Menghalalkan Khamar, Mendatangkan Dharar

Menghalalkan Khamar

Dalam sistem ekonomi kapitalis tidak ada standar halal dan haram. Karenanya, walaupun barang dan jasa berbahaya, tetapi selama ada yang menginginkan maka tidak akan dilarang, yang akan muncul adalah regulasi bukan pelarangan.

Oleh. Fitria Zakiyatul Fauziyah CH
(Kontributor NarasiPost.Com dan Mahasiswi STEI Hamfara Yogyakarta)

NarasiPost.Com-"Minuman keras (miras), apa pun namamu. Tak akan kureguk lagi. Dan tak akan kuminum lagi, walau setetes (setetes)". Bagi pencinta lagu Bang Haji Rhoma Irama pasti mengetahui lirik ini. Sebuah lirik yang di dalamnya berpesan agar meninggalkan minuman keras. Sayangnya hanya lirik, dan meski miras induk kejahatan, tetapi justru kian bebas. Bahkan baru-baru ini jagat maya diramaikan dengan informasi tentang beredarnya penjualan produk red wine merek Nabidz yang diklaim bersertifikat halal. 

Muhammad Aqil Irham selaku Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama (Kemenag), menyatakan bahwa memang terdapat produk minuman merek Nabidz mengajukan sertifikasi halal, namun bukanlah untuk produk wine. Ia memvalidasi bahwa BPJPH telah memblokir sertifikat halal bernomor ID131110003706120523, yakni produk jus buah anggur merek Nabidz. (liputan6.com, 28/07/2023) 

Kemenag Membantah

Terkait adanya informasi penjualan online produk wine merek Nabidz yang diklaim telah memiliki sertifikat halal, Kemenag menegaskan bahwa BPJPH tidak pernah menerbitkan sertifikat halal untuk produk wine.  Berdasarkan data yang terdapat di sistem Sihalal, Kemenag pastikan memang ada produk minuman dengan merek Nabidz telah mendapatkan sertifikat halal dari BPJPH. Namun verifikasi dan validasi pada tanggal 25 Mei 2023 produk tersebut bukan wine atau red wine, melainkan produk minuman jenis jus/sari buah anggur merek Nabidz. 

Hasil verval Pendamping PPH tidak ditemukan suatu pelanggaran dengan ketetapan, sebab proses produksi yang dilakukan pelaku usaha pun sederhana, dan pelaku usaha menyatakan tidak ada proses fermentasi. Adapun foto produk yang di-up oleh Sihalal juga, yaitu kemasan botol plastik. Selanjutnya pada 12 Juni 2023 Komite Fatwa menetapkan kehalalan produk tersebut. 

Lalu BPJPH memperoleh pengaduan bahwa Sertifikat Halal (SH) yang diterbitkan malah digunakan untuk produk lain. BPJPH tidak membenarkan akan hal tersebut, serta telah menerjunkan tim Pengawasan Jaminan Produk Halal untuk mendalami fakta di lapangan. Bila memang terdapat pelanggaran, maka akan dengan tegas diberikan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku, termasuk penarikan sertifikasi halal.  Kemenag mengimbau kepada para pelaku usaha ketika mendaftar sertifikasi halal untuk memasukkan data apa adanya. Ia tidak ingin data yang tertera justru diganti produk lain. 

Berburu Kepentingan

Rangkaian perjalanan sertifikasi halal ternyata tidak sampai di sini. Ketika UU Omnibus Law atau UU Ciptaker disahkan pada 5/10/2020, ternyata UU JPH pun mengalami perubahan secara substansial. Dalam UU sapu jagat ini, UU JPH diidentifikasi pada kelompok Permudahan Perizinan Usaha. Pemerintah berambisi menjadikan Indonesia sebagai pusat produk halal dunia pada tahun 2024 mendatang. Sedangkan pada pasar halal dunia selama ini Indonesia masih menjadi konsumen terbesar. 

Oleh karena itu, pemerintah telah mengusung beberapa strategi. Di antaranya, membangun keterhubungan dari hulu hingga hilir, mendorong pertumbuhan UMKM, menciptakan ekosistem ekspor, bersinergi pada berbagai elemen, serta mendorong kemudahan regulasi, termasuk sertifikasi halal, perizinan, dan lain-lain. 

Kemudian soal penghapusan beberapa syarat untuk auditor halal. Sebelumnya auditor halal wajib beragama Islam, WNI, memiliki wawasan luas tentang kehalalan produk dan hukum atau syariat agama. Auditor juga wajib berpendidikan minimal S1 bidang pangan, biologi, kimia, biokimia, teknik industri, atau farmasi. Setelah syarat-syarat ini dihapus, tentu membuka celah lebih luas bagi siapa saja untuk menjadi seorang auditor halal, dengan catatan harus mengikuti pelatihan. 

Terlihat jelas bahwa spirit sertifikasi halal ala UU Ciptaker bukan demi menjamin dan memastikan kehalalan produk atas dasar keimanan semata. Bukan pula demi menjamin kepentingan umat Islam akan produk halal, melainkan sekadar formalisasi dan labelisasi demi merenggut pasar umat Islam yang sangat besar, serta demi sasaran menggenjot roda pertumbuhan ekonomi nasional dan berebut pasar global. 

Di samping itu, ketentuan dalam UU Ciptaker nyatanya tidak mampu menutup ruang berunggut-unggut kepentingan. Maklum saja, meskipun biaya sertifikasi ini katanya diturunkan, akan tetapi wajib penggunaan logo halal akan menjadikan aktivitas sertifikasi ini sebagai ladang bisnis sendiri yang beromzet besar. Wajar bila banyak pihak yang tertarik mengajukan diri untuk terjun dalam industri baru bernama sertifikasi halal. Termasuk bersaing untuk meraup keuntungan dengan menjadi salah satu lembaga auditor halal. 

Polemik Regulasi Miras di Alam Demokrasi

Di dalam sistem demokrasi, terdapat peraturan tidak mengizinkan supremasi agama menjadi pengatur kehidupan negara beserta warga negara.  Akal dan pertimbangan materialistislah yang dijadikan sebagai pertimbangan utama pada saat menetapkan regulasi. 

Sistem yang berasaskan sekularisme, yakni pemisahan agama dari kehidupan yang digunakan di negeri ini, pada faktanya tetap memberikan izin miras beredar meski dengan pemanis diawasi dan dibatasi. Pembuatan aturan diserahkan pada tangan manusia melalui proses demokrasi. Demokrasi erat hubungannya dengan kapitalisme. Tolok ukur kapitalisme dalam segala aspek, termasuk pembuatan hukum dan pengaturan urusan masyarakat, adalah berakar pada keuntungan atau manfaat, utamanya manfaat ekonomi.  

Sistem ekonomi kapitalis memandang bahwa nilai barang dan jasa itu relatif dan subyektif, maknanya selama barang dan jasa ada yang membutuhkan maka dianggap sebagai benda ekonomi yang boleh untuk diproduksi atau dikonsumsi. Jadi, dalam sistem ekonomi kapitalis tidak ada standar halal dan haram. Karenanya, walaupun barang dan jasa berbahaya, tetapi selama ada yang menginginkan maka tidak akan dilarang, yang akan muncul adalah regulasi bukan pelarangan. 

Strategi Islam Memberantas Miras (Khamar)

Sejatinya, jaminan produk halal merupakan hak rakyat atas pemimpinnya. Oleh karenanya, atas dasar keimanan dan kewajiban, negara semestinya melakukan bermacam cara untuk memastikan semua barang yang dikonsumsi rakyat terjamin kehalalannya, termasuk melalui kebijakan sertifikasi halal. 

Islam telah menjelaskan bahwa miras atau khamar mendatangkan banyak kemudaratan. Tafsir ayat Al-Ahkam Min Al-Qur’an karya Syekh Ali Ash-Shabani menyatakan bahwa tidak pernah disebutkan sebab daripada keharaman sesuatu melainkan secara singkat. Namun, pengharaman khamar (miras) disebutkan terang-terangan dan merinci. Allah Swt., menyebutkan bahwa khamar (dan judi) dapat menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara mukmin, memalingkan orang-orang beriman dari mengingat Allah, melalaikan salat, dan banyak hal lainnya. 

Miras tidak hanya merusak individu peminumnya saja, melainkan berpotensi melahirkan kerusakan bagi orang lain. Mereka yang telah tertutup akalnya oleh miras berpotensi akan melakukan berbagai kejahatan, mencuri, merampok, bermusuhan dengan saudaranya, membunuh, memerkosa, dan kejahatan lainnya. Pantas apabila Nabi saw., menyebut khamar sebagai induk dari segala kejahatan (ummul khaba'its).Khamar adalah biang kejahatan dan dosa paling besar. Siapa saja yang meminum khamar dapat berzina dengan ibunya, saudari ibunya, dan saudari ayahnya (HR. Ath-Thabarani).

Islam dengan tegas dan jelas mengharamkan segala macam miras. Allah Swt., berfirman yang artinya: "Hai orang-orang beriman, sungguh (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan panah termasuk perbuatan setan. Sebab itu, jauhilah semua supaya kalian memperoleh keberuntungan.” (TQS.  Al-Maidah [5]: 90)

Islam juga melarang total semua hal yang berkaitan dengan miras (khamar), mulai dari pabrik dan produsen miras, distributor, penjual hingga pada tataran konsumen (peminumnya). Rasul saw. bersabda yang artinya, "Rasulullah saw., telah melaknat sepuluh golongan terkait khamar; pemerasnya, yang ingin diperaskan, peminumnya, yang mengantarkan, yang minta diantarkan khamar, penuangnya, orang yang menjual, yang menikmati harganya, pembelinya, dan yang minta dibelikan.” (HR. At-Tirmidzi)

Selain pihak peminum khamar, maka sanksinya berupa sanksi takzir.  Bentuk dan kadar sanksi diserahkan pada khalifah atau peradilan (qadhi), sesuai dengan ketetapan hukum syarak. Tentu sanksi yang diberikan  berefek jera. Produsen dan pengedar khamar sudah selayaknya dijatuhi sanksi yang lebih keras dari peminum khamar. Sebab, mereka menimbulkan bahaya yang jauh lebih besar dan lebih luas bagi masyarakat. 

Selama sistem sekularisme tetap diadopsi dan diterapkan di alam demokrasi sementara Islam dicampakkan, miras dan segala mudaratnya akan tetap mengancam kondisi masyarakat. Tidak ada cara lain, umat Islam sudah saatnya untuk meninggalkan sistem sekuler yang diterapkan saat ini, dan segera menerapkan syariat Islam secara kaffah. Regulasi miras hanya dapat terwujud jika syariat Islam diterapkan secara kaffah. 

Wallahu A'lam Bish-Shawwab.

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Fitria Zakiyatul Fauziyah CH Kontributor NarasiPost.Com dan Mahasiswi STEI Hamfara Yogyakarta
Previous
Fitrah yang Tercabik Fitnah
Next
LPG 3 Kg Langka, Akibat Kapitalis Merajalela
4.3 7 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

8 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
firda umayah
firda umayah
1 year ago

Dalam sistem kapitalisme semuanya menjadi halal asalkan bisa mendapatkan keuntungan. Astagfirullah. Sudah seharusnya umat sadar dan berubah.

Aya Ummunajwa
Aya Ummunajwa
1 year ago

Akidah demokrasi adalah sekulerisme yaitu memisahkan agama dr kehidupa, dari sini sudah jelas aturan agama tidak akan dipakai dalam sistem ini..yang ada adalah bagaimana memperbanyak cuan cuan cuan..ga peduli halal haram, atau pun dharar

R. Bilhaq
R. Bilhaq
1 year ago

ternyata target pasar halal hanya untuk meraup cuan karena mayoritas muslim di sini... helloooo.. harusnya seluruh pangan dijamin halal karena dorongan ketaqwaan pada Allah Swt. ..

desta
1 year ago

mirisnya ini terjadi di negara yang penduduknya mayoritas muslim.

sartinah828
1 year ago

Miris ya ... UU Ciptakerja nyatanya jadi pintu masuk untuk mempermudah berbagai kepentingan, termasuk mengubah UU JPH. Ya ... kalau semua orang boleh mengajukan sertifikasi halal asal ikut pelatihan, lantas siapa yang bisa jamin kehalalan produk tersebut. Betullah mbak, penerbitan status halal ini cuma formalitas saja. Kalau di dalamnya sudah berkumpul berbagai kepentingan, status halal pun tetap meragukan.

pena emas
1 year ago

keren tulisannya

Diyah
Diyah
1 year ago

Mumtaz

Atnauc
Atnauc
1 year ago

Sempurna, barokalloh

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram