Kota Layak Anak hanyalah bualan manis para pejabat. Karena pada kenyataannya, Kota Layak Anak tidak mungkin terwujud ketika kita masih hidup dalam sistem yang ada saat ini.
Oleh. Arlina Fazri S.Pd
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Diperingatinya Hari Anak Nasional yang jatuh pada tanggal 23 Juli, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga menganugerahi Penghargaan Kabupaten/Kota Layak Anak 2023 kepada 360 kabupaten/kota yang terdiri atas 19 Kategori Utama, 76 Kategori Nindya, 130 Kategori Madya, dan 135 Kategori Pratama. Penghargaan tersebut diberikan sebagai komitmen pemimpin daerah dalam mewujudkan pemenuhan hak anak. Sementara Penghargaan Provinsi Layak Anak (Provila) diberikan kepada 14 provinsi yang telah melakukan upaya keras untuk menggerakkan kabupaten/kota di wilayahnya dalam mewujudkan Kota Layak Anak. Penganugerahan Kota Layak Anak tersebut dilaksanakan pada malam tanggal 22 Juni, di Kota Semarang, Jawa Tengah. (AntaraNews.com, 22/07/2023)
Anak-anak adalah aset bangsa. Baik dan buruknya generasi yang ada pada masa depan, semua tergantung dari peran negara, keluarga, lingkungan masyarakat, dan lingkungan pendidikan dalam pemenuhan hak anak. Harus ada sinergi untuk menciptakan anak-anak yang sehat secara mental, cemerlang secara pemikiran, serta kokoh secara keimanan.
Namun, sudahkah Kota Layak Anak itu terwujud? Karena jika melihat fakta di lapangan, masih banyak masalah yang mengintai anak-anak hari ini. Mental mereka rusak karena mengalami kekerasan, pelecehan seksual, stunting, tingginya angka putus sekolah, dll. Peringatan Hari Anak Nasional yang baru saja dirayakan, tidak lebih hanya sebatas seremonial belaka.
Menurut data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) melaporkan, ada 797 anak yang menjadi korban kekerasan seksual sepanjang Januari 2022. Itu artinya kekerasan terhadap anak masih banyak terjadi di negeri ini, dan sulit untuk dihentikan. Hak seorang anak saat dilahirkan ke dunia adalah memiliki orang tua yang bertakwa, mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya, mendapatkan pendidikan terbaik, dan lingkungan yang aman bagi tumbuh kembang mereka. Namun, sudahkah mereka mendapatkan hak-haknya sebagai anak?
Sistem kapitalisme yang kejam, kadang memaksa ibu dan ayah bekerja di luar seperti robot, sehingga mengabaikan hak-hak sang anak, terutama dalam pemenuhan kasih sayang. Tidak sedikit dari mereka abai memberikan perhatian dan pendidikan terbaik untuk membentuk ketakwaan individu sang anak sesuai dengan akidah Islam. Banyak dari orang tua yang bekerja, peran pengasuhan dialihkan pada keluarga terdekatnya, atau pada asisten rumah tangganya.
Lebih menyedihkannya lagi, ketika anak-anak ini diasuh oleh gadget tanpa pengawasan orang dewasa. Anak-anak tersebut dengan mudah mengakses tayangan yang merusak akidah dan akal mereka. Bahkan,tidak sedikit dari mereka, di usia yang masih dini sudah melakukan pelecehan seksual kepada temannya akibat diberi kebebasan mengakses gadget setiap hari tanpa diberikan batasan.
Selain mengalami masalah kekerasan fisik dan pelecehan seksual, ada banyak anak-anak di negeri ini yang mengalami masalah stunting atau gizi buruk karena faktor kemiskinan. Berdasarkan hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) Kementerian Kesehatan, prevalensi balita stunting sebesar 24,4% pada 2021. Artinya, hampir seperempat balita Indonesia mengalami stunting pada dua tahun yang lalu. Masalah stunting tidak bisa dianggap remeh, karena untuk menghasilkan generasi terbaik kita membutuhkan anak-anak yang sehat dan cerdas, sehingga mereka harus tercukupi kebutuhan gizinya secara memadai.
Di Indonesia banyak juga anak-anak yang mengalami putus sekolah dan jumlahnya masih tinggi. Pada tahun ajaran 2021/2022 sebanyak 75.876 orang. Pada tingkat SD berjumlah 38.716 orang, tingkat SMP 15.042 orang, tingkat SMA 10.055 orang, dan tingkat SMK 12.063 orang. Padahal anggaran biaya pendidikan yang dikeluarkan APBN cukup tinggi, harusnya tidak ada lagi siswa yang pendidikannya putus di tengah jalan.
Kota Layak Anak hanyalah bualan manis para pejabat. Karena pada kenyataannya, Kota Layak Anak tidak mungkin terwujud ketika kita masih hidup dalam sistem yang ada saat ini. Banyak perangkat untuk mendukung terwujudnya Kota Layak Anak, dan negaralah yang harus menyediakannya.
Islam sangat menjamin dan melindungi anak, karena anak adalah aset umat untuk kehidupan pada masa yang akan datang. Anak-anak yang sehat secara mental, cemerlang secara pemikiran, kuat secara akidah, mereka akan menjadi pemimpin yang membawa umat pada perubahan yang lebih baik. Namun, pada kenyataannya saat ini, banyak anak yang mengalami luka pengasuhan, kering dari sentuhan agama, sehingga mereka jadi monster mengerikan pada masa yang akan datang.
Untuk membangun Kota Layak Anak, ada beberapa hal yang harus dipenuhi, di antaranya adalah:
Pertama, dalam menyiapkan Kota Layak Anak membutuhkan ketahanan keluarga. Di mana anak bisa tumbuh karena memiliki orang tua beriman. Maka, sudah selayaknya keluarga muslim menjadikan rumah mereka sebagai madrasah pertama bagi anak-anaknya.
Negara turut andil mengembalikan fungsi peran ibu ke tempat yang sesuai dengan fitrahnya, yakni menjadi ummu warabatul bait. Lalu, berfungsinya peran ayah dalam memenuhi nafkah bagi keluarganya, merupakan bagian dari membangun ketahanan keluarga. Sebagai pemimpin di keluarganya, sang ayah juga memiliki peran penting dalam mendidik anak, terutama dalam menanamkan nilai-nilai tauhid pada sang anak demi tegaknya nilai ilahiah di muka bumi.
Para ayah banyak yang kehilangan momen bersama keluarga, karena waktunya habis untuk mengejar materi. Sehingga membuat fungsi keluarga menjadi rapuh, rentan melahirkan anak-anak yang rusak, mudah depresi, dll. Rapuhnya ketahanan keluarga sangat berbahaya, karena akan meninggalkan generasi lemah di belakangnya.
Dalam Al-Qur'an surah At-Tahrim ayat 66 Allah berfirman,
"Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan."
Kedua, negara ikut berperan membangun ketakwaan masyarakat. Sehingga tidak ada lagi kasus kekerasan dan pelecehan yang terjadi terhadap anak, karena adanya kontrol sosial dari masyarakat. Masyarakat takut untuk berbuat maksiat, karena Allah senantiasa mengawasi setiap perbuatannya. Dan penerapan hukum bagi pelaku kekerasan, pelecehan, dihukum dengan seadil-adilnya.
Ketiga, sebagai pihak yang bertanggung jawab me-ri’ayah rakyatnya, negara wajib memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Baik pemenuhan sandang, pangan, maupun papan, juga kebutuhan akan layanan kesehatan dan pendidikan serta perlindungan akan keamanan.
Hanya Islam yang bisa menyediakan Kota Layak Anak. Karena Islam ketika menguasai peradaban, maka aturan yang diterapkannya mampu mengatasi setiap permasalahan secara menyeluruh bukan parsial. Semoga Kota Layak Anak itu bisa segera diwujudkan, dengan kembalinya ideologi Islam yang memegang peradaban dunia.
Wallahu a’lam bishawab. []
Anak-anak yang malang dari dulu dan kini.. dinaungi oleh sistem batil yang nyatanya enggan melindungi terlebih menaungi anak-anak..
Tes
Kapitalisme hanya menjadi anak sebagai ladang bisnis,,
buktinya, pendidikan anak mulai dari Paud, TK, SD, hingga perguruan tinggi makin mahal.
Anak-anak terbengkalai dalam sistem saat ini...
Saatnya ganti sistem...
Anehnya, pernyataan yang kontradiktif dengan realita, tak juga membuat malu penguasa daerah dan para pejabat di negeri ini. Mungkinkah mereka tak pernah tahu realita? atau, memang mereka tak mau tahu?!
Bermimpi menyandnag kota layak anak hanya agar dapat prestise, hanya agar diakui, hanya berupa administrasi dan data2, tapi nyatanya, negeri ini tak layak bagi perkembangan anak. Mulai dr lingkungan, pendidikan, sosial, bahkan ekonominya juga tak sedikit menjadikan anak kirang nutrisi dan gizi
Kota layak anak hanyalah delusi. Jika masih di bawah asuhan kapitalisme niscaya gak ada namanya kota layak anak. Betul, butuh peran semua pihak untuk mewujudkan hak-hak anak, dari keluarga, masyarakat, dan negara.
Paradoks Kota Layak Anak di tengah-tengah HAN. Semoga Islam segera tegak hingga KLA benar² akan terwujud