Inilah wajah hukum dalam kapitalisme. Hukuman yang diberikan tidak akan mampu menjadi solusi terhadap problem-problem yang melilit negeri ini, termasuk problem korupsi itu sendiri. Sebab, sistem hukum berasal dari akal manusia yang terbatas, serba kurang, bahkan berat sebelah.
Oleh. Siti Komariah
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Tanggal 17 Agustus lalu merupakan hari kemerdekaan Indonesia yang ke 78. Semarak kemerdekaan pun menghiasi seluruh penjuru Indonesia, mulai Sabang sampai Merauke. Hampir semua daerah merayakan hari kemerdekaan dengan berbagai kegiatan dan perlombaan. Ini dilakukan sebagai wujud kegembiraan mereka atas kemerdekaan negara ini. Tidak ketinggalan, HUT RI ke-78 ini juga dirasakan oleh para narapidana, bahkan sangat dinanti-nanti.
Bagaimana tidak? Setiap tanggal 17 Agustus, para narapidana akan mendapatkan hadiah kemerdekaan berupa remisi. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) memberikan Remisi Umum bagi 175.510 Narapidana, 16 di antaranya adalah tindak kasus korupsi. Koordinator Humas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Dirjenpas) Kemenkumham Rika Aprianti mengungkapkan, remisi ini diberikan dalam rangka HUT ke-78 Republik Indonesia. Remisi ini juga dijalankan sesuai aturan undang-undang dan diberikan kepada seluruh narapidana, termasuk tindak pidana korupsi (liputan6.com, 16/08/2023).
Remisi Napi Efek Jera Dipertanyakan
Remisi merupakan pengurangan masa pidana yang diberikan kepada seluruh narapidana yang telah memenuhi syarat sesuai peraturan perundang-undangan. Remisi merupakan hak bagi seluruh narapidana yang termaktub dalam Pasal 14 UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Persyaratan pemberian remisi bagi narapidana juga termaktub dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan dan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 7 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat. Syarat tersebut, yakni bagi narapidana yang berkelakuan baik saat menjalani masa tahanan, dan mereka yang telah menjalani masa tahanan selama 6 bulan sampai 12 bulan.
Jika ditelisik, pemberian remisi bagi para narapidana yang tercantum dalam undang-undang di atas memang sangat berperikemanusiaan. Namun, hal ini juga kian mengindikasikan bahwa penguasa tidak serius dalam memberantas kasus kriminalitas, termasuk korupsi. Negara justru membuka lebar-lebar sarang kriminalitas, dan koruptor. Bahkan, menjadikan Indonesia sebagai "surga bagi para koruptor". Sebab, sebesar apa pun mereka melakukan korupsi, seberat apa pun hukuman yang diberikan, ujung-ujungnya akan bebas juga.
Padahal, jamak diketahui bahwa kasus-kasus yang melibatkan para koruptor merupakan kasus yang merugikan negara dan rakyat. Mereka mencuri uang rakyat dengan jumlah sangat fantastis. Semua itu mereka lakukan hanya untuk berfoya-foya memenuhi hajat hidupnya yang mewah, sedangkan rakyat harus terlunta-lunta akibat hak mereka telah dirampok. Belum lagi, dengan datangnya berbagai pajak dan kebutuhan ekonomi yang kian membumbung tinggi. Membuat rakyat kian sengsara.
Lantas, apa jadinya jika para koruptor dengan mudah mendapatkan remisi untuk bebas bersyarat? Hanya dengan berkelakuan baik saat di Lapas/Rutan, cukup untuk menjadi bukti bahwa mereka telah bertobat? Padahal, bertobat juga sejatinya tidak bisa menghilangkan sanksi pidana. Sebagaimana pandangan Imam Malik bahwa tobat tidak dapat menghapus sanksi pidana, karena sanksi pidana adalah sebagai kafarat maksiat (penebus kesalahan) bagi pelaku kesalahan tersebut. Selain itu, bisa jadi narapidana yang berkelakuan baik, hanya sebuah tipu daya, agar mereka mendapatkan remisi dan segera bebas. Bukan tidak mungkin, mereka akan kembali beraksi saat keluar dari penjara.
Jika sudah seperti itu, dari mana datangnya efek jera bagi para pelaku koruptor tersebut? Bukankah sanksi merupakan hukuman bagi para pelaku kejahatan yang seharusnya dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku dan orang lain? Kemudian, ia juga bisa meminimalisasi maraknya kasus-kasus koruptor yang baru?
Kapitalisme Akar Masalah
Pemberian remisi kepada para narapidana sejatinya membuktikan kepada kita tentang efektivitas hukum di alam kapitalisme. Pemberian remisi ini sejatinya juga membuat kasus korupsi kian menggurita di negeri ini, bahkan tumbuh subur bak jamur di musim penghujan. Sebab, para koruptor ataupun orang lain tidak merasa jera terhadap hukuman yang diberikan. Apalagi, bukan rahasia umum bahwa para koruptor sekadar pindah kamar tidur saja. Bagaimana tidak, sebagian besar dari mereka mendapatkan fasilitas bak hotel bintang lima. Kamar tidur mewah, full dengan AC, makanan enak, dan lainnya tersedia bagi sebagian para koruptor.
Inilah wajah hukum dalam kapitalisme. Hukuman yang diberikan tidak akan mampu menjadi solusi terhadap problem-problem yang melilit negeri ini, termasuk problem korupsi itu sendiri. Sebab, sistem hukum berasal dari akal manusia yang terbatas, serba kurang, bahkan berat sebelah. Asas materi yang ditancapkan dalam diri para individu, termasuk penegak hukum juga membuat mereka tidak mampu menegakkan hukum dengan adil, tanpa pandang bulu. Dengan sedikit cuan yang diberikan di kantong-kantong penegak hukum, membuat mereka terlena dan mengikuti arahan pemilik modal atau penyuap tersebut. Alhasil, hukum di Indonesia terkenal dengan slogan "tajam ke bawah, tumpul ke atas". Artinya, siapa pemegang kekuasaan dan memiliki uang, maka dia bisa membeli hukum dan memainkannya.
Belum lagi, hukum di negeri kapitalisme penuh dengan drama. Dengan berbagai dalih, mulai dari Hak Asasi Manusia (HAM) hingga kesiapan mental, dan lainnya, membuat para pelaku mendapatkan keringanan hukuman. Padahal, seharusnya sistem sanksi tidak boleh dikompromikan dengan apa pun.
Sistem Sanksi Tegas Hanya pada Islam
Islam bukan hanya sekadar agama ritual, namun Islam juga merupakan seperangkat aturan yang mengatur seluruh lini kehidupan manusia, mulai dari sistem ekonomi, politik, sosial, muamalah, tanpa terkecuali sistem hukumnya. Islam yang berasas pada akidah Islam telah membuktikan bahwa ia memiliki sistem sanksi yang tegas dan menjerakan, baik bagi pelaku kriminalitas, maupun orang lain.
Sistem sanksi dalam Islam bukan hanya sebagai hukuman bagi narapidana. Namun, sistem sanksi Islam berfungsi sebagai jawabir. Artinya, penebus dosa bagi para pelaku kejahatan, sehingga seseorang yang telah melakukan kejahatan, kelak di akhirat tidak akan dihisap terhadap kejahatannya. Kemudian, dia juga berfungsi sebagai zawajir. Artinya, sistem sanksi akan menjadi perisai bagi seluruh rakyat. Dia akan mencegah orang lain untuk melakukan kejahatan yang sama.
Baca juga : panggung-megah-bagi-mantan-narapidana/
Sistem sanksi dalam Islam ditegakkan secara tegas, tidak pandang bulu, dan juga tidak bisa dikompromikan. Tidak ada keistimewaan antara rakyat biasa ataupun para pejabat, bahkan keluarga sekalipun. Rasulullah saw. bersabda, "Wahai manusia, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika ada orang yang mulia (memiliki kedudukan) di antara mereka yang mencuri, maka mereka biarkan (tidak dihukum). Namun, jika yang mencuri adalah orang yang lemah (rakyat biasa), maka mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Namun, sistem sanksi ini harus didukung dengan sistem yang lainya agar berjalan dengan sempurna. Seperti, sistem politik Islam yang akan membentuk penguasa-penguasa yang amanah terhadap kepemimpinannya. Sistem ekonomi Islam yang akan mampu mendanai segala urusan negara, termasuk mendanai keperluan sistem sanksi, seperti pembangunan Lapas, makanan narapidana, dan lainnya.
Dalam memberantas korupsi, Islam memiliki beberapa mekanisme, yakni;
Pertama, melakukan edukasi. Islam akan menanamkan akidah Islam pada diri setiap masyarakat dan mendorong mereka untuk senantiasa menyandarkan perbuatan kepada syariat Allah. Dengan demikian, ketakwaan kepada Allah akan menjadi benteng pertama manusia dalam bertingkah laku. Selain itu, negara juga mendidik rakyat melalui sistem pendidikan yang berdasar akidah Islam. Visi dan misi pendidikan Islam yakni melahirkan generasi-generasi yang berpola pikir dan pola sikap Islam, sehingga mereka tidak akan berbuat sesuatu yang sia-sia, apalagi melakukan kemaksiatan dan kejahatan.
Kedua, aspek pencegahan. Islam akan melakukan pemeriksaan dan pengawasan kepada harta para pejabat negara. Sebagaimana yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab yang mengangkat Muhammad bin Maslamah sebagai pengawas keuangan pada Badan Pengawasan Keuangan Negara.
Pada saat itu, Khalifah Umar kerap menugaskan Muhammad bin Maslamah untuk menghitung kekayaan para pejabat negara, jika ada kelebihan harta yang dianggap tidak wajar, si pejabat harus menjelaskan dan membuktikan asal dari harta kekayaan tersebut. Jika tidak mampu membuktikan, pejabat tersebut terbukti melakukan korupsi.
Ketiga, pemberian sanksi tegas. Jika telah dilakukan edukasi dan pencegahan, namun masih terjadi tindak korupsi, sistem sanksi yang akan diberlakukan. Sistem sanksi bagi korupsi dalam Islam yakni takzir. Artinya, hukuman tersebut diserahkan kepada khalifah. Hukuman bisa berupa penjara sampai hukuman mati sesuai dengan ketentuan khalifah. Seorang khalifah menetapkan hukum berdasarkan pada syariat Islam yang tegas dan tidak pandang bulu. Dengan beberapa mekanisme di atas, maka korupsi akan bisa diminimalisasibahkan dihentikan.
Wallahu a’lam bishawab.[]
Remisi diberikan pada para tahanan karena menganggap mereka memiliki HAM hingga suasana suka cita harus dibagi rata dengan para napi. Lucunya hukum buatan manusia
Di negeri ini, koruptor jadi profesi yang sangat menjanjikan. Menjanjikan remisi, menjanjikan cepat bebas, dan menjanjikan hukuman ringan. Hadeh, negeriku yang malang karena jadi sarang koruptor.
Ketidakadilan akan selalu ditampakkan dalam sistem kapitalisme. Penjahat sekalipun akan bebas karena ada remisi tiap tahun. Kalau sudah begini apakah kejahatan di negeri ini akan berkurang?
"Rahim" kapitalisme telah melahirkan banyak para koruptor.. mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya tanpa memandang halal haram.. miris..