Negara memiliki kewajiban untuk menyediakan lapangan pekerjaan bagi generasi muda, tetapi ia justru berlepas tangan dari tanggung jawab tersebut.
Oleh. Siti Komariah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Engkau sarjana muda. Resah tak dapat kerja. Tak berguna ijazahmu. Empat tahun lamanya. Bergelut dengan buku. Sia-sia semuanya. Penggalan lirik lagu "Sarjana Muda" karya Iwan Fals sangat menggambarkan sulitnya generasi muda, termasuk lulusan sarjana, untuk mencari pekerjaan di negeri ini. Bahkan sempitnya lapangan pekerjaan membuat generasi muda frustrasi hingga menyerah mencari kerja.
Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), ratusan ribu generasi muda di Indonesia mengalami keputusasaan dalam mencari pekerjaan. Jumlah anak muda yang putus asa dalam mencari pekerjaan ini terus mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir. BPS mencatat, per Februari 2024 ada 369,5 ribu anak, dengan rentang usia 15–29 tahun yang masuk dalam golongan hopeless of job (pikiranrakyat.garut.com, 11-08-2024).
Hopeless of job dideskripsikan sebagai seseorang yang pesimis atau merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan. Sungguh sangat disayangkan, generasi yang harusnya menjadi penyumbang perekonomian negara justru tidak memiliki kesempatan dan frustrasi untuk mendapatkan pekerjaan. Lantas, apa penyebab generasi muda putus asa dalam mencari pekerjaan?
Penyebab Generasi Muda Menyerah Mencari Pekerjaan
Ada beberapa faktor yang menyebabkan generasi muda saat ini menyerah untuk mencari pekerjaan, di antaranya:
Pertama, ketatnya persaingan dalam mencari pekerjaan. Patut dipahami bahwa persaingan dalam mencari pekerjaan tidak hanya terjadi kepada sesama alumni yang baru menyelesaikan studi. Akan tetapi, persaingan ini juga terjadi di antara pekerja lama yang sudah memiliki banyak pengalaman kerja dan lulusan baru. Dalam kondisi ini, para lulusan baru sering kali pesimis atau merasa kalah bersaing dengan mereka yang telah memiliki banyak pengalaman kerja. Alhasil, rasa pesimis ini membuat sebagian besar dari mereka menyerah untuk mencari kerja.
Kedua, sistem kontrak kerja atau sistem kerja lepas. Banyak dari perusahaan yang lebih memilih pekerja dengan status magang atau pekerja lepas dengan kontrak kerja yang disesuaikan terhadap kebutuhan perusahaan. Dengan kata lain, para pekerja bisa diberhentikan oleh perusahaan sesuai kontrak kerjanya, semisal kontrak kerja sebulan, dua bulan, atau sesuai waktu yang ditentukan. Kondisi ini pun membuat para pekerja sulit untuk mendapatkan jaminan keamanan dan finansial. Alhasil, banyak dari generasi muda malas untuk melamar pekerjaan dan lebih memilih untuk menganggur dalam jangka panjang.
Ketiga, kurangnya lapangan pekerjaan. Inilah yang menjadi faktor utama generasi putus asa dalam mencari kerja. Banyaknya para pencari kerja setiap tahunnya acapkali melebihi lapangan pekerjaan yang tersedia di negeri ini. Lapangan pekerjaan yang tersedia pun sering kali tidak sesuai dengan kemampuan atau kompetensi para pencari kerja. Ditambah lagi, perusahaan banyak mencari karyawan yang multitasking sehingga mereka kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan. Alhasil, banyak di antara mereka yang tertolak oleh perusahaan dan berakhir frustrasi.
Ketiga penyebab di atas sejatinya bukanlah akar masalah dari generasi muda putus asa dalam mencari pekerjaan, tetapi akar masalah sempitnya lapangan pekerjaan, yakni penerapan sistem kapitalisme. Sistem ini telah menjauhkan peran penguasa sebagai pengurus urusan rakyat. Negara memiliki kewajiban untuk menyediakan lapangan pekerjaan dan menjamin terpenuhinya kebutuhan per individu rakyat, tetapi ia justru berlepas tangan dari tanggung jawab tersebut.
Dalam konteks ini, negara hanya sibuk mencetak generasi yang siap kerja, tetapi lupa untuk menyediakan lapangan pekerjaan. Lapangan pekerjaan justru diberikan kepada para pekerja asing, misalnya perusahaan tambang yang berlimpah jumlahnya di negeri ini, tetapi para karyawannya justru didominasi para pekerja asing. Para pekerja asing mendapatkan perlakuan istimewa, sedangkan para pekerja lokal harus terlunta-lunta di negeri sendiri.
Di sisi lain, lepasnya tanggung jawab penguasa terhadap pemenuhan lapangan pekerjaan juga terlihat dari pengaturan hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan. Para pekerja acapkali mendapatkan diskriminasi dari para majikan, seperti upah yang terlambat dibayarkan, bahkan sebagian dari mereka tidak mendapatkan upah secara utuh, dan sebagainya. Belum lagi tuntutan kerja dalam sistem kapitalisme tidak sebanding dengan tenaga yang dikeluarkan. Upah minimum, tetapi kerja harus multitasking. Dalam hal ini penguasa tidak hadir untuk menyelesaikan masalah antara ajir (pekerja) dan musta'jir (majikan atau perusahaan) secara adil. Negara justru membela kepentingan perusahaan daripada nasib para pekerja.
Fenomena keputusasaan mencari kerja sejatinya akan menimbulkan dampak buruk bagi keberlangsungan hidup generasi muda. Dampaknya tidak hanya dirasakan individu, tetapi juga negara.
Dampak Keputusasaan Mencari Pekerjaan
Ada beberapa dampak yang terjadi ketika keputusasaan mencari kerja menyapa generasi muda dan tidak kunjung mendapatkan solusi.
Dampak tersebut di antaranya adalah:
Pertama, ketimpangan pendapatan keluarga. Keputusasaan dalam mencari kerja yang menimpa generasi muda sejatinya berdampak pada ketimpangan pendapatan keluarga, apalagi di tengah beban hidup yang kian berat saat ini. Bagaimana tidak, seorang anak laki-laki yang sudah balig seharusnya bisa membantu perekonomian keluarga, tetapi justru menganggur dan putus asa untuk mencari pekerjaan. Pemenuhan kebutuhannya masih bergantung pada orang tua. Alhasil, perekonomian keluarga akan kian bertambah, sedangkan pemasukan keluarga minim.
Kedua, meningkatnya kemiskinan yang menyebabkan maraknya kriminalitas. Tidak dimungkiri bahwa keputusasaan mencari kerja yang menimpa generasi muda berdampak pada meningkatnya angka pengangguran. Sedangkan angka pengganguran berimbas pada meningkatnya kemiskinan. Setelah itu, kemiskinan merupakan salah satu faktor utama yang meningkatkan kriminalitas.
Menurut beberapa studi kasus, angka kemiskinan yang tinggi menjadi salah satu faktor meningkatnya kriminalitas di negeri ini. Menurut studi kasus Maulana dkk. (2024) dengan judul "Kemiskinan dan Kriminalitas" mengungkapkan bahwa kemiskinan memiliki hubungan yang signifikan dengan meningkatnya kriminalitas.
Beberapa dampak di atas menjadi masalah serius dan berefek pada keberlangsungan negara. Oleh karenanya, problem tersebut membutuhkan solusi tuntas agar pengangguran tidak menggurita di negeri ini.
Solusi Islam terhadap Pengangguran
Islam merupakan sebuah ideologi yang mengatur dan memiliki solusi bagi segala aspek kehidupan manusia. Sistem Islam menjadikan penguasa sebagai penanggung jawab urusan rakyat dan takut berlaku zalim kepada rakyat sebab adanya dimensi akhirat yang melekat erat dalam diri para pemimpin. Dimensi ini yang mendorong para penguasa dalam Islam menjalankan fungsinya dengan baik dan maksimal, termasuk menjamin kesejahteraan per individu rakyat.
Dalam mekanisme menjamin kesejahteraan rakyat, Islam mewajibkan setiap laki-laki yang sudah balig untuk bekerja, bahkan khalifah akan memaksa mereka untuk bekerja. Tidak boleh ada rakyat bermalas-malasan, apalagi sampai putus asa dalam mencari pekerjaan. Hal ini pernah dilakukan oleh Khalifah Umar ra. ketika mendengar jawaban dari orang-orang yang berdiam diri di masjid karena sedang bertawakal, sedangkan orang lain sibuk bekerja. Khalifah Umar berkata, "Kalian merupakan orang-orang yang malas bekerja, padahal kalian tahu bahwa langit tidak akan pernah menurunkan hujan emas dan perak.” Khalifah Umar ra. kemudian mengusir mereka dari masjid tersebut dan memberi mereka setakar biji-bijian.
Namun, dalam masalah ini khalifah memiliki kewajiban untuk menciptakan dan menyediakan lapangan pekerjaan seluas-luasnya bagi rakyatnya.
Beberapa cara yang dilakukan oleh khilafah untuk menciptakan lapangan pekerjaan, di antaranya:
Pertama, menyediakan pendidikan murah, bahkan gratis. Sistem pendidikan Islam tidak hanya mencetak generasi dengan akhlak mulia dan taat kepada Allah. Akan tetapi, pendidikan Islam juga mengajarkan kepada generasi berbagai ilmu terapan sehingga mereka memiliki bekal yang berguna untuk mengarungi kehidupan. Dalam sistem pendidikan pun setiap generasi dipahamkan akan kewajiban mereka, salah satunya seorang laki-laki wajib bekerja.
Kedua, mendorong terciptanya industri alat-alat, yakni industri penghasil mesin. Industri ini akan mendorong terciptanya industri lainnya sehingga bisa menyerap tenaga kerja.
Ketiga, pengelolaan sumber daya alam dilakukan oleh negara. Dengan pengelolaan SDA tersebut, akan terbuka banyak lapangan pekerjaan. Di sisi lain, negara juga membuka lapangan pekerjaan untuk profesi guru, dokter, dan lainnya.
Keempat, memberikan pinjaman modal atau menyediakan sarana dan prasarana pendukung untuk bekerja. Misalnya, seseorang yang memiliki kemampuan dalam berdagang, negara akan memberikan pinjaman modal tanpa bunga agar bisa membuka usahanya.
https://narasipost.com/opini/07/2024/indonesia-juara-pengangguran-di-asean-prestasi-atau-kegagalan/
Di sisi lain, Islam memberikan pengaturan dalam masalah kontrak kerja antara ajir (pekerja) dan musta’jir (majikan) agar tidak terjadi kezaliman di antara keduanya. Salah satu aturan tersebut yaitu sistem pembayaran upah yang harus segara ditunaikan. Bahkan Islam mewajibkan untuk membayar para pekerja sebelum keringat mereka kering. Rasulullah bersabda, "Berikan upah kepada para pekerja sebelum keringatnya kering." (HR. Ibnu Majah). Maksud hadis tersebut adalah berikan upah para pekerja setelah pekerjaan mereka selesai, jangan sampai mereka menunggu, apalagi sampai menzaliminya dengan tidak membayarkan upah mereka.
Kemudian, ketika terjadi perselisihan antara ajir dan musta’jir, negara akan turun tangan untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan adil di antara keduanya. Dengan mekanisme di atas maka rakyat atau generasi akan bisa mendapatkan pekerjaan. Wallahua'lam bishawab. []
Syukron jazakillah Mom dan Tim NP .