lagu dang dut hehe
Eheheheh. Kau yang berjanji, kau yang mengingkari.