Realitasnya, di sistem kapitalisme yang sekuler, kehalalan produk tidak menjadi sebuah kewajiban, tetapi lebih sebagai keunggulan produk karena beredar di kalangan muslim. Oleh karenanya, banyak produk di pasaran yang tidak halal.
Oleh. Ragil Rahayu, S.E.
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Gempar! Umat Islam di Indonesia dihebohkan dengan munculnya wine bersertifikat halal. Awalnya, pada Sabtu, 8 Juli 2023, akun Instagram @adityadwiputras mengunggah minuman bermerek Nabidz yang diklaim merupakan “wine halal”. Warganet langsung heboh.
Sudah jamak diketahui bahwa Islam mengharamkan khamar. Larangan meminum khamar ada di dalam Al-Qur'an, yaitu QS. Al-Ma'idah: 90. Allah berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِنَّمَا ٱلْخَمْرُ وَٱلْمَيْسِرُ وَٱلْأَنصَابُ وَٱلْأَزْلَٰمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ ٱلشَّيْطَٰنِ فَٱجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
"Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan- perbuatan) itu agar kalian mendapatkan keberuntungan."
Wine merupakan minuman yang berasal dari fermentasi buah-buahan, misalnya anggur merah sehingga mengandung alkohol 12-15 persen. Dengan demikian, jelaslah bahwa wine merupakan khamar dan haram dikonsumsi oleh umat Islam. Oleh karenanya, keberadaan wine yang halal sungguh di luar nalar.
Apa yang Terjadi?
Terkait viralnya isu wine halal, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) menyatakan tidak pernah mengeluarkan sertifikat halal untuk produk wine. Memang ada sertifikat halal untuk produk dengan merek Nabidz, tetapi produknya berupa minuman jus buah, bukan wine.
Berdasarkan catatan BPJPH, minuman jus buah Nabidz telah mengajukan sertifikasi halal pada 25 Mei lalu melalui mekanisme self declare. Berdasarkan pendampingan proses produk halal (PPH), tidak ditemukan pelanggaran atau ketidaksesuaian dalam prosesnya. Akhirnya, produk Nabidz mendapatkan sertifikat halal pada 12 Juni lalu.
Pengunggah wine halal, Aditya Dwi Putra, yang ternyata merupakan reseller minuman Nabidz, mengatakan bahwa Nabidz bukan wine, melainkan jus buah anggur tanpa alkohol. Adapun penyebutan "wine halal" olehnya merupakan trik pemasaran saja agar menarik perhatian khalayak (Narasi TV, 1-8-2023).
Penjelasan MUI
Majelis Ulama Indonesia (MUI) buka suara terkait kehebohan wine halal ini. Ketua MUI Bidang Fatwa, K.H. Asrorun Niam Sholeh menyatakan bahwa sertifikasi halal minuman Nabidz ditetapkan oleh Komite Halal Kementerian Agama (Kemenag), bukan oleh Komisi Fatwa MUI.
Kiai Niam juga menjelaskan bahwa meski sebuah produk minuman diklaim bebas alkohol, tetapi ternyata nama, bentuk, dan rasanya bisa berasosiasi dengan produk haram dan/atau najis, maka tidak bisa mendapatkan sertifikat halal berdasarkan standar halal MUI. Pertimbangannya adalah sebagai langkah preventif atau yang biasa disebut sadduz zariah di dalam usul fikih (MUI Digital, 27 Juli 2023).
Demi Cuan
Fenomena wine halal bukan kali ini saja terjadi. Pada 2008 telah beredar minuman wine tanpa alkohol dengan merek Espora yang berasal dari Spanyol dan diklaim bersertifikat halal. Minuman tersebut melalui proses fermentasi yang sama dengan wine, tetapi durasi fermentasinya hanya satu tahun. Sementara itu, umumnya wine diperoleh dari fermentasi selama bertahun-tahun, atau setidaknya tiga tahun.
Terhadap Espora, MUI juga tidak memberikan sertifikat halal. Alasannya adalah produk tersebut tasyabbuhatau menyerupai produk yang diharamkan, yaitu khamar. Sikap tegas MUI ini bertujuan mencegah masyarakat terperosok ke dalam maksiat yang diharamkan.
Adanya wine halal akan membentuk persepsi di masyarakat seolah-olah khamar itu halal. Dampaknya, masyarakat bisa bermudah-mudahan dalam mengonsumsinya. Padahal keharaman khamar sudah demikian jelas dinyatakan di dalam Al-Qur'an, tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini.
Hanya saja, deru kapitalisme telah membuat beberapa produsen cenderung menggunakan langkah-langkah yang riskan bagi kehalalan produk. Mereka seolah berusaha "bermain" dengan label halal, semata-mata demi cuan. Seperti trik pemasaran yang kebablasan ala Nabidz atau praktik "menyerupai yang haram" oleh Espora.
Padahal, seorang muslim diwajibkan untuk hanya mengonsumsi yang halal. Allah menegaskan kewajiban ini di dalam QS Al-Baqarah: 168. Firman-Nya, "Wahai manusia, makanlah dari (makanan) yang halal lagi baik (yang terdapat) di muka bumi."
Negara Harus Berperan
Sayangnya, syariat yang mulia ini tidak bisa tegak paripurna karena negara tidak menjalankan perannya secara sempurna. Negara seharusnya menjadi institusi penerap syariat sehingga bisa memastikan setiap orang, baik konsumen, distributor, maupun produsen agar taat syariat. Hal ini sebagaimana firman Allah di dalam QS Al-Maidah: 48 yang memerintahkan penguasa agar memutuskan segala perkara dengan apa-apa yang Allah taala turunkan, yaitu Al-Qur'an dan hadis.
Realitasnya, di sistem kapitalisme yang sekuler, kehalalan produk tidak menjadi sebuah kewajiban, tetapi lebih sebagai keunggulan produk karena beredar di kalangan muslim. Oleh karenanya, banyak produk di pasaran yang tidak halal.
Mekanisme sertifikasi yang dijalankan negara tidak memberikan jaminan halal. Ada produk yang halal, tetapi tidak bersertifikat halal karena kendala administrasi dan lainnya. Maklum, mengurus sertifikat halal butuh biaya yang tidak murah dan proses yang tidak mudah. Memang Kemenag memiliki program yang menggratiskan pengurusan sertifikat halal untuk UMKM, tetapi kuota sertifikat hanya satu juta sehingga tidak mencukupi untuk seluruh UMKM di Indonesia yang jumlahnya lebih dari 65 juta.
Selain itu, ada produk-produk yang mengeklaim bersertifikat halal, tetapi ternyata bermasalah. Misalnya sertifikat halalnya kedaluwarsa atau palsu.
Di sisi lain, pemerintah justru memberikan kelonggaran dalam sertifikasi halal. Melalui mekanisme self declare, sertifikat halal makin mudah didapatkan. Gencarnya sertifikasi halal ditujukan pemerintah untuk meraih posisi Indonesia sebagai produsen utama produk halal. Walhasil, ketelitian dalam pemberian sertifikat halal diabaikan demi meraih target jumlah produk bersertifikat halal.
Penjagaan oleh Sistem Islam
Satu-satunya institusi yang menjamin kehalalan produk yang beredar di masyarakat adalah sistem Islam, yakni Khilafah. Hal ini dikarenakan Khilafah merupakan negara yang berdasarkan akidah Islam sehingga negara wajib menerapkan syariat Islam dalam seluruh bidang, termasuk di bidang pangan.
Khilafah memastikan produk halal saja yang beredar di masyarakat muslim. Adapun produk haram seperti daging babi hanya boleh beredar secara terbatas di kalangan nonmuslim. Sedangkan terkait khamar, meski misalnya ada agama yang membolehkan pemeluknya untuk mengonsumsi, tetapi di dalam khamar ada mudarat yang besar.
Khamar bahkan disebut sebagai induk kejahatan karena orang yang mabuk karena khamar bisa terdorong melakukan kejahatan-kejahatan lainnya seperti membunuh, melukai, melecehkan, dll. dalam kondisi tidak sadar. Oleh karenanya, khamar akan dilarang, baik untuk muslim maupun nonmuslim.
Adapun minuman yang menyerupai khamar bisa juga dilarang jika terwujud kekhawatiran akan kehalalannya. Sikap yang diwujudkan adalah warak, yaitu berhati-hati terhadap produk yang diragukan kehalalannya.
Alih-alih memberikan sertifikat halal, Khilafah akan memberikan label haram pada produk yang haram dan membatasi peredarannya hanya di kalangan nonmuslim. Adapun produk yang beredar di pasaran, dipastikan halal.
Negara Khilafah akan menugaskan para kadi hisbah untuk melakukan pengawasan di pasar, toko, pusat perbelanjaan, pabrik, gudang, pelabuhan, dan semua tempat yang memungkinkan adanya produk haram. Dengan pengawasan ini, pihak yang memproduksi, menjual, atau mengonsumsi produk haram akan diberi sanksi tegas.
Dengan demikian, tidak akan ada lagi pihak-pihak yang mempermainkan kehalalan produk semata karena cuan. Umat Islam pun bisa mengonsumsi produk yang ada di pasaran secara tenang tanpa khawatir ada zat yang haram. Dengan pelaksanaan tugas Khilafah yang demikian disiplin terkait kehalalan produk, umat Islam pun bisa merasa tenang ketika mengonsumsi apa pun. Akhirnya, dengan mengonsumsi produk yang halal, keberkahan pun terwujud bagi umat Islam.
Wallahu a'lam bi al-shawab []
Ini masuk ghabn al fahisy g ya? Trik yg keji.
MasyaAllah.. tiada label halal melainkan label haram yang ada, karena kekhilafahan menjamin kehalalan pangan yang beredar di tengah masyarakat..
Betul mbak. Kerasa banget di bawah kapitalisme nggak ada jaminan kehalalan produk. Yang sudah berlabel halal saja bisa zonk.
Memang ya, kalau yang dipikirkan hanya cuan, segala cara akan dilakukan. Termasuk membodohi umat dengan label halal.
Begitulah kapitalisme. Mata duitan, he he...
Begitulah sifat rakus kapitalis. Semua demi cuan tak peduli halal haram. Yang penting cuan mengalir. Umat Islam harus sangat berhati-hati. Dan berharap segera terwujud sistem Islam.
Aamiin. Semoga Khilafah segera terwujud.
Produk yang jelas-jelas haram masih saja dicari-cari alasan biar jadi halal. Watak sistem rusak selalu saja menggunakan berbagai cara demi cuan semata.
Sedih, memang. Banyak yang mengira halal, ternyata haram.
Butuh peran negara agar umat Islam benar-benar dapat terlindungi. Sayangnya karena saat ini negara menerapkan sistem kapitalis-sekuler, maka negara hanya memburu keuntungan semata. Atas nama ekonomi negara gencar mempromosikan sertifikasi halal dengan membuat kemudahan prosesnya. Apalagi mekanisme permohonan sertifikasi halal berdasarkan self disclaimer cenderung memberikan peluang terjadinya penyalahgunaan oleh oknum yang akan merugikan umat Islam. Astagfirullah... semoga umat ini selalu terjaga dari berbagai kemudharatan...aamiin Allahumma aamiin
Aamiin
Khilafah memang beda. Keren tulisannya mbak Ragil
Betul. Khilafah satu-satunya institusi yang menjamin kehalalan produk yang beredar di masyarakat. Syukran, Mbak.
Dalam sistem kapitalisme apa pun dilakukan untuk meraup keuntungan sekalipun harus melakukan tindakan manipulasi. Hanya sistem Islam yang menjamin kehalalan semua produk yang masuk ke dalam negeri.
Negara harusnya menjadi periayah, tidak boleh lepas tangan.
Ketiadaan sistem Islam membuat banyak produk terap diragukan kehalalannya, meski ada jaminan halal dari lembaga yang mengeluarkan sertifikat halal. Inilah urgensinya umat butuh junnah, agar tidak ada lagi pihak-pihak yang memanipulasi kehalalan suatu produk hanya demi untung besar.
Dan junnah itu adalah Khilafah.
Benar, jika dibiarkan menggunakan nama "wine halal" maka akan bermunculan nama2 sejenis yang mengaburkan batas halal dan haram. Pun, umat akhirnya terbiasa, dan hal itu bencana.
Nanti ada judi syar'i, prostitusi halal, riba halal, dst. Kok ngeri, ya.
Oawalah, aroma melegalisasi makanan haram mulai tericum nih. Bahaya memang jika label halal hanya sekadar formalitas, terlebih yg mengurus tidak tahu syariat Islam.
Tahu, tetapi tidak mau menerapkan. Sedihnya...