Dari sini dapat disimpulkan bahwa Indonesia masuk kategori institusi politik dan ekonomi ekstraktif, di mana penguasaan aset-aset strategis lebih didominasi oleh para korporat. Sedangkan rakyat pada umumnya masih bergelut dengan kemiskinan, kesenjangan, dan ketidakadilan sosial yang semakin menganga lebar. Ini artinya, negara gagal sistemis semakin layak ditujukan untuk Indonesia.
Oleh. Sartinah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Pro kontra tentang daftar negara gagal sistemis sempat ramai mewarnai pemberitaan. Hal ini terjadi setelah Director Political Economy & Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan menebar cuitannya ke sosial media. Nahasnya, dalam cuitan tersebut Anthony memasukkan Indonesia sebagai bagian dari negara gagal sistemis.
Dalam cuitannya, Anthony mendefinisikan negara gagal sistemis adalah negara yang pembayaran bunga utangnya lebih tinggi dibandingkan dengan biaya kesehatan atau pendidikan. Anthony pun mengutip data APBN 2022, yang menyebutkan bahwa biaya kesehatan negeri ini sebesar Rp176,7 triliun, sedangkan bunga pinjamannya Rp386,3 triliun. Pembayaran bunga pinjaman yang jauh lebih besar dari biaya pendidikan inilah yang akhirnya membuat Anthony memasukkan Indonesia sebagai negara gagal sistemis. (Elshinta.com, 28/07/2023)
Dengan prediksi tersebut, apakah Indonesia layak dikatakan sebagai negara gagal sistemis? Jika tidak, lantas negara mana saja yang sudah menjadi negara gagal? Lantas, hal-hal apa saja yang digunakan untuk menentukan kemajuan dan kemunduran suatu negara?
Negara Gagal Menurut PBB
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membuat laporan yang berjudul A World of Debt (Dunia Utang) yang memberi alarm bahaya akut tentang utang publik global di tahun 2022. Disebutkan dalam laporan tersebut bahwa utang publik global mencapai angka tertinggi sepanjang masa, yakni US$92 triliun. Namun, dalam laporan tersebut PBB tidak menunjuk "hidung" Indonesia secara langsung sebagai negara gagal sistemis.
Melalui Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, Antonio Guterres, disebutkan bahwa beberapa negara memang memiliki utang lebih besar ketimbang belanja sektor mandatory (wajib). Sektor mandatory yang dimaksud adalah kesehatan dan pendidikan. Menurutnya, ada 52 negara (40 persennya adalah negara berkembang) berada pada masalah utang yang serius, utamanya negara-negara di Benua Afrika yang memiliki tingkat bunga utang 11,6 persen.
Jika data-data tersebut dikaitkan dengan negara yang pernah mengalami kebangkrutan, negara gagal tersebut dapat dialamatkan kepada Zimbabwe, Sri Lanka, dan Ekuador. Lalu, bagaimana dengan posisi Indonesia? Pasalnya, status negara gagal yang tujukan untuk Indonesia ditampik oleh Staf Khusus Menteri Keuangan bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo. Menurutnya, jika anggaran pendidikan dan kesehatan digabung, jumlahnya akan melampaui belanja bunga utang, yakni sebesar Rp649,3 triliun. Sedangkan belanja bunga utang hanya Rp368,3 triliun.
Perbedaan pandangan antara pemerintah dan Anthony Budiawan dalam menentukan negara gagal atau tidak, sejatinya terletak pada satu hal. Pemerintah menggabungkan dua sektor sekaligus, yakni pendidikan dan kesehatan, sedangkan Anthony memisahkan setiap sektor. Jika mengacu pada analisis pemerintah maka anggaran pendidikan dan kesehatan memang jauh lebih besar ketimbang belanja bunga utang. Jika demikian, apakah Indonesia tidak termasuk negara gagal sistemis sebagaimana bantahan pemerintah?
Indonesia Aman dari Status Negara Gagal?
Sebagaimana disebutkan di awal bahwa posisi bunga utang (tidak termasuk pokoknya) yang dibayarkan pemerintah pada tahun 2022 sebesar Rp368,3 triliun. Di sisi lain, berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2023, pagu rasio utang dipatok sebesar 60 persen dari PDB. Sedangkan rasio utang Indonesia pada 2023 masih berada di angka 38,15 persen dari PDB. Dengan posisi rasio utang yang masih dianggap aman, maka Indonesia sangat berpotensi menambah utangnya sampai berkali lipat.
Jika pemerintah tidak mampu menekan syahwat berutangnya, dapat dipastikan bahwa belanja bayar bunga utang akan melampaui belanja di sektor pendidikan. Bahkan, bukan tidak mungkin akan melampaui belanja di sektor pendidikan dan kesehatan. Jika hal ini terjadi maka Indonesia sangat berpotensi menjadi negara gagal menurut PBB. Namun, kita tidak hanya mengambil kesimpulan tentang gagal atau tidaknya sebuah negara berdasarkan pendapat orang per orang semata. Lantas dari mana indikatornya?
Kriteria Kemajuan dan Kemunduran Suatu Negara
Dalam sebuah buku bertajuk Negara Gagal yang ditulis oleh ilmuwan politik James A. Robinson dari Universitas Harvard dan ekonom asal Turki–Amerika, Daron Acemoglu yang berasal dari Institut Teknologi Massachusetts, disebutkan bahwa kemajuan dan kemunduran suatu bangsa ditentukan oleh desain institusi politik dan ekonominya.
Dalam penjelasan buku tersebut, kedua penulisnya telah membagi institusi ekonomi dan politiknya ke dalam dua formasi, yakni institusi politik ekonomi inklusif dan ekstraktif. Dalam institusi politik ekonomi inklusif misalnya, negara mempunyai kebijakan yang menguntungkan kaum elite, sekaligus memberikan kemakmuran kepada rakyat mayoritas. Dalam hal ini rakyat dapat berpartisipasi aktif secara politik dan memiliki saluran konstitusional. Dengan hak tersebut, maka rakyat dapat mengontrol tindakan penguasa.
Sedangkan institusi politik ekonomi ekstraktif merupakan bentuk kekuasaan di mana kepemilikan sumber daya ekstraktif yang dimiliki suatu negara hanya dikuasai oleh segelintir orang atau oligarki, serta ditopang oleh kekuatan politik dan kekuasaan. Kondisi ini akhirnya memicu munculnya kesenjangan ekonomi yang semakin menganga. Lantas, bagaimana dengan wajah Indonesia?
Indonesia merupakan negara yang menempatkan presiden dan partai politik terpilih sebagai pihak yang memegang kedaulatan rakyat. Artinya, dari tangan-tangan merekalah (melalui wakil-wakilnya di DPR), kebijakan atau UU dibuat dan dijalankan terhadap sekitar 270 juta rakyat Indonesia. Partai politik pula yang memiliki wewenang untuk mengajukan calon presiden yang akan dipilih oleh rakyat.
Tak hanya itu, perbandingan penguasaan aset antara para kapitalis dan rakyat pun tak apple to apple. Pasalnya, satu persen penduduk negeri ini justru menguasai setengah kekayaan nasional. Hal ini dilihat dari angka GINI rasio terkait penguasaan tanah di Indonesia yang mencapai 0,58. Artinya, 58 persen sumber daya agraria, tanah, dan ruang hanya dikuasai oleh 1 persen penduduk. Sedangkan 40 persen penduduk negeri ini masih terkategori rentan atau miskin berdasarkan standar yang dikeluarkan Bank Dunia.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa Indonesia masuk kategori institusi politik dan ekonomi ekstraktif, di mana penguasaan aset-aset strategis lebih didominasi oleh para korporat. Sedangkan rakyat pada umumnya masih bergelut dengan kemiskinan, kesenjangan, dan ketidakadilan sosial yang semakin menganga lebar. Ini artinya, negara gagal sistemis semakin layak ditujukan untuk Indonesia.
Inilah petaka besar sebuah negara yang dikelola oleh sistem kapitalisme. Di bawah asuhan kapitalisme, sebagus dan sebaik apa pun potensi yang dimiliki oleh satu negara, niscaya tidak akan mampu mewujudkan kemajuan dan kesejahteraan hakiki. Pasalnya, kapitalisme yang hanya berorientasi pada materi, tidak pernah sungguh-sungguh mewujudkan kesejahteraan rakyat. Meski beberapa negara mampu membuat ekonominya maju dan berkembang pesat, tetapi kerusakan yang ditimbulkan oleh sistem ini jauh lebih besar.
Butuh Sistem Terbaik
Jika disodorkan pertanyaan kepada mereka yang paham sejarah untuk memilih sistem mana yang paling sempurna, niscaya mereka akan menjawab sistem Islam. Meskipun kini kaum muslim dan umat manusia pada umumnya tidak dapat menyaksikan jejak-jejak peradaban Islam, tetapi sejarah kegemilangannya tak dapat dinafikan. Ya, peradaban Islam di bawah naungan Khilafah adalah peradaban emas yang telah memberikan sumbangsih luar biasa bagi manusia.
Namun, satu hal yang harus diingat bahwa kemajuan dan kejayaan yang pernah diraih Khilafah bukanlah disebabkan oleh orang (pemimpinnya), tetapi terletak pada sistem yang menaunginya. Sistem yang baik dan tepat akan melahirkan kebaikan bagi manusia di semua aspek kehidupan. Sistem terbaik itu adalah Islam yang lahir dari Sang Pencipta, yakni Allah Swt. Jika kapitalisme telah menimbulkan berbagai petaka, Islam justru hadir membawa rahmat bagi seluruh alam. Allah Swt. berfirman dalam surah Al-Anbiya ayat 107 :"Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam."
Islam adalah agama sekaligus ideologi yang berlandaskan akidah Islam dan menjadi solusi terhadap seluruh permasalahan manusia. Fakta kemakmuran dan kemajuan negeri-negeri Islam dapat disaksikan dengan terang benderang pada masa kekhilafahan. Bahkan, seorang cendekiawan Barat bernama Jacques C. Reister juga mengungkapkan kekagumannya pada peradaban Islam dalam sebuah kalimat, "Selama 500 tahun Islam menguasai dunia dengan kekuatannya, ilmu pengetahuan, dan peradabannya yang tinggi."
Di antara bukti kemajuan peradaban Islam. Pertama, tingginya kemampuan literasi. Majunya sebuah peradaban termasuk peradaban Islam tentu mencakup ruang lingkup yang luas. Jika buku merupakan salah satu warisan sebuah peradaban maka peradaban Islam menjadi paling terdepan yang ditopang oleh buku. Selain itu, buku juga dipandang sebagai ukuran majunya sebuah peradaban. Misalnya saja pada abad ke-10, sudah ada 20 perpustakaan umum di Andalusia. Salah satunya adalah perpustakaan di Cordoba yang saat itu sudah memiliki sekitar 400 ribu judul buku. Jumlah tersebut termasuk yang luar biasa pada masanya.
Kedua, munculnya para ilmuwan dengan karya-karyanya yang fenomenal. Banyaknya perpustakaan saat itu menjadi awal dilakukannya penerjemahan buku-buku, kemudian pengkajian, serta pengembangan isi buku-buku tersebut. Dari sinilah sejatinya awal mula lahirnya para cendekiawan dan ilmuwan muslim yang melahirkan karya-karyanya yang mendunia. Salah satunya adalah Ibnu Sina yang oleh Barat dikenal dengan Avicenna. Karya-karya para ilmuwan tersebut menjadi sumbangsih atas kemajuan peradaban Islam kala itu.
Khatimah
Demikianlah, maju atau gagalnya sebuah bangsa tergantung sistem apa yang mengelolanya. Jika dikelola oleh sistem yang tepat dan benar, kemajuan dan kesejahteraan suatu bangsa bukanlah fatamorgana. Namun, jika dikelola oleh sistem yang salah maka dapat dipastikan negara atau bangsa tersebut akan gagal sistemis. Meski negara tersebut kaya akan SDA dan ditopang oleh iklim yang mendukung (seperti Indonesia), tetap saja berpotensi menjadi negara gagal. Karena itu, jika Indonesia tak ingin menjadi negara gagal sistemis maka sudah selayaknya menjadikan sistem Islam sebagai solusi terhadap seluruh permasalahan.
Wallahu a'lam bishawab []
Selamanya sistem.kapitalisme akan mengandung bencana karena bukan berasal bukan berasal dari aturan Allah. Hanya sistem Islam yang membuat manusia aman disegala sisi untuk seluruh manusia
Alhamdulillah, Syukron katsir mbak penjelasannya..
Sistem kapitalisme jelas-jelas tidak mampu membawa memberikan kesejahteraan untuk rakyat. Saatnya mengambil Islam sebagai solusi terbaik
Negara gagal sisitemis,, berarti harus ganti sistem donk solusinya. Betul apa benar?
tulisannya keren. Hanya sistem Islam yang bisa menyelematkan negara dari kegagalan sistemis. Bertahan dalam sistem kapitalis sama dengan merencanakan kegagalan
Syukran mbak. Betul mbak Novianti, solusinya hanya menjadikan Islam sebagai solusi
Wah, komennya the best
Alhamdulillah bisa. Jazakunnallah khairan katsiran Mom dan tim NP
Tulisan mba Sartinah keren. Betul, hanya sistem Islam yang mampu menyelamatkan negara-negara dari kegagalan sistemis. Bertahan dalam sistem kapitalisme sama artinya menuju kegagalan yang direncanakan